Minggu, 12 Juni 2016

filsafat pend. revisi 1

Isu tentang sekolah demokratis di indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah demokratis, sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata, yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berartikekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat (Tarcov, 1996:2).
Sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks ini James A. Beance dan Michael W. Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane dan Apple, 1995:7)adalah:
1.      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasiatas yang mereka miliki untuk menyelesaikan bebagai persoalan sekolah.
3.      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebajikan yang dikeluarkan sekolah.
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu hak-hak minoritas.
6.      Pemahamn bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkancara-cara hidup demokratis.
Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua  stake holder sekolah/ madrasah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangansekolah/madrasah, berbagai proplem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh. Dengan demikian mereka akan bisa menganalisisrelevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan, serta menentukan konstribusi dan partisipasi yang akan diberikannyauntuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai di situ, sekolah demokratis juga harus dikembabangkan dangan sikap truts atau kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian kepala sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta meng organisir pelaksanaan program-programnya itu.
Kemudian, pendidikan demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persolaan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah/madrasah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah/madrasah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit.
Sejalan denagan itu, James A. Beane dan Michael W. Apple mendefinisikan, bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis (Beane and Michael W. Apple, 1995: 9). Dengan kata lain sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stake holder dan  user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/ madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama padasemua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dan belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannyadi saat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalamn-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas dalam sekolahnya.[1]



[1] Prof. DR. Dede Rosyada, MA. “Paradigma Pendidikan Demokrasi” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 15-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar