Isu tentang sekolah demokratis
di indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik
bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan
mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah demokratis,
sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang
terdiri dari dua kata, yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos
yang berartikekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di
tangan rakyat (Tarcov, 1996:2).
Sekolah demokratis adalah
membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks ini James A. Beance dan
Michael W. Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan
dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane dan Apple, 1995:7)adalah:
1.
Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga
semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.
Memberikan kepercayaan kepada individu-individu
dan kelompok dengan kapasiatas yang mereka miliki untuk menyelesaikan bebagai
persoalan sekolah.
3.
Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam
proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai
kebajikan yang dikeluarkan sekolah.
4.
Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan
orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5.
Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak
individu hak-hak minoritas.
6.
Pemahamn bahwa demokrasi yang dikembangkan
belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus
dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7.
Terdapat sebuah institusi yang dapat terus
mempromosikan dan mengembangkancara-cara hidup demokratis.
Inti dari teori James A. Beane
dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud
jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stake holder sekolah/ madrasah,
sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangansekolah/madrasah,
berbagai proplem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan
ditempuh. Dengan demikian mereka akan bisa menganalisisrelevansi
kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan, serta
menentukan konstribusi dan partisipasi yang akan diberikannyauntuk kesuksesan
pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai
di situ, sekolah demokratis juga harus dikembabangkan dangan sikap truts atau
kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan
program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian kepala
sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya
serta meng organisir pelaksanaan program-programnya itu.
Kemudian, pendidikan
demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak
asasi manusia. Oleh sebab itu, persolaan kesejahteraan para guru, serta semua
yang terkait dengan pengelolaan sekolah/madrasah harus menjadi perhatian
serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam
aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus dikelola secara transparan,
sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian
yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak
minoritas dalam komunitas sekolah/madrasah yang harus diperhatikan sama, tidak
boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit.
Sejalan denagan itu, James A. Beane dan Michael W.
Apple mendefinisikan, bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah
mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah,
yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur
kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan
anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis
(Beane and Michael W. Apple, 1995: 9). Dengan kata lain sekolah demokratis
adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik
demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah) dalam membahas
program-program sekolah/ madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga
memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan
implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa
pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama
padasemua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dan belum pintar,
tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya memperoleh
perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi
waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannyadi saat liburan umum,
sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah
memberi pengalamn-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian
yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dan
minoritas dalam sekolahnya.[1]
[1]
Prof. DR. Dede Rosyada, MA. “Paradigma
Pendidikan Demokrasi” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 15-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar