Minggu, 25 Oktober 2015

kspi organisasi2 islam

konsep pendidikan dalam PERSIS, NU, INS dan SA

BAB I
PENDAHULUAN

 
  1. latar belakang masalah
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan baik secara akal, moral, untuk menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba di hadapan kholiq-Nya dan sebagai kholifah pada alam semesta
Sejarah pendidikan secara umum mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia, karena sejarah menyimpan, serta mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan pendidikan manusia.

 
B. rumusan masalah
    1. Bagaiman konsep pendidikan dalam PERSIS?
    2. Bagaiman konsep pendidikan dalam Nahdlatul 'Ulama?
    3. Bagaiman konsep pendidikan dalam INS?
    4. Bagaiman konsep pendidikan dalam SA (santri asromo)?

 

 

 

 

 

 

 
BAB II
PEMBAHASAN
  • PERSIS (Persatuan Islam) 1923
Persatuan islam (persisi) didirikan secra resmi pada tanggal 12 september 1923 di Bandung oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh Zam Zam dan Moh Yunus. Organisasi ini bergerak dibidang sosial keagamaan
PERSIS didirikan atas dasar Islam, dengan tujuan untuk mengamalknan ajaran islam dari segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslim pada ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan al-Qur'an dan hadits
Sistem pendidikan PERSIS terdiri dari: roudlatul Athfal 2 tahun, ibtidaiyyah 6 tahun, tajhijiyyah 2 tahun, tsanawiyah 4 tahun, diniyyah 'ula 6 tahun, diniyyah wustha 4 tahun, muallimin 2 tahun, pesantren luhur 4-5 tahun.
Disamping ilmu-ilmu keislaman juga diperkenalkan beberapa buku yang secara khusus membahas persoalan keorganisasian dan kejamiyyahan PERSIS. Ditingkat muallimin pelajaran umum juga diajarkan, seperti bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kesehatan dan pendidikan keguruan.
Pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendalam sistem pendidikan PERSIS, yakni ketika pimpinan pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan. Hal ini berlaku bagi siswa yang merampungkan studinya ditingkat tsanawiyyah maupun tingkat mu'allimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi persis karena pada masa kepemimpinanya sebelumnya dibawah pimipinan KH.E. Abdurrahman, para santri dan siswanya tidak boleh mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negri. Dalam perspektif kyai hal ini akan memepengaruhi sisi dan orientasi para siswa didik dilingkungan persis untuk menjadi ualama' menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negri.
  • Konsep pembaharuan pendidikan islam pada NU tahun 1926
Nahdltul 'Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M. Bertepatan dengan tanggal 16 rajab 1344 H. Oleh kalangan ulama penganut madzhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Wal jamaa'ah yang di pelopori KH. Hasyim Asy 'ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Motifasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan perenan ulama pesantren yang sudah ada. Untuk digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama' pesantren didalam tugas mengabdikan yang tida terbatas kepada masalah kepeantrenan dan kegiatan ritual isla saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar par ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosiala ekonomi dan masalah-msalah kemasyarakatan pada umumnya.
Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khusus untuk menaganinya, yaitu ma'arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU.

 
  • Indonesian Nederland School (INS)
INS adalah sebuah sekolh yang didirikn oleh tokoh sumatra barat yaitu M Syafei pada tanggal 31 oktober 1926. sekolah ini berada disebuah desa dengan nama kayutanam, sumatra barat oleh karena itu sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan INS kayutanam. Sekolah ini berawal dari sebuah rumah yang disewa sebgai kelas belajar. Namun kemudian dengan sebuah tekad dan cita-cita kuat, INS berkembang menjadi sebuah kampus.tetapi Ins masih berdiri dikayutanam sumatra barat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, INS memiliki falsafah pendidkan yang berorientasi kepad bakat serta aktif, kreatif dan prodoktif yang berlandasakan kepada alam yang berkembang.
Didalam kurikulumya Moh Syafei membedakan antara pendidikan dan pengajaran menurutnya, pendidikan berfungsi melatih jiwa dan hati. Sedangkan pengajaran berfungsi sebagai pengisi otak. Dalam penyusunan kurikulum kedua unsur itu dipadukan. Materi kurikulum berisi bahan-bahan teoritis, pendidikan dengan belajar praktis serta dipadukan dengan kreatifitas anak-anak yang terarah dan terprogram untuk memproduksikan karya yang bernilai dan bermanfaat.untuk itu disusunya kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrampilan. INS kayutanam dalam menerapkan kurikulum pendidikanya terutama dalam bidang ketrampilan senantiasa dikaitkan dengan tujuan menanamkan jiwa aktif kepada siswa, dengan demikian setiap pengajara mengandung latar belakang pembinaan yang berbeda tetapi mengarah pada tujuan akhir yaitu mampu hidup mandiri serta bermanfaat bagi masyarakat.

 
  • Konsep pembaharuan pendidikan islam pada santri asromo tahun (1932)
Santri asromo didirikan di desa pasir ayu kabupaten majalengka tepatnya pada tahun 1932. adapun yang melatar belakangi Abdul Halim dalam mendirikan santri sromo itu ada tiga faktor:
·         Rasa tidak puas atas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
·         Tidak puas atas hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh peantren waktu itu.
·         Ingin mengadakan pembaharuan, modernisasi dan penyegaran pendidikan.
Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
1.      pendidikan batin (ahlaq)
2.      pendidikan sosial (ijtima')
3.      pendidikan ekonomi (iqtisad)
adapun pelaksanaan kurikulum SA didasarkn atas prinsip pendidikan selama 24 jam. Kurikilum dibagi menjadi dua intra dan ekstra kurikulum:
·         intra kurikulum: diselenggarakan mulai pagi jam 07.00 sampai 13.00 dan pelajaran yang diberikan adalah pelajaran agama, dan pelajaran cara teoritis
·         ekstra kurikulum: diselenggarakan jam 13.00 sampai 22.00 pelajran yang diberikan berupa bimbingan praktis, yakni meliputi kepramukaan, ketrmpilan mengaji (qiroat) yang diberikan menjelang magrib,dan dimalam hari diberikan bimbingan khusus pidato dan bimbingan sekolah lainya.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
  • Pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan.
  • Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khusus untuk menaganinya, yaitu ma'arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU
  • INS kayutanam membagi kurikulum pendidikan menjadi dua yaitu mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrapilan yang mengarah pada tujuan akhir, yaitu mampu hidu mandiri, serta bermanfaat bagi masyarakat.
  • Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
    • pendidikan batin (ahlaq)
    • pendidikan sosial (ijtima')
    • pendidikan ekonomi (iqtisad)
    




REFERENSI
Dra Harun asrohah. M.Ag. sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Logos wacana ilmu, 2001
Drs. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999
M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidkan Agama Islam, Jakarta: Pedoman ilmu jaya,2003

lainnya dari

Ditulis Oleh : Nur Giantoro // Senin, Februari 15, 2010
Kategori:

0 komentar:

Poskan Komentar

Silahkan Berkomentar......

Link ke posting ini





Makalah Konsep Pendidikan PERSIS (Persatuan Islam), Nahdlatul ’Ulama, Indonesian Nederland School (INS), dan SA (Santri asromo)

BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang masalah
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan baik secara akal, moral, untuk menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba di hadapan kholiq-Nya dan sebagai kholifah pada alam semesta
Sejarah pendidikan secara umum mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia, karena sejarah menyimpan, serta mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan pendidikan manusia.
B. rumusan masalah
1. Bagaiman konsep pendidikan dalam PERSIS?
2. Bagaiman konsep pendidikan dalam Nahdlatul ’Ulama?
3. Bagaiman konsep pendidikan dalam INS?
4. Bagaiman konsep pendidikan dalam SA (santri asromo)?
BAB II
PEMBAHASAN
1. PERSIS (Persatuan Islam) 1923
Persatuan islam (persisi) didirikan secra resmi pada tanggal 12 september 1923 di Bandung oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh Zam Zam dan Moh Yunus. Organisasi ini bergerak dibidang sosial keagamaan
PERSIS didirikan atas dasar Islam, dengan tujuan untuk mengamalknan ajaran islam dari segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslim pada ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan al-Qur’an dan hadits
Sistem pendidikan PERSIS terdiri dari: roudlatul Athfal 2 tahun, ibtidaiyyah 6 tahun, tajhijiyyah 2 tahun, tsanawiyah 4 tahun, diniyyah ‘ula 6 tahun, diniyyah wustha 4 tahun, muallimin 2 tahun, pesantren luhur 4-5 tahun.
Disamping ilmu-ilmu keislaman juga diperkenalkan beberapa buku yang secara khusus membahas persoalan keorganisasian dan kejamiyyahan PERSIS. Ditingkat muallimin pelajaran umum juga diajarkan, seperti bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kesehatan dan pendidikan keguruan.
Pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendalam sistem pendidikan PERSIS, yakni ketika pimpinan pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan. Hal ini berlaku bagi siswa yang merampungkan studinya ditingkat tsanawiyyah maupun tingkat mu’allimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi persis karena pada masa kepemimpinanya sebelumnya dibawah pimipinan KH.E. Abdurrahman, para santri dan siswanya tidak boleh mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negri. Dalam perspektif kyai hal ini akan memepengaruhi sisi dan orientasi para siswa didik dilingkungan persis untuk menjadi ualama’ menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negri.
2. Konsep pembaharuan pendidikan islam pada NU tahun 1926
Nahdltul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M. Bertepatan dengan tanggal 16 rajab 1344 H. Oleh kalangan ulama penganut madzhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Wal jamaa’ah yang di pelopori KH. Hasyim Asy ‘ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Motifasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan perenan ulama pesantren yang sudah ada. Untuk digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama’ pesantren didalam tugas mengabdikan yang tida terbatas kepada masalah kepeantrenan dan kegiatan ritual isla saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar par ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosiala ekonomi dan masalah-msalah kemasyarakatan pada umumnya.
Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khusus untuk menaganinya, yaitu ma’arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU.
3. Indonesian Nederland School (INS)
INS adalah sebuah sekolh yang didirikn oleh tokoh sumatra barat yaitu M Syafei pada tanggal 31 oktober 1926. sekolah ini berada disebuah desa dengan nama kayutanam, sumatra barat oleh karena itu sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan INS kayutanam. Sekolah ini berawal dari sebuah rumah yang disewa sebgai kelas belajar. Namun kemudian dengan sebuah tekad dan cita-cita kuat, INS berkembang menjadi sebuah kampus.tetapi Ins masih berdiri dikayutanam sumatra barat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, INS memiliki falsafah pendidkan yang berorientasi kepad bakat serta aktif, kreatif dan prodoktif yang berlandasakan kepada alam yang berkembang.
Didalam kurikulumya Moh Syafei membedakan antara pendidikan dan pengajaran menurutnya, pendidikan berfungsi melatih jiwa dan hati. Sedangkan pengajaran berfungsi sebagai pengisi otak. Dalam penyusunan kurikulum kedua unsur itu dipadukan. Materi kurikulum berisi bahan-bahan teoritis, pendidikan dengan belajar praktis serta dipadukan dengan kreatifitas anak-anak yang terarah dan terprogram untuk memproduksikan karya yang bernilai dan bermanfaat.untuk itu disusunya kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrampilan. INS kayutanam dalam menerapkan kurikulum pendidikanya terutama dalam bidang ketrampilan senantiasa dikaitkan dengan tujuan menanamkan jiwa aktif kepada siswa, dengan demikian setiap pengajara mengandung latar belakang pembinaan yang berbeda tetapi mengarah pada tujuan akhir yaitu mampu hidup mandiri serta bermanfaat bagi masyarakat.
4. Konsep pembaharuan pendidikan islam pada santri asromo tahun (1932)
Santri asromo didirikan di desa pasir ayu kabupaten majalengka tepatnya pada tahun 1932. adapun yang melatar belakangi Abdul Halim dalam mendirikan santri sromo itu ada tiga faktor:
 Rasa tidak puas atas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.Ø
 Tidak puas atas hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh peantren waktu itu.Ø
 Ingin mengadakan pembaharuan, modernisasi dan penyegaran pendidikan.Ø
Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
a. pendidikan batin (ahlaq)
b. pendidikan sosial (ijtima’)
c. pendidikan ekonomi (iqtisad)
adapun pelaksanaan kurikulum SA didasarkn atas prinsip pendidikan selama 24 jam. Kurikilum dibagi menjadi dua intra dan ekstra kurikulum:
- intra kurikulum: diselenggarakan mulai pagi jam 07.00 sampai 13.00 dan pelajaran yang diberikan adalah pelajaran agama, dan pelajaran cara teoritis
- ekstra kurikulum: diselenggarakan jam 13.00 sampai 22.00 pelajran yang diberikan berupa bimbingan praktis, yakni meliputi kepramukaan, ketrmpilan mengaji (qiroat) yang diberikan menjelang magrib,dan dimalam hari diberikan bimbingan khusus pidato dan bimbingan sekolah lainya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
 Pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untukØ mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan.
 Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khususØ untuk menaganinya, yaitu ma’arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU
 INS kayutanam membagi kurikulum pendidikan menjadi dua yaitu mataØ pelajaran teori dan mata pelajaran ketrapilan yang mengarah pada tujuan akhir, yaitu mampu hidu mandiri, serta bermanfaat bagi masyarakat.
 Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yangØ dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
 pendidikan batin (ahlaq)Ø
 pendidikan sosial (ijtima’)Ø
 pendidikan ekonomi (iqtisad)Ø
REFERENSI
Dra Harun asrohah. M.Ag. sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Logos wacana ilmu, 2001
Drs. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999
M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidkan Agama Islam, Jakarta: Pedoman ilmu jaya,2003

konsep pendidikan dalam PERSIS, NU, INS dan SA

BAB I
PENDAHULUAN

 
  1. latar belakang masalah
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan baik secara akal, moral, untuk menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba di hadapan kholiq-Nya dan sebagai kholifah pada alam semesta
Sejarah pendidikan secara umum mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia, karena sejarah menyimpan, serta mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan pendidikan manusia.

 
B. rumusan masalah
    1. Bagaiman konsep pendidikan dalam PERSIS?
    2. Bagaiman konsep pendidikan dalam Nahdlatul 'Ulama?
    3. Bagaiman konsep pendidikan dalam INS?
    4. Bagaiman konsep pendidikan dalam SA (santri asromo)?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
BAB II
PEMBAHASAN
  • PERSIS (Persatuan Islam) 1923
Persatuan islam (persisi) didirikan secra resmi pada tanggal 12 september 1923 di Bandung oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh Zam Zam dan Moh Yunus. Organisasi ini bergerak dibidang sosial keagamaan
PERSIS didirikan atas dasar Islam, dengan tujuan untuk mengamalknan ajaran islam dari segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslim pada ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan al-Qur'an dan hadits
Sistem pendidikan PERSIS terdiri dari: roudlatul Athfal 2 tahun, ibtidaiyyah 6 tahun, tajhijiyyah 2 tahun, tsanawiyah 4 tahun, diniyyah 'ula 6 tahun, diniyyah wustha 4 tahun, muallimin 2 tahun, pesantren luhur 4-5 tahun.
Disamping ilmu-ilmu keislaman juga diperkenalkan beberapa buku yang secara khusus membahas persoalan keorganisasian dan kejamiyyahan PERSIS. Ditingkat muallimin pelajaran umum juga diajarkan, seperti bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kesehatan dan pendidikan keguruan.
Pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendalam sistem pendidikan PERSIS, yakni ketika pimpinan pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan. Hal ini berlaku bagi siswa yang merampungkan studinya ditingkat tsanawiyyah maupun tingkat mu'allimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi persis karena pada masa kepemimpinanya sebelumnya dibawah pimipinan KH.E. Abdurrahman, para santri dan siswanya tidak boleh mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negri. Dalam perspektif kyai hal ini akan memepengaruhi sisi dan orientasi para siswa didik dilingkungan persis untuk menjadi ualama' menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negri.
  • Konsep pembaharuan pendidikan islam pada NU tahun 1926
Nahdltul 'Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M. Bertepatan dengan tanggal 16 rajab 1344 H. Oleh kalangan ulama penganut madzhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Wal jamaa'ah yang di pelopori KH. Hasyim Asy 'ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Motifasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan perenan ulama pesantren yang sudah ada. Untuk digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama' pesantren didalam tugas mengabdikan yang tida terbatas kepada masalah kepeantrenan dan kegiatan ritual isla saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar par ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosiala ekonomi dan masalah-msalah kemasyarakatan pada umumnya.
Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khusus untuk menaganinya, yaitu ma'arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU.

 
  • Indonesian Nederland School (INS)
INS adalah sebuah sekolh yang didirikn oleh tokoh sumatra barat yaitu M Syafei pada tanggal 31 oktober 1926. sekolah ini berada disebuah desa dengan nama kayutanam, sumatra barat oleh karena itu sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan INS kayutanam. Sekolah ini berawal dari sebuah rumah yang disewa sebgai kelas belajar. Namun kemudian dengan sebuah tekad dan cita-cita kuat, INS berkembang menjadi sebuah kampus.tetapi Ins masih berdiri dikayutanam sumatra barat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, INS memiliki falsafah pendidkan yang berorientasi kepad bakat serta aktif, kreatif dan prodoktif yang berlandasakan kepada alam yang berkembang.
Didalam kurikulumya Moh Syafei membedakan antara pendidikan dan pengajaran menurutnya, pendidikan berfungsi melatih jiwa dan hati. Sedangkan pengajaran berfungsi sebagai pengisi otak. Dalam penyusunan kurikulum kedua unsur itu dipadukan. Materi kurikulum berisi bahan-bahan teoritis, pendidikan dengan belajar praktis serta dipadukan dengan kreatifitas anak-anak yang terarah dan terprogram untuk memproduksikan karya yang bernilai dan bermanfaat.untuk itu disusunya kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrampilan. INS kayutanam dalam menerapkan kurikulum pendidikanya terutama dalam bidang ketrampilan senantiasa dikaitkan dengan tujuan menanamkan jiwa aktif kepada siswa, dengan demikian setiap pengajara mengandung latar belakang pembinaan yang berbeda tetapi mengarah pada tujuan akhir yaitu mampu hidup mandiri serta bermanfaat bagi masyarakat.

 
  • Konsep pembaharuan pendidikan islam pada santri asromo tahun (1932)
Santri asromo didirikan di desa pasir ayu kabupaten majalengka tepatnya pada tahun 1932. adapun yang melatar belakangi Abdul Halim dalam mendirikan santri sromo itu ada tiga faktor:
·         Rasa tidak puas atas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
·         Tidak puas atas hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh peantren waktu itu.
·         Ingin mengadakan pembaharuan, modernisasi dan penyegaran pendidikan.
Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
1.      pendidikan batin (ahlaq)
2.      pendidikan sosial (ijtima')
3.      pendidikan ekonomi (iqtisad)
adapun pelaksanaan kurikulum SA didasarkn atas prinsip pendidikan selama 24 jam. Kurikilum dibagi menjadi dua intra dan ekstra kurikulum:
·         intra kurikulum: diselenggarakan mulai pagi jam 07.00 sampai 13.00 dan pelajaran yang diberikan adalah pelajaran agama, dan pelajaran cara teoritis
·         ekstra kurikulum: diselenggarakan jam 13.00 sampai 22.00 pelajran yang diberikan berupa bimbingan praktis, yakni meliputi kepramukaan, ketrmpilan mengaji (qiroat) yang diberikan menjelang magrib,dan dimalam hari diberikan bimbingan khusus pidato dan bimbingan sekolah lainya.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
  • Pesantren PERSIS secara kelembagaan mengijinkan para santrinya untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi tahap akhir persamaan.
  • Dibidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu lembaga khusus untuk menaganinya, yaitu ma'arif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dilembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU
  • INS kayutanam membagi kurikulum pendidikan menjadi dua yaitu mata pelajaran teori dan mata pelajaran ketrapilan yang mengarah pada tujuan akhir, yaitu mampu hidu mandiri, serta bermanfaat bagi masyarakat.
  • Adapun kurikulum santri asromo menuru Abdul Halim pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni:
    • pendidikan batin (ahlaq)
    • pendidikan sosial (ijtima')
    • pendidikan ekonomi (iqtisad)
    




REFERENSI
Dra Harun asrohah. M.Ag. sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Logos wacana ilmu, 2001
Drs. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999
M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidkan Agama Islam, Jakarta: Pedoman ilmu jaya,2003
http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/konsep-pendidikan-dalam-persis-nu-ins.html



Minggu, 23 Juni 2013

Studi Konsep Pendidikan Muhammadiyah & NU


 GERAKAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
STUDI KASUS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
DAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)

Oleh Syahrul, S.Pd.I

I.       Pendahuluan
Belum ada kata sepakat di antra intelektual muslim dalam merumuskan penggunaan istilah atau terminologi pendidikan Islam. Secara garis besarnya muncul tiga istilah yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Intelektual muslim yang otoritatif di bidangnya, Syed M. Naquib al-Attas, lebih cendrung menggunakan istilah ta’dib dari pada istilah yang lain dengan argumen yang ilmiah. Baginya, masalah mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai-nilai adab dalam arti luas. Hal ini lebih disebabkan oleh rancunya pemahaman konsep tarbiyah, ta’lim, dan adab. Sebab jika konsep ta’dib ini diterapkan secara komprehensif, integral, dan sistematis dalam praktik pendidikan Islam, pelbagai persoalan pengembangan sumber daya manusia Muslim diharapkan dapat diatasi. Lagi pula, dalam sejarah Islam proses pendidikan Muslim lebih cendrung pada pengertian ta’dib daripada terbiyah atau ta’lim. Alasan yang lebih mendasar lagi adalah adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.[1][1] Kemudian dalam langkah konkretnya dalam mengaplikasikan ide dan gagasanya lahir International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Dalam konteks ke-Indonesian, sejarah tentunya tidak melupakan peran dan konstribusi dua organisasi islam Indonesia (Muhammadiyah dan NU) baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan dalam memajukan bangsa ini khususnya dunia pendidikan. Muhammadiyah yang menggariskan gerakannya sebagai gerakan yang moderat kemudian melakukan gerakan nyata dengan amal usaha di bidang pendidikan melahirkan ribuan sekolah dasar dan menengah, serta ratusan tingkat menengah atas serta tingkat perguruan tinggi dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Tentunya sangat menarik mengkaji dan menganalisis kunci kesuksesan Muhammadiyah.    
Organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya yang bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) juga memberikan konstribusi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya dengan konsep yang khas yang melekat pada organisasi ini, Deliar Noer menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sudah masyhur kemudian NU dikenal dengan sistem pondok pesantren tradisionalnya. seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh Hasjim Asj’ari, pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab Hasbullah, dan pesantren Den Anyar tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Meraka adalah tokoh dari NU dan pesatren mereka juga sangat identik dengan pesantren NU. Dalam makalah ini kemudian akan dibahas sistem dan karakteristik lembaga pondok pesantren.
Sejarah menulis bahwa pondok pesantren di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya (NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri sekaligus pemimpinnya.
Berbicara pendidikan tidak pernah lepas dengan ideologi yang melatar belakanginya. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif dengan variasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism, liberasionisme, dan anarkisme.[2][2] Dengan ideologi Aswaja (ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti itu. 
Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan.[3][3] Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam merumuskan dalam Muktamar prinsip-prinsip dan keyakinan hidup (ideologi). Beberapa rumusan tersebut adalah Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah serta Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.[4][4] Berdasarkan rumusan di atas maka terlihat secara jelas –mengikuti pemetaan W.F O’neil- bahwa Muhammadiyah berideologi konservatif yang mempertahankan tradisi keislaman namun tetap progresif melakukan pembaharuan.[5][5] Ideologi ini kemudian menjadi inspirasi ideologi Pendidikan Muhammadiyah.
Makalah yang singkat ini tentunya sangat jauh dari kesempurnaan mengupas dan menjelaskan konsep pendidikan dua organisasi terbesar di Indonesia bahkan dunia ini. Untuk membatasi tema makalah agar tidak meluas maka dirumuskan rumusan masalahnya. pertama, bagaimana latar belakang berdirinya Muhammadiyah dan NU secara singkat?. Kedua, bagaimana konsep pendidikan Muhammadiyah dan NU?. Oleh karena itu sistimatika penulisan dimulai pada Bab I yang berisi pendahuluan, kemudian Bab II pembahasan yang dimulai pembahasan Muhammadiyah kemudian NU dan Bab III kesimpulan, yang berisi persamaan dan perbedaan Muhammadiyah dan NU.
II.    Pembahasan
Kelahiran Muhammadiyah
Salah satu organisasi social Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Ibrahim, penghulu.[6][6] Dalam keluarga yang cinta ilmu dan riwayat pendidikannya dasar serta studinya ke Arab selama dua kali mengantarkan Ahmad Dahlan memiliki jiwa yang kritis terhadap realitas social yang menimpa umat Islam saat itu.
Lahirnya pemikiran modern di awal abad ke-20 melalui organisasi Muhammadiyah ini tidak dapat dilepaskan dengan situasi dan kondisi sosial politik yang dihadapi umat Islam saat itu. Kondisi sosial politik kala itu di mana umat Islam berada dalam cengkraman kolonial Belanda merupakan faktor eksternal munculnya organisasi Muhammadiyah. Faktor internal yang turut mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam kala itu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Buddha dalam menjalankan ibadah ritual. Rendahnya partisipasi umat Islam dalam pendidikan. Sikap keberagamaan umat yang masih belum rasional, banyak bercampur dengan syirik, khurafat, bid’ah dan taqlid akibat dari besarnya pengaruh keyakinan Hindu dan animism serta proses Islamisasi yang berbau sufisme dan mistisisme. Sistem pendidikan yang lebih menekankan pada kemampuan mengaji bukan mengkaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional. Gencarnya gerakan kristenisasi dan westernisasi kala itu yang memperkenalkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat tanpa diimbangi dengan pendidikan agama oleh pemerintah Belanda.[7][7] 
Selain kesadara pendirinya, berdiriya organisasi Muhammadiyah juga tidak lepas dari jasa-jasa tokoh Boedi Oetomo yang menganjurkan agar Ahmad Dahlan mendirikan organisasi untuk menyebarkan fahamnya yang moderat. Pertimbangannya adalah agar sekolahan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan tidak berhenti di tengah jalan ketika ia sudah tidak ada. Pengaruh Boedi Oetomo sedikit banyak telah mempengaruhi Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah sampai sekarang telah menjadi organisasi pembaharuan terbesar di Indonesia bahkan di dunia.[8][8] Selain Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan juga aktif di organisasi Jami’at Khair, organisasi modern pada masa itu. Ahmad Dahlan kemudian banyak belajar keorganisasian di sini yang kemudian menjadi bekal beliau dalam mendirikan Muhammadiyah dan memanajnya secara modern.

Kritik Terhadap Dunia Pendidikan
Bakat dalam diri Ahmad Dahlan menjadi pendidik memang sangat terlihat ketika mengajar di Kweekschool Gubernamen Jetis. Ini terbukti beliau disukai oleh murid-muridnya sehingga menjadi salah satu guru favorit. Metode induktif, ilmiah, naqliah dan Tanya jawab sehingga murid-muridnya benar-benar mengetahui apa yang disampaikan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan metode pengajaran yang weton atau bandongan yang sedang berjalan pada saat itu. Metode weton atau bandongan adalah sebuah model pengajian, di mana seorang kyai atau ustadz membacakan dan menjabarkan isi kandungan kitab kuning sementara murid atau santri mendengarkan dan memberikan makna. Sementara metode sorogan berlaku sebaliknya, yaitu santri atau murid membaca sedangkan kyai atau ustdaz mendengarkan sambil memberikan pembetulan-pembetulan, komentar atau bimbingan yang diperlukan.[9][9] Metode ini masih bisa dijumpai dan dipertahankan di pondok-pondok tradisional. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya.
Sistem pendidikan klasikal di atas telah membuat stagnasi pemikiran karena ajaran agama tidak pernah dikritisi serta tidak diijtihadi ulang agar nilainya mampu bermanfaat bagi umat. Sistem pendidikan ini menurut Ahmad Dahlan harus diubah dengan sistem baru yang lebih kritis, transformative dan demokratis agar mampu menghasilkan para mujtahid handal yang dapat mengijtihadi hukum sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan peradaban manusia. [10][10]
Usaha-usaha yang mula-mula dilakukan Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Tahun 1918 didirikan sekolah baru bernama “al-Qim al-Arqa”, dua tahun kemudian dari sekolah ini mendirikan pondok muhammadiyah di Kauman. Tahun 1923 Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah murid 1019 murid, dan terdiri dari 73 guru.[11][11] Dalam usianya yang tidak lagi muda, Muhammadiyah tetap progresif melakukan dakwahnya. Salah satu bidang dakwah yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah peran Muhammadiyah dalam mencerdaskan manusia Indonesia melalui dunia pendidikan. Data tahun 2003 Muhammadiyah telah memiliki Sekolah Dasar (SD) berjumlah 1128, Madrasah Ibtida’iyyah (MI) 1768, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 1179, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534, Sekolah Menengah Umum (SMU) 509, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 249, Madrasah Aliyah (MA) 171, dan jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) adalah 143.[12][12] Banyak faktor yang berkonstribusi dalam mengeksiskan keberlangsungan amal usaha pendidikan ini.
Menurut Geertz titik berat program Muhammadiyah adalah di bidang pendidikan, yang sistem pengajarannya berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut bukan dimaksud untuk menciptakan sendiri suatu sistem pendidikan Islam, melainkan untuk mengorganisasi sistem pendidikan Swasta yang sejajar dengan sistem nasional. Memang sejak awal kelahirannya Muhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan pendidikan colonial, sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan dalam materi atau isi tujuan pendidikan.[13][13] gerakan yang bersifat akomodatif.
Belakangan Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah yang mirip dengan pesantren. Pada dasarnya, reorientasi kelembagaan dan reorientasi tujuan pengajaran Muhammadiyah tersebut didasarkan oleh perkembangan dan tuntutan yang muncul yang mengitarinya untuk melakukan pembaruan. Kontekstualisasi pengajaran tersebut diharapkan agar secara kualitatif pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah  dapat dipertanggungjawabkan.  
Bukan berarti Persyerikatan Muhammadiyah tidak membangun Pesantren dan sekolah agama. H.S. Prodjokusumo, 1987, dalam Muhammadiyah, Pendidikan Pesantren, dan  Pembangunan, member penjelasan tentang Sekolah Muhammadiyah di Zaman penjajahan. Diklasifikasikan menjadi dua yaitu sekolah agama dan sekolah umum. Sekolah agama terdiri dari; Muallimin, Muallimat (sama dengan Muallimin bedanya siswanya putrid), Diniyah Ibtidaiyah (sekolah agama 3 tahun), Diniyah Wustho (sekolah agama tingkat menengah), sekolah Tabligh (sekolah agama lanjutan atas), Kuliyatul Muballighin.
Sekolah Umum terdiri dari: Volks School Moehammadijah (sekolah dasar 3 tahun), Vervolg School (lanjutan dari Volks School), Normal School (sekolah guru setelah Vervolg), Cursus Voor Volks Onderwijzer (CVO), Hollandsch Inlandsche School (HIS), Schakel School, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middlebare School (AMS), dan Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).[14][14]

Falsafah dan Paradigma Pendidikan Muhammadiyah
Untuk melakukan rekonstruksi paradigma, elemen penting yang perlu diperhatikan oleh sistem pendidikan Muhammadiyah meliputi faktor-faktor yang terkait dengan akuntabilitas. Elemen penting yang dimaksud antara lain; pertama, Visi pendidikan Muhammadiyah. Kedua, Misi Pendidikan Muhammadiyah. Ketiga, Tujuan Pendidikan Muhammadiyah. Keempat, Sasaran pendidikan Muhammadiyah. Kelima, Kebijaksanaan Pendidikan Muhammadiyah. Keenam, Program pendidikan Muhammadiyah. Ketujuh, Kegiatan Pendidikan Muhammadiyah. Dan kedelapan, Indikator Kinerja.[15][15]
Pendidikan yang diselenggarakan umat manusia selalu didasarkan pada pandangan hidup atau falsafah yang dianut masyarakat manusia yang bersangkutan, karena setiap masyarakat mempunyai falsafah dan pandangan hidupnya sendiri. Pandangan hidup masyarakat itulah yang memberi arah ke mana pendidikan akan menuju dan bagaimana cara memindahkan nilai-nilai tersebut. Pandangan hidup pulalah yang menentukan tujuan pendidikan suatu masyarakat.[16][16] Begitu pula halnya Muhammadiyah sebagai organisasi social yang berasaskan Islam. Dalam pendidikan Muhammadiyah telah merumuskan kerangka filosofisnya.
Dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, yakni pada Bab II, terdapat penjelasan tentang Rumusan Filsafat Pendidikan Muhammadiyah. Beberapa poin dari keputusan tersebut. Pertama, hakikat pendidikan dalam pandangan Muhammadiyah. Terdapat pernyatan; “Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SwT sebagai Rabb dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Dengan kesadaran spiritual makrifat (iman/tauhid) dan penguasaan IPTEKS, seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli sesame manusia yang menderita akibat kebodohan dan kemiskinan, senantiasa menyebarluaskan kemakmuran, mencegah kemungkaran bagi pemuliaan kemanusiaan dalam rangka kehidupan bersama yang ramah lingkungan dalam sebuah bangsa dan tata pergaulan dunia yang adil, beradab dan sejahtera sebagai ibadah kepada Allah. Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dan kemajuan yang holistic.
Kedua, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah. Visi Muhammadiyah dinyatakan sebagai berikut: “terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan misi dirumuskan sebagai berikut: (1)  mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat); (2) membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos tajdid, berfikir cerdas, alternatif dan berwawasan luas; (3) mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, kompetitif dan jujur; (4) membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan keterampilan social, teknlogi, informasi dan komunikasi; (5) membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan menciptakan dan mengapresiasi karya seni-budaya; (6) membentuk kader Persyerikatan, umat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli dan bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Ketiga, nilai-nilai dasar pendidikan Muhammadiyah (NDPM). Sebagai berikut: (1) Pendidikan Muhammadiyah diselenggarakan merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Nabi; (2) ruhul ikhlas untuk mencari ridla Allah SwT menjadi dasar dan inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan; (3) menerapkan prinsip kerja sama (musyarakah) dengan tetap memelihara sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang), Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca ORBA; (4) selalu memelihara dan menghidup-hidupkan prinsip pembaharuan (tajdid), inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan; (5) memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan (dhuafa dan mustadh’afin) dengan melakukan proses-proses kreatif sesuai denga tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia; (6) memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth dan moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati.
Keempat, unsur-unsur pendidikan. Aspek-aspek pendidikan meliputi: (1) pembelajar; (2) pembelajaran; (3) pendidik; (4) Persyerikatan; (5) manajerial; (6) Kurikulum; (7) Kemasyarakatan.[17][17] Keempat nilai ini masih dalam datarn konsep filosofis masih perlu penjabaran yang lebih lanjut agar dapat aplikatis di ranah praksis di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Dalam Filsafat Pendidikan setidaknya mengenal tiga aliran filsafat, yaitu: esensialisme/perenialisme, progresivisme, dan rekonstruksi social. Esensialisme berpandangan bahwa tugas pendidikan melestarikan budaya. Progresivisme berpadandangan bahwa tugas pendidikan adalah mengembangkan kemampuan subyek didik agar dapat berkembang optimal. Rekonstruksi social berpandangan adanya aspek individual dan adanya aspek tanggungjawab kemasyarakatan.[18][18] Dalam hal ini Muhammadiyah secara eksplisit masuk tiga kategori di atas yaitu esensialisme/perenialisme, progresivisme, sekaligus rekonstruksi social.
Amin Abdullah dalam makalah Filosofi dan Paradigma Pendidikan Muhammadiyah[19][19] mengungkapkan empat paradigma pendidikan Muhammadiyah. Pertama, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak kritis-hermeneutis. Muhammadiyah senantiasa menyatukan dimensi ajaran “kembali kep ada al-Qur’an dan Sunnah” dengan dimensi “ijtihad” dan “Tajdid” social keagamaan. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.  Lewat ijtihad dan tajdid sosio-kulturalnya, Muhammadiyah sengaja meniru dan melaksanakan sistem pendidikan “sekolah” untuk tidak menyebutnya dengan sistem pendidikan Barat yang mengajarkan ilmu secara lebih utuh-komprehensif, baik dalam wilayah natural maupun social atau behavioral science dengan tidak meninggalkalkan ilmu-ilmu agama Islam.
Kedua, adalah paradigma pembaharuan pendidikan agama Islam yang bercorak esensialis sekaligus perennialis. Nilai-nilai yang esensial yang termuat dalam kitab suci al-Qur’an dan juga Sunnah harus berlaku dan diamalkan secara abadi (perennial).  contoh paradigma pembaharuan pemikiran Islam model esensialis-perennialis lebih menekankan dimensi “purifikasi” aqidah dan ibadah dan bukan dinamisasi kehidupan social dan pendidikan keagamaan.  Ketiga, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak  rekonstruksi social (social reconstruction). Dalam mengaktualisasikan dan merealisasikan cita-cita dan perjuangannya, metode pembaharuan pemikiran pendidikan Islam model Muhammadiyah menggunakan sistem organisasi.
Keempat, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak progressif. Titik tekan paradigma ini antara lain adalah sifatnya yang selalu berorientasi ke depan (future oriented). Dengan demikian, semangat untuk memperbaiki, mengoreksi, dan menyempurnakan cara berpikir dan mekanisme kerja yang sekarang ini sedang berjalan selalu diperioritaskan.
Konklusinya kemudian dapat ditarik bahwa Paradigma pendidikan Muhammadiyah pada dataran keilmuan adalah menyatukan ilmu dengan wahyu, dan ditampilkan dalam antologi yang mendudukkan wahyu dan sunnah Rasul sebagai acuan. Sementara pada dataran oprasional adalah agar umat Islam mampu berkiprah di seluruh sektor kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, dan berada dalam seluruh strata kehidupan dan seluruh strata keahlian.[20][20]

Profil Singkat Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
Pondok Pesantren Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta mula-mula didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun1920 dengan nama “Qismul Arqa” atau sering disebut “Hogere School” yang berarti sekolah menengah tinggi. Tahun 1923 nama tersebut diganti menjadi “Kweekschool Islam” lalu berubah lagi menjadi “Kweekschool Muhammadiyah”. Pelajarnya masih campuran, putra-putri. Akhirnya pada kongres Muhammadiyah tahun1930 di Yogyakarta diganti namanya menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimat.
Setelah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang, lalu timbul gagasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan lebih meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran. Pada tahun 1980 di bawah kepemimpinan HMS. Ibnu Juraimi, terjadilah perubahan system pendidikan Mu’allimin yang sangat mendasar. Jikalau pada masa sebelumnya asrama belum menjadi satu kesatuan system dengan madrasah, maka sejak tahun 1980 itulah mu’allimin mulai menganut system “long life education”. Pada system ini madrasah hanyalah merupakan sub system dari pondok pesantren.
Perpaduan antara kebutuhan persyarikatan (yakni: pencetakan kader-kader)  dan kebutuhan umat saat itu (yakni: keinginan untuk memperoleh ijazah formal yang diakui oleh Negara, sehingga dapat melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi umum maupun agama) merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Langkahnya, pertama, memasukkan kurikulum madrasah Tsanawiyah dan Aliyah sesuai kurikulum 1975 (SKB 3 menteri pada masa Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali) ke dalam kurikulum Mu’allimin. Kedua, para siswa diwajibkan tinggal di dalam Asrama/Pondok. Ketiga, pengajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris lebih diintensifkan lagi dengan tujuan mencetak siswa Mu’allimin yang handal dalam berbahasa asing, baik secara aktif maupun pasif.[21][21]

Nahdlatul Ulama’ (NU)
Benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk Nahdlatul Ulama. Didirakan dalam tahun 1926.[22][22] Kehadiran dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan. Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU telah dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah ideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk merawat tradisi yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis (baca: Muhammadiyah, Syarikat Islam dan al-Irsyad). Ini adalah faktor dari dalam atau internal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU, langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadap faham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuan di Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridho.[23][23] Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU.
Sedikit menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.[24][24]
Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren. para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf. 
Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârif didirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial; 1). Al-I’timad alannafsi (berdikari), dan 2). Fil Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat. Madrasah atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.[25][25]

Sistem Pesantren 
Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan. tulisan ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem pesantren dan karakteristiknya. Berangkat dari  definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.
Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama tempat tinggal para santri.

Karakteristik pendidikan pesantren
1.      Materi Pelajaran dan Metode Pelajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahan yang lazim disebut kitab kuning.
Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih mudah untuk dihafalkan.
2.      Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
3.      Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu pesantren juga menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan berbagai keperluan seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4.      Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren: (1) Theocentric, (2) suka rela dalam pengabdian; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (7) kebebasan terpimpin; (8) kemandirian; (9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11) belajar di pesantren bukan mencari ijazah; (12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5.      Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
6.      Kehidupan Kiai dan Santri
Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar.
Setidak-tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren, sebagai berikut: (1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya; (2) Kepatuhan santri kepada kiai; (3) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren; (4) Kemandirian amat terasa di pesantren; (5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren; (6) Disiplin sangat dianjurkan di pesantren; (7) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri; (8) Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri

Profil singkat Ponpes Tebuireng
 Pondok pesantren tebu irang didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’aripada tahun 1899 M. secara singkat, periodesasi kepemimpinan tebuireng sebagai berikut:

Periode I                     : KH. Muhammad hasyim Asy’ari      : 1899-1947
Periode II                   : KH. Abdul Wahid Hsyim                 : 1947-1950
Periode III      : KH. Abdul Karim Hasyim                :1950-1951
Periode IV      : KH. Ahmad Baidhawi                      :1951-1952
Periode V                    : KH. Abdul Kholik Hasyim               : 1953-1965
Periode VI                  : KH. Muhammad Yusuf Hasyim       :1965-2006
Periode VII     : KH. Salahuddin Wahid                    : 2006- sekarang
Sebagai pesantren tradisional, pondok pesantren tebuireng pada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang melawan penjajah Belanda dan jepang. Seiring dengan perjalan waktu pondok pesantren tebuireng tumbuh demikian pesatnya, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Untuk kepentingan, pondok pesantren tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Pada zaman itu system pengajarn yang digunakan adalah metode sorogan, metode weton atau bandongan atau halqah. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab. Sesuai dengan misi utama berdirinya pondok
Perubahan system pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M, yakni dengan penerapan system madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. System pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Hingga pada tahun 1929 M, kembali dirintis pembaharuan, yakni dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh oleh pesantren manapun pada waktu itu.[26][26] Ponpes Tebuireng saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hsyim, Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. 

III. Kesimpulan
Yang bisa disimpulkan dari penjelasan singkat dalam makalah ini yaitu;
1.      Adanya kesamaan ideology pendidikan yakni konservatis, meskipun Muhammadiyah lebih progresif dengan konsep tajdidnya sedangkan NU lebih pada tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi.
2.      Memiliki kesamaan dalam merespon perkembangan zaman, dalam konteks pendidikan Muhammadiyah memasukkan system kepondokan (asrama) ke dalam system madrasah. Sedangan NU memasukkan system pendidikan Madrasah (metode klasikal) ke dalam system pondok.
3.      Lahirnya Muhammadiyah merupakan respon terhadap kondisi umat islam di Indonesia yang irasional, sedangkan NU lahir dari antithesis gerakan pembaharuan Timur Tengah dan Muhammadiyah.
Daftar Pustaka
Tuhuleley, Said (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003

Slamet Abdullah & Muslich KS, Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Nata, H. Abuddin (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001

Mansur Suryanegara, Ahmad, Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2010

Pasha, Musthafa Kamal & Darban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009

A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010

Suara Muhammadiyah (SM), NO. 04 TH KE-98. 16 – 28 FEB 2013

Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001

Artikel PendidikanNetworkMENGENALPENDIDIKANNAHDHATULULAMA.htm. akses juni 2013




syahrul hadi

PENDIDIKAN ISLAM DI ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Oleh Rian Hidayat Abi El-Bantany
I. Pengertian Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan dalam arti sempit ialah bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan itu menjadi bagian dari keperibadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.
Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditunjukan untuk keselamatan dan kebahagian manusia.
Tokoh pendidikan lain yang menyoroti pendidikan adalah Soegarda Purbakawaca. Menurutnya dalam arti umum, pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.
Dalam seminar pendidikan Islam se-Indonesia di Cipayung Bogor tanggal 7-11 Mei 1960 menyatakan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah: “Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya ajaran semua ajaran Islam”.
Istilah membimbing, mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan dan melatih, mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam di Indonesia pada zaman Belanda, adalah bimbingan dan pembinaan yang dilakukan oleh para ulama dan kyai ataupun ustazd kepada masyarakat, baik secara individu maupun kelompok di rumah-rumah, mushalla, masjid maupun pesantren. Tujuannya adalah terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa, mampu mengamalkan ajarannya dan berakhlak mulia serta memiliki ghirah keislaman yang tinggi.
II. Sikap dan politik penjajahan belanda terhadap perkembangan pendidikan islam
Pada zaman kolonial Belanda, pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh faktor politik yang ditentukan oleh kebijakan penguasa, yaitu Belanda baik sesama VOC maupun pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, politik pendidikan bukan hanya bagian dari politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Sebuah contoh yang tampak pada zaman pemerintahan Deandels, pihak penjajah beranggapan bahwa hanya sekolah-sekolah pemerintah atau staats onderways saja yang mendatangkan hasil bagi kepentingan penjajah. Perbaikan Mohammedaans gods dienst onderways, yaitu pondok pesantren, langgar, surau dan rangkang tidak perlu. Alasannya, sekolah-sekolah itu hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Oleh karena itu, diadakan peraturan umum tentang persekolahan (Stbl 1818 N0.4), yaitu mengatur tentang ketentuan-ketentuan pengawasan penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Harun Nasution, ciri politik dan praktik pendidikan kaum kolonialis, khususnya belanda adalah sebagai berikut:
a. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
b. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
c. Konrol sentral yang kuat.
d. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
e. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di Negeri Belanda.
f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak peribumi.
Gradualisme yang diterapkan Belanda untuk masyarakat pribumi memang dengan ekstrim. Yaitu dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah yang setaraf dengan ELS. Padahal penjajah lain seperti di Spanyol telah mendirikan universitas di Filipina pada permulaan abad ke-16 untuk masyarakat pribumi, Inggris membuka universitas di India pada abad ke-17, sedangkan pemerintah Belanda baru mendirikan sekolah tinggi pada dekade ke-2 abad ke-20. Inipun terjadi atas tekanan keadaan darurat yang disebabkan oleh perang dunia I.
Pemerintah Belanda juga menanamkan dualisme dalam pendidikan. Dengan membedakan sekolah untuk anak Belanda dan untuk anak pribumi. Selain itu, ada perbedaan sekolah untuk orang berada dan yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan untuk melanjutkan pelajaran dan yang tidak memberi kesempatan. Pendeknya pendidikan hanya dijadikan alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.
Belanda juga menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dak kaku. Control yang sangat ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam.
Pemerintah Belanda juga menerapkan prinsip konkordansi, yakni suatu prinsip yang memaksa sekolah berorentasi Barat dan menghalangi dalam penyesuaian pendidikan dengan konsdisi di Indonesia. Dengan demikian setiap sekolah dipaksa menjadi agen kebudayaan Barat dan didijadikan sebagai alat untuk misionaris Kristen.
Yang tak kalah memperihatinkan juga, mereka dijadikan pegawai rendahan atau pegawai kasar sebagai tujuan utama pendidikan bagi pribumi.
Prinsip dan pola ini mereka tempuh karena mereka tidak ingin masyarakat pribumi menjadi pintar dan tidak ingin Islam menjadi maju. Karena jika masyarakatnya pintar dan Islam maju, terancamlah kekuasaan mereka, terancamlah keuntungan yang berlimpah dalam bidang perdagangan mereka dan terancam pula misi mereka untuk menyebarkan bahkan mengkristenkan seluruh Indonesia. Karena itu Belanda tidak ingin Islam berkembang karena dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan kekuasaannya.
III. Keadaan Pendidikan Islam Dimasa Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, termasuk Belanda, pendidikan Islam sudah ada dan mulai berkembang ke seluruh pelosok tanah air. Walaupun pelaksanaannya masih sangat sederhana (tradisional) jika dibandingkan dengan perkembangan setelah kedatangan bangsa Belanda. Pendidikan Islam berjalan dan berkembang seiring dengan dakwah dan penyebaran Islam itu sendiri, baik di kalangan masyarakat maupun istana raja-raja. Pendidikan Islam pada saat itu mengambil bentuk halaqah, dan tatap muka perorangan di mushalla, masjid, maupun pesantren.
Ketika Belanda datang, pendidikan Islam mulai mengalami hambatan. Rintangan dan tantangan untuk berkembang lebih maju seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman itu terjadi terutama ketika dihadapkan dengan persaingan melawan Kristenisasi yang justru dilakukan oleh kaum penjajah mulai dari bangsa Portugis hingga Belanda. Belanda membuat berbagai peraturan dan kebijakan yang intinya menghambat dan menghalangi perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
Colonial Belanda memperlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah untuk mereka terbatas hanya sekolah desa dan Vervlog. Padahal Islam agama mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk beragama selain Islam khususnya Kristen (Protestan-Katolik) diperlakukan sama dengan bangsa Eropa. Keadaan ini membekas dalam hati umat Islam. Selain itu kolonial Belanda selalu menempatkan Islam sebagai musuh baik untuk kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama Nasrani.
Keadaan pendidikan umat Islam pada zaman Belanda dari waktu ke waktu demikian memperihatinkan karena terus menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak menggembirakan. Namun demikian, umat Islam secara terus menerus pula tetap berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan Islam mengalami kebangkitan.
Kebangkitan tersebut terinspirasi oleh gerakan yang lahir di Timur Tengah yang dibawa oleh orang-orang Indonesia yang menunaikan haji ke tanah suci Makkah. Gerakan ini dimulai dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, Perserikatan Ulama Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam di Bandung (1920), Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya (1927) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Candung Bukit Tinggi (1930), dan lain sebagainya.
Dengan munculnya gerakan-gerakan itu keadaan pendidikan Islam mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju, meskipun Belanda tidak menghendakinya. Bahkan cenderung menghalangi pertumbuhan dan perkembangannya. Perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju itu, paling tidak bisa diukur, salah satunya dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bermunculan sebagaimana disebutkan di atas.
IV. Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Dimasa Kolonial Belanda
A. Jami’at Khair : Konsep Pendidikan Konvergensi

Jami’at Khair yang secara resmi disahkan pemerintah Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi pendidikan ini merupakan organisasi pendidikan pertama yang didirikan oleh orang bukan Belanda, yang keseluruh kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem Barat.
Organisasi ini membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama, tetapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan bahsa pengantar bahasa Melayu. Bahasa Inggris merupakan bahasa wajib, pengganti bahasa Belanda. Sedangkan pelajaran bahasa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam. Dilihat dari pelaksanaan program pendidikannya, Jami’at Khair telah melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan, dan kedua pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode mengajar.
Organisasi ini merupakan organisasi Islam yang mula-mula menyelenggarakan sistem pendidikan konvergensi (gabungan) antara system pendidikan madrasah (Islam) dengan pendidikan Barat (sekolah) di Indonesia.
B. Taman Siswa : Konsep Pendidikan Nasional
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara menyusun konsep pendidikan Taman Siswa dengan sebutan “kembali kepada yang nasional”, yang meliputi yaitu:
1) Sistem Among
Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cinta, dengan memberi kebebasan anak asuh untuk bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut bakat kemampuannya. Dalam pelaksanaan sistem among menempatkan guru sebagai fungsi orang tua. Guru sebagai tukang pamong dan sebagai pendidik. Karena itu tugas guru yang biasanya memberikan perintah, paksaan dan hukuman kepada muridnya, tidak digunakan di Taman Siswa. Tugas guru hanyalah memberikan bimbingan dan membantu anak bertumbuh dan berkembang menurut kodrat bakatnya.
2) Teori Tri-Sentra
Tri sentra (tiga pusat) merupakan bagian dari sistem pendidikan Taman Siswa. Teori ini mengacu kepada dasar pemikiran bahwa peguron (perguruan), merupakan miniatur tiga alam, yakni asrama (keluarga), balai wijata (sekolah) dan masyarakat, sebagai pusat pembentukan jiwa anak-anak. Para guru dan murid-murid Taman Siswa menempati satu lembaga pendidikan yang terdiri dari sekolah dan asrama, pamong dan siswa.
3) Kebudayan Nasional
Ki Hajar Dewantara Berpandangan, Menurutnya pengaruh bahasa Belanda cenderung memalingkan perhatian mereka kepada bahasa asalnya. Untuk itu Beliau memberikan gagasan untuk membangun sistem pendidikan yang berwatak budaya Indonesia.
C. Indonesisch Nederland School
Indonesisch Nederland School
(INS), didirikan oleh Muhammad Syafe’i, pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, Sumatera Barat.
Pelaksanaan pendidikan di INS dilakukan secara berjenjang yang terdiri atas empat tingkata ruang. Ruang rendah (SD), lama pendidikannya tujuh tahun; ruang dewasa, lama pendidikannya empat tahun; dan terakhir ruang masyarakat dengan lama pendidikan satu tahun.

Pendidikan yang diberikan atas pendidikan teori dan pendidikan praktek. Materi yang diberikan bervariasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Untuk tingkat ruang rendah teori 75 % dan praktek 25 %. Sedangkan untuk tingkat ruang dewasa masing-masing 50 %, sehingga para pengamat cenderung untuk menggolongkan INS sebagai sekolah kerja (doesschool). Tujuan utamanya pendidikan dan pengajaran berdasarkan prinsip aktif, dengan mengutamakan peranan pekerjaan tangan.
INS Kayutaman dalam menerapkan kurikulum pendidikannya, terutama dalam bidang keterampilan senantiasa dikaitkan dengan tujuan menanamkan jiwa aktif kepada siswa. Dengan demikian setiap pelajaran mengandung latar belakang pembinaan yang berbeda, tapi mengarah pada tujuan akhir, yaitu mampu hidup mandiri, serta bermanfaat bagi masyarakat.
D. Perguruan Muhammadiyah: Konsep Sekolah Agama
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1869-1923), tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda (Indonesia), terutama di Jawa ketika itu dinilai tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan.
Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa, dan tahun 1921 organisasi ini telah meliputi seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah terdiri atas sekolah diniyat yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Tetapi sekolah diniyat Muhammadiyah berbeda dengan metode belajar halaqah, model pesantren Muhammadiyah ini mengambil system pendidikan Barat, yaitu sistem klasikal. Adapun Kurikulumnya yang diterapkannya mendekati kurikulum pemerintah. Yakni penggabungan kurikulum pemerintah dan kurikulum Madrasah.
E. Santi Asromo: Konsep Pesantren Kerja
Santi Asromo didirikan oleh K.H. Abdul Halim Iskandar, tahun 1932 terletak di desa Pasir Ayu Kabupaten Majalengka.
Di antara tujuan didirikannya Santi Asromo adalah:
a) Pembentukan akhlak yang mulia (setia, jujur, lurus, mengerti kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya serta terhadap ibu bapak).
b) Pembentukan intelek.
c) Pembentukan rasa dan sikap sosial.
d) Pembentukan warga Negara yang baik (mengerti terhadap kewajiban tumpah darah, berlaku adil terhadap sesama makhluk Allah)
Menurut Abdul Halim, pendidikan yang dibutuhkan harus menyangkut tiga faktor yang mesti diperhatikan yakni: pendidikan batin (akhlak), pendidikan sosial (ijtima’), dan pendidikan ekonomi (iqtishad). Untuk mencapai kehendak tersebut, disusun materi kurikulum, meliputi ketiga faktor dimaksud.
F. Persatuan Islam (PERSIS): Konsep Pendidikan Dakwah dan Publikasi
Persatuan Islam (Persis) didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh ZamZam dan Muhammad Yunus.
Didirikan Persis adalah untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama.


[1][1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, h. 24 
[2][2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
[3][3] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009, h. 145
[4][4] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, h. 146
[5][5] Gambaran lebih rinci dijelaskan oleh Amin Abdullah pada tema Paradigma Pendidikan Muhammadiyah
[6][6] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 84
[7][7] H. Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm. 256
[8][8] Slamet Abdullah & Muslich KS, Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010, h. 3-4
[9][9] Slamet Abdullah & Muslich KS, h. 42
[10][10] Slamet Abdullah & Muslich KS, h. 42
[11][11] Abudin Nata (ed), h, 259
[12][12] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 29
[13][13] Abudin Nata (ed), h. 263
[14][14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadina, 2010, h. 444
[15][15] Said Tuhuleley (ed), h. 98-100
[16][16] Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001, h. 95
[17][17] Tulisan Prof. Dr. Syamsul Arifin dengan judul AIK Sebagai Praksis Pendidikan Nilai, Suara Muhammadiyah 04/98 I 16-28 Februari 2013
[18][18] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 35-40
[19][19] Said Tuhuleley (ed), h. 49
[20][20] Said Tuhuleley (ed), h. 49 & 51
[21][21] Selengkapnya bisa dibaca di situs resminya, www.muallimin.sch.id/index.php/profile. akses 20 juni 2013
[22][22] Deliar Noer, h, 241
[23][23] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22
[24][24] Artikel%20Pendidikan%20Network%20-%20MENGENAL%20PENDIDIKAN%20NAHDHATUL%20ULAMA.htm. akses 8 Juni 2013
[25][25] Ibid
[26][26] Untuk lebih rinci dan mendalam dapat dibaca di situs resminya, Tebuireng.org/pages/1/profil.html

TAMAN SISWA DAN KONSEPNYA

Prof. Dr. Ki Supriyoko:
Dipresentasi dalam Seminar Nasional Kontribusi Tamansiswa dan INS Kayutanam dalam membangun Karakter bangsa Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Jakarta: Depdiknas, Hotel Sahid, Ballroom Lt 2, 24 Agustus 2006
A.  RIWAYAT
A1. “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!” (Soewardi Soerjaningrat, “Als Ik Eens Nederlander Was”, De Express, 1913).
A2. Sebelum terjun ke dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara terkenal sebagai wartawan, penulis, politisi, dan budayawan. Ia sempat bekerja di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara (1908 dst), aktif di Boedi Oetomo (1908 dst), Indische Partij (1912 dst), Sarasehan Malem Slasa Kliwon (1919 dst). Pada tahun 1913 bahkan pernah “diinternir” ke Belanda, dan dimanfaatkan untuk menimba ilmu baik secara formal maupun nonformal. Ia mendapatkan Europeesche Akte.

A3. Sepulang dari Belanda tahun 1919, Ki Hadjar bersama teman-teman menyelenggarakan sarasehan di halaman rumahnya (sekarang Pendopo Tamansiswa), dikenal dengan Sarasehan Malem Slasa Kliwonan. Dari forum ini muncul gagasan pendidikan; selanjutnya Ki Hadjar ditunjuk menangani pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram ditunjuk menangani pendidikan kaum dewasa.
A4. Tepat pada tanggal 3 Juli 1922 bersama Soetatmo Soerjokoesoemo, Pronowidigdo, Soejopoetro, dkk, Ki Hadjar memproklamasi berdirinya Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa di Yogyakarta. Dari sini berkembanglah kemudian aneka satuan pendidikan di Tamansiswa; Taman Indriya (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), Taman Karya Madya (SMK), Taman Guru (SPG), dan Sarjanawiyata (PT).
A5.  Pada tahun 1932 pemerintah kolonial Belanda melarang dijalankannya sekolah boemi putra karena dianggap berbahaya bagi eksistensi rezim kolonial. Belanda mengeluarkan kebijakan Onderwijs Ordonnantie (OO) atau Wilden Schoolen Ordonnantie (ordonansi sekolah liar), karena sekolah pribumi dianggap sekolah liar. Kebijakan ini dilawan oleh Tamansiswa dan Ki Hadjar dengan melontarkan jurus “gerakan diam” (lijdelijk verzet). Karena aksi Tamansiswa mendapat dukungan rakyat maka kebijakan OO pun akhirnya tumbang.
B.  KONSEP PENDIDIKAN
B1. Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
B2. Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
B3.  Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
B4. Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
B5. Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
B6. Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.
B7. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
B8. Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
C.  KONSEP KEBUDAYAAN
C1.  Konsepsi dasar Tamansiswa untuk mencapai cita-citanya adalah Kebu-dayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan eko-nomi yang terlalu tajam antarwarga negara.
C2. Kebudayaan nasional pada dasarnya merupakan puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kebudayaan nasio-nal bukanlah sesuatu yang statis akan tetapi bergerak dinamis sesuai dengan irama kemajuan jaman. Dalam konsep ini seluruh kebudayaan daerah dihargai sebagai aset kebudayaan nasional; di sisi yang lain adanya kemajuan kebudayaan sangat dimungkinkan, baik kebudayaan nasional maupun daerah.
C3. Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trikon” yang ter-diri dari kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas. Maksudnya, hendaknya kita ini mampu melestarikan budaya adhi luhung para pendahulu dengan tetap memberikan ruang kepada budaya manca untuk saling berkolaborasi. Meski demikian dalam kolaborasi antara budaya kita dengan budaya manca tersebut hendaknya menghasilkan budaya baru yang lebih bermakna.
C4. Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Adapun maksudnya adalah, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Kalau untuk melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinannya akan tidak berhasil.
C5. Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Trihayu” yang terdiri dari memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayunin bawana. Maksudnya adalah, apa pun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.
C6. Untuk menjadi pemimpin di tingkat mana pun kebudayaan Tamansiswa mengajarkan “Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, serta tut wuri handa-yani. Maksudnya adalah, ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan/atau pihak-pihak yang dipimpinnya.
C7. Kebudayaan Tamansiswa mengembangkan “Konsep Tripantangan” yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Adapun maksudnya adalah, kita dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi), menyalahgunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.
D.  KENDALA
Dalam usianya yang lebih dari 85 tahun sekarang ini kendala utama yang dihadapi oleh Tamansiswa adalah manusianya; artinya sangat sedikit insan Tamansiswa yang memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan sekaligus kewenangan (bekwaamheid) untuk mengembangkan diri dan lembaganya. Sebenarnya banyak insan Tamansiswa yang bagus, akan tetapi ketika masih produktif memilih berkarya di luar dan setelah tidak produktif baru ingin berkiprah di Tamansiswa.

Navigasi tulisan

Tinggalkan Balasan


Konsep Pendidikan TAMANSISWA

Published May 13, 2012 by indahnhbk
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunanmasyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdekalahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikankeadaan.Tamansiswa memakai asas anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak  boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (i), yaitu antaraintelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secaraseimbang.Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdekalahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmanidan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikanTamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.Kalau di Barat ada “Teori Domain” yang diciptakan oleh Benjamin S.Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswaada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami)dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialahmeningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasahrasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, sertameningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatusistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dankemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktusebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem TutwuriHandayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yangdalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakankerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga,lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satudengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekuranganyang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan SistemTrisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon),Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dankelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagairagam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

ORGANISASI DAN TOKOH TERKEMUKA PENYELENGGARA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh Rian Hidayat Abi El-Bantany
A. Jami’at Khair: Konsep Pendidikan Konfergensi
Konsep pendidikan konvergensi yaitu sistem pendidikan konvergensi (gabungan) antara sistem pendidikan madrasah (islam) dengan pendidikan barat (sekolah) di Indonesia. Jamiat Khair melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yaitu: pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan, dan kedua, pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode mengajar.
B. Taman Siswa: Konsep Pendidikan Nasional.
Didirikan oleh Ki Hajar Dewantara tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Konsep pendidikan Taman Siswa berasal dari berbagai sumber ide yang di nilai bermanfaat dan layak untuk di masukkan sebagai acuan sistem pendidikan yang dicita-citakan. Dalam makna lain Taman Siswa terbuka dari pengaruh luar, yang bersifat tidak merugikan dan tidak pula mengorbankan prinsip dasar dan tujuan yang hendak di capai.
Taman Siswa sudah mempersiapkan suatu konsep tentang pendidikan, sebagai suatu sistem yang digali dari kekayaan kebudayaan nasional. Asas-asas pokok yang berdasarkan kemanusiaan, kodrat alam, Kebangsaan, kebudayaan, dan kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara menyusun sistem pendidikannya, yang disebut dengan “kembali kepada yang nasional.”
1. Sistem Among.
Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh itu untuk bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut bakat kemampuannya.
2. Teori Trisentra.
Trisentra (tiga pusat) merupakan bagian dari sistem pendidikan taman siswa. Teori ini mengacu kepada dasar pemikiran bahwa peguron (perguruan) merupakan pembentukan lingkungan pendidikan yang terpadu antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Kebudayaan Nasional.
Gagasannya adalah untuk membangun sistem pendidikan yang berwatak budaya Indonesia.
C. Indonesia Nederland School : Konsep Sekolah Kerja.
Didirikan oleh M. Syafei, pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanan, Sumatra Barat. Pendidikan yang diberikan atas pendidikan teori dan pendidikan praktek. Materi yang diberikan bervariasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Untuk tingkat ruang rendah teori 75% dan praktek 25% sedangkan untuk tingkat ruang dewasa masing-masing teori 50% dan praktek 50% sehingga para pengamat cenderung untuk menggolongkan INS sebagai sekolah kerja (does school). Tujuan utamanya adalah pendidikan pengajaran berdasarkan prinsip aktif, dengan mengutamakan peranan pekerjaan tangan,
M. Syafei berkeyakinan, bukan pelajaran saja yang pokok, tetapi cara pengajarannya tidak boleh diabaikan. Adanya kaitan antara materi pelajaran dengan metode yang digunakan guru,akan menopang tiga unsur pokok pendidikan yang akan di kembangkan. Ketiga unsur pokok itu adalah pembentukan watak,kebiasaan kerja sistematis, intensitas dan rasa setia kawan antara para murid.
D. Perguruan Muhammadiyah: Konsep Sekolah Agama
Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Muhammadiyah mendirikan sekolah umum model pemerintah seperti Kweek School (sekolah guru) tetapi tidak netral agama. Dengan predikatnya sebagai pembaharu Muhammadiyah menyusun kurikulum pengajaran di sekolah-sekolahnya mendekati rencana pelajaran sekolah-sekolah pemerintah. Pada pusat-pusat pendidikan Muhammadiyah disiplin-disiplin sekuler (ilmu umum) di ajarkan, walaupun ia mendasarkan sekolahnya pada masalah-masalah agama. Tampaknya dalam kurikulum, pemisahan antara dua macam disiplin ilmu itu dinyatakan dengan tegas.
Berdasarkan susunan mata pelajaran yang termuat dalam rencana pelajaran (seluruh) mata pelajaran agama hanya 20%(lima mata pelajaran) di madrasah Mu’allimin (sekolah guru Muhammadiyah). Kedua, sebagai institusi pendidikan islam yang menginginkan pembaharuan dalam pendidikan islam agaknya kecenderungan sistem pendidikan yang dipilih oleh Muhammadiyah adalah pendidikan integratif menggabungkan kurikulum sekolah pemerintah dengan kurikulum madrasah.
Madrasah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
3. Muhammadiyah sebagai gerakan
Dari beberapa ciri di atas terdapat pula tujuan-tujuan di antaranya adalah di bidang pendidikan. Yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
a. Tajdid, ialah kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan
b. Kemasyarakatan
c. Aktivitas
d. Kreativitas
e. Optimisme
Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara. Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat sekolah serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum.
Dengan demikian, bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh berkepribadian, yaitu pribadi yang berilmu pengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah:
a. Sekolah Umum
Taman Kanak-Kanak (Bustanul Athfal), Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun.
b. Sekolah Agama
Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballigin (SPG Islam) 5 tahun dan Madrasah Diniyah.
Selanjutnya pada zaman kemerdekaan, sekolah Muhammadiyah perkembangannya semakin pesat. Pada dasarnya ada 4 macam jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaitu:
a. Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMTP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK, dan sebagainya. Pada sekolah-sekolah ini diberikan pelajaran agama sebanyak 6 jam seminggu.
b. Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu: Madrasah Ibtidaiyyah (MI), MTs, dan MA.
c. Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tablig, dan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
d. Perguruan Tinggi Muhammadiyah, sampai sekarang cukup banyak mengelola lembaga pendidikan tinggi, baik umum ataupun agama.
Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah Umum di bawah pembinaan Kopertis (Depdikbud), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Agama di bawah pimpinan Kopertais (Departemen Agama).
E. Santri Asromo : Konsep Pesantren Kerja.
Didirikan oleh KH. Abdul Halim Iskandar, tahun 1932 terletak di desa Pasir Ayu kabupaten Majalengka. Karel A Steen brink menilai bahwa pendidikan santri Asromo bertujuan membentuk kepribadian murid-muridnya dengan memberikan kesempatan untuk meraih suatu jabatan dengan bekal keterampilan yang terlatih. Tujuan pendidikan santri Asromo yang digariskan Abdul Halim itu memang tampaknya merangkum dua tujuan pokok, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum sebagai tujuan akhir yang akan di capai adalah membentuk anak-anak agar menjadi manusia yang akan dapat membekali dirinya untuk hidup di dunia (dengan pengetahuan) dan akhirat (dengan pengetahuan agama). Adapun tujuan khusus yang akan di capai anak-anak berkaitan dengan bakat, lingkungan, kondisi sosial, kemampuan pendidik, dan tugas kelembagaan adalah untuk membentuk anak menjadi manusia mandiri,keperluan sendiri harus di buat sendiri.
Dari beberapa tulisan yang dijumpai baik Abdul Halim sendiri maupun yang dikemukakan penulis seperti Lothrop Stoddard, di duga Santri Asromo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thantowi Jauhari dan Amir Syakib-Arsalan. Pemikiran kedua tokoh itu diserap beliau dan kemudian dipadukan dengan kondisi di tanah air dan cita-citanya untuk mendirikan suatu sistem pendidikan islam yang dapat menghasilkan santri-santri yang dapat hidup mandiri. Tampaknya Santri Asromo merupakan realisasi dari pemikiran Abdul Halim tentang pembaharuan pendidikan Islam untuk menghadapi tantangan pengangguran, kemiskinan, dan kebodohan mayoritas umat Islam dari zamannya.
F. Persis (Persatuan Islam): Konsep Pendidikan Dakwah dan Publikasi
Didirikan secara resmi pada tanggal 12 September1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.
Pada awal berdirinya, pesantren persis dikenal sebagai pesantren yang sangat modern apalagi dibandingkan dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya karena keberaniannya memasukkan beberapa sistem administrasi pendidikan dan model kurikulum seperti yang diajarkan sekolah Belanda. Walaupun demikian, pada dasarnya kurikulum yang dikembangkan pesantren Persis ini adalah perimbangan pendidikan agama sebagai prioritas, jika dibandingkan dengan pendidikan umum, dan yang menarik,kurikulum yang dipakai sampai saat ini adalah hasil rakitan sendiri. Namun begitu dalam pengakuan berbagai pendidik di kalangan pesantren, “kurikulum rakitan” itu masih didasarkan kepada kaidah-kaidah baku gerakan persis, seperti yang disebut Ahkam al-Syar’i dan qaidah ushul. Dari racikan kurikulum seperti ini, diharapkan para santri memiliki bekal pengetahuan akidah yang cukup, dan ta’abudi(berbudi pekerti) yang berdasarkan al-sAkhlak al-kKarimah(akhlak budi pekerti luhur).
Di samping menyelenggarakan pendidikan Islam berupa madrasah atau sekolah lain, Persis juga mendirikan sebuah pesantren. Pesantren Persis didirikan di Bandung tanggal 1 Dzulhijjah 1354 H bertepatan dengan Maret 1936. Pesantren ini dipimpin oleh A. Hasan sebagai kepala dan Muhammad Nasir sebagai Penasehat dan Guru.
Tujuan pendidikan pesantren ini untuk mengeluarkan mubalig-mubalig yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mengajarkan agama Islam. Dengan demikian, diharapkan terbentuknya kader-kader yang punya kemauan keras untuk melakukan dakwah Islamiyah.
Namun demikian, pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan Persis, yakni ketika pimpinan pesantren Persis secara kelembagaan mengizinkan para santri untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi belajar tahap akhir persamaan. Hal ini belaku bagi siswa yang merampungkan studinya di tingkat Tsanawiyah maupun tingkat muallimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi Persis karena pada masa kepemimpinan sebelumnya di bawah pimpinan KH. Abdurrahman, para santri dan siswa di lingkungan persis tidak diperbolehkan mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negeri. Dalam perspektif Kyai, hal ini akan mempengaruhi visi dan orientasi para siswa di didik di lingkungan Persis untuk menjadi ulama menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negeri.
G. Nahdhatul Ulama’ (NU)
Nahdhatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)” didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang sering kali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunah Waljama’ah yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia dan berusaha mempertahankan salah satu dari empat mazhab dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali. Sedangkan dalam hal i’tiqad NU berpegang pada aliran Ahlussunah Waljama’ah. Dalam konteks ini NU memahami hakikat Ahlussunah Waljama’ah sebagai ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya.
Sebelum menjadi partai Politik, NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam (ADNU tahun 1926).
Setelah menjadi partai politik Mei 1952 yang dituangkan dalam anggaran Dasarnya yang baru, di mana NU bertujuan:
1. Menegakkan syari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari empat mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali
2. melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukanlah usaha-usaha, antara lain:
1. Menyiarkan agama Islam melalui tablig-tablig, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
2. Mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam
3. Penyelenggaraan Pendidikan
Selanjutnya, pada akhir tahun 1938 (1356 H) komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglemen tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Adapun susunan madrasah-madrasah tersebut adalah:
1. Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
2. Madrasah Ibtidaiyyah dengan lama belajar 3 tahun
3. Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun
4. Madrasah Mu’allimin Wustha 2 tahun
5. Madrasah Mu’allimin “Ulya” 3 tahun
Kurikulum yang menjadi acuan pengajaran di Madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus menurut ketentuan PBNU bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’rif.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah naungan NU.
H. Al-Irsyad
Al-Irsyad merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpunan Al-Irsyad Jakarta dengan tokoh pelopornya Ahmad Syurkati Al-Anshari.
Tujuan perkumpulan Al-Irsyad ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Al-Irsyad di samping bergerak di bidang pendidikan, juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Rasul secara murni dan konsekuen.
Dalam bidang pendidikan, Al-Irsyad mendirikan madrasah:
a. Awaliyah, lama belajar 3 tahun (3 kelas)
b. Ibtidaiyah, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
c. Tajhiziah, lama belajar 2 tahun (2 kelas)
d. Mu’allimin, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
e. Takhassus, lama belajar 2 tahun (2 kelas)
Pada tahun 1924 dimulailah usaha perbaikan organisasi sekolah, ketika dikeluarkannya sebuah peraturan di mana hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu Sekolah Dasar yang lama belajarnya 5 tahun. Begitu juga pelajar-pelajar dari sekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek atau latihan mengajar. Anak yang lebih dari 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang lebih tinggi tergantung pada kemampuan yang diperlihatkannya pada ujian masuk yang dilaksanakan semacam placement test untuk sekarang.
Dewasa ini organisasi Al-Irsyad terus berkembang dan bidang yang menjadi garapannya pun semakin luas, baik bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan sebagainya.
I. Perserikatan Ulama
Organisasi Islam yang bernama Perserikatan Ulama ini merupakan perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, hal ini khususnya terjadi di daerah Majalengka, Jawa Barat. Kehadiran Perserikatan Ulama ini adalah inisiatif K. Abdul Halim pada tahun 1911.
Lembaga pendidikan tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai halaqah. Inilah yang mengilhaminya untuk mengadakan perubahan sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembalinya ke tanah air. Di samping itu juga motivasinya adalah untuk membuktikan kepala pihak familinya yang kebanyakan golongan priyayi (politik pendidikan pemerintah kolonial) bahwa dia meskipun dari golongan rakyat biasa mampu melayani masyarakat dengan baik.
Setelah enam bulan sekembalinya dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1911 Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang bergerak dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Orang-orang yang bergabung di dalamnya kebanyakan dari petani dan pedagang. Di bidang ekonomi pada mulanya organisasi ini bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang Cina. Sedang di bidang pendidikan, KH. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama skali seminggu untuk orang-orang dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah pelajaran fiqh dan hadits.
Dalam rangka perbaikan mutu lembaga pendidikannya Abdul Halim berhubungan dengan Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi tersebut kemudian diganti namanya menjadi Perserikatan Ulama, yang disahkan secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan HOS Cokroaminoto (pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi lainnya Al-Ittahadiyatul Islamiyah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura mulai tahun 1924 dan pada tahun 1937 lebih jauh lagi ke seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 1932 dalam suatu Kongres Perserikatan Ulama di Majalengka Abdul Halim mengusulkan agar didirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga kelengkaspsan-kselengkaspsan berupa pengembangan prosesi dan keterampilan seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, tergantung pada bakat maing-masing yang bersansgksutsan.
J. Al-Washliyah
Al-Jami’atul Washiliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1249 H oleh para pelajar-pelajar dan guru-guru Maktab Islamiyah Tapanuli. Maktab Islamiyah Tapanuli. ini adalah sebuah madrasah yang didirikan di Medan pada tanggal 19 Mei 1913 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan madrasah yang tertua di Medan.
Sebagai pengurus yang pertama pada organisasi ini adalah Isma’il Banda sebagai ketua I, A Rahman Syihab ketua II dan sebagai penasihatnya adalah Syeikh H.M. Yunus.
Al-Washiliyah adalah sebuah organisasi yang berasaskan Islam, yang dalam fiqh memakai mazhab Syafi’i serta dalam hal i’tiqad adalah Ahulussunah Waljama’ah al-Washiliyah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan keagamaan.
Al-Washiliyah menyelenggarakan pendidikannya dengan susunan sebagai bersikut:
a. Madrasah Ibtidaiyyah 6 tahun
b. Madrasah Tsanawiyah 3 tahun
c. Madrasah Qimul Ali 3 tahun
d. Madrasah Mualimun 3 tahun
e. PGA
f. Madrasah Al-Washiliyah 6 tahun
g. SMP Al-Washiliyah 6 tahun
h. MA Al-Washiliyah 6 tahun
Untuk lembaga pendidikan sekolah dasar sampai SMA materi pelajarannya adalah 70 s% umum 30 s% agama. Pada tahun 1958 Al-Washiliyah telah mampu mendirikan Perguruan Tinggi Agam Islam (PTAI) di Medan dan Jakarta. Di Medan kemudian menjadi Universitas dan mempunyai cabang, seperti Sibolga, Kebun Jahe, Rantau Prapat, Lansa (Aceh) bahkan sampai ke Kalimantan tepatnya di Barabai Kalimantan Selatan yang sekarang bernama Al-Washiliyah Barabai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan, M.Ali, Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003, cet.1
2. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999, Cet. 3
3. Mansur. Rekonstruksi SPI Di Indonesia. Jakarta: Depag, 2005
4. Saleh, Abdul Rahman Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi, dan Aksi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006
http://ensiklopebanten.wordpress.com/2012/04/26/organisasi-dan-tokoh-terkemuka-penyelenggara-pendidikan-islam-di-indonesia/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar