DEMOKRASI DAN
PENDIDIKAN
1.
Tujuan Filsafat
Telah kita
ligat perubahan pendidikan dalam penghujung abad ke -19 dan permulaan abad
ke-20 merupakan suatu gerakan yang besar yaitu ingin menciptakan kemajuan atau
modernisasi di dunia ini.”The Idea of
Progress” mulai berkembang dengan sangat pesat yang bertumpu pada
kemampuan akal manusia. Progresivisme lahir dari aliran filsafat pragmatisme.
Lebih khusus lagi berakar dari eksperimentalisme yang dikemukakan oleh
filsuf edukator John Dewey. Pada dasarnya progresivisme, seoerti juga
pragmatisme, menolak pandangan-pandangan filsafat yang bertalian dengan paham
idealisme, realisme dan Thomisme. Pandangan-pandangan filsafat tersebut
berdasarkan suatu pandangan metafisis yang beranggapan bahwa realitas telah ada
dan tujuan pendidikan ialah membantu akal manusia di dalam mewujudkan apa yang
telah ada tersebut. Bagi pemikir-pemikir progresivisme melihat pengetahuan
bukanlah suatu yang ready-made.
Peserta didik haruslah mengkonstruksi pengetahuan dan kepercayaannya sendiri
melalui interaksi dengan lingkungannya. Demikian pula progresivisme atau
pragmatisme menolak pandangan Thomisme yang menekankan pada tujuan akhir
pendidikan yang hanya dapat terwujud sesudah mati. Menurut paham progresivisme, pandangan
Thomisme tersebut sukar ditanggapi karena tidak dapat diklarifikasikan.
Progresivisme serta liberalisme mempunyai panda pandangan yang
sama. Paham liberalisme yang juga dianut oleh progresivisme adalah komitmennya
terhadap perubahan yang terjadi melalui proses perubahan yang bertingkat
(gradual). Perubahan tersebut lahir dari dialog, debat, pertukaran pendapat,
kebebasan untuk menyatakan pendapat. Bersamaan dengan pendapat naturalisme
ialah hubungan antar individu dengan lingkungan. Menurut pendapat john Dewey,
tujuan pendidikan adalah pertumbuhan yang diarahkan kepada pertumbuhan yang
berkelanjutan melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan selalu menantang
dan berubah, oleh sebab itu belajar adalah dengan berbuat sesuatu dalam
interaksi dengan lingkungan. “learning by doing”, melaksanakan projek
dan aktivitas merupakan prinsip-prinsip dalam belajar. Disini kita lihat proses
belajar merupakan pertukaran pengalaman manusia di dalam lingkungannnya atau di
dalam kelompok. Di dalam proses tersebut peranan pengalaman menjadi sangat
penting. Di dalam karyanya Experience and education, John Dewey
menekankan kepada pengalaman sebagai proses belajar merupakan suatu proses yang
berkesinambungan dari masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Pandangan filosofis dari progresivisme dan pragmatisme
ditantang oleh kelompok konservatisme, perenialisme, dan esensialisme. Kelompok
konservatif melihat pandangan progresivisme yang menekankan kepada masa
sekarang dan akan datang dan melecehkan masa lalu berarti memperlemah transmisi
tradisi dan budaya. Demikian pula pandangan progresivisme yang mengrelatifkan
etika akan memperlemah rasa patriotisme, agama bahkan memperlemah rasa ikatan
terhadap berbagai jenis otoritas.demikian pula kaum perenialis mengeritik
pandangan progresivisme sebagai kelompok yang tidak menghargai nilai-nilai
tradisi yang telah teruji seperti didalam kesusastraan kuno serta peradaban
yang telah diwarisi oleh sejarah umat manusia seperti yang telah diakumulasikan
dalam buku-buku klasik seperti didalam kebudayaan barat. Kaum perenialis
menuduh kaum progresif sebagai meracuni perkembangan jiwa anak.
Aliran progresivisme dalam
pendidikan sangan besar pengarunya pada bagian pertama abad ke-20, khususnya di
amerika serikat. Aliran yang terkenal dengan pragmatisme pendidikan pada
umumnya didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Mendorong pertumbuhan anak melalui
aktifitas-aktifitas yang dihadapi dengan insentif, kreatifitas, dan eksistensi
bebas dari peserta didik.
2.
Kurikulum yang berdasarkan kepada pengalaman yaitu
didasarkan kepada kegiatan-kegiatan, proses belajar yang meneliti (inkuiry) dan pemecahan masalah (problem solving).
3.
Belajar bersama (collaborative learning) melalui kerja sama dalam kelompok.
4.
Guru bertindak sebagai fasilitator belajar dan
bukan sebagai seorang penguasa yang memberikan tugas kepada peserta didiknya.
5.
Pendidikan merupakan suatu yang multifungsional
yang membawa pada keseluruhan pribadi peserta didik suatu tujuan yang
menyeluruh: emosional, fisik, sosial, dan intelektual.
Dengan demikian aliran pragmatisme pendidikan menolak pragsis pendidikan
berupa:
1.
Mengajar secara formal dan berjalan secara rutin.
2.
Melaksanakan kurikulum yang telah ditentukan
terlebih dahulu yang menekankan kepada mata pelajaran dibandingkan dengan
kebutuhan dan minat peserta didik yang spontan.
3.
Menolak situasi-situasi kompetitif yang melahirkan
suasana permusuhan diantara peserta didik.
4.
Belajar yang diararkan kepada ujian.
5.
Insentif eksternal dalam proses belajar seperti
hadiah dan hukuman, serta praktik-praktik pendidik yang sifatnya eksplisit
sehingga tidak memacu proses belajar yang sebenarnya.
2.
Masyarakat yang Demokratis Mensyaratkan Anggota
yang Terdidik
Kaitan antara mdemokrasi dan pendidikan menarik
perhatian para pakar sosiologi, ilmu politik, filsafat dan pedagogik. Dari
pemikiran para ahli tersebut kita ambil contoh dua tokoh yaitu John Dewey yang
mengarang bukunya pada tahun 1916 Democracy and Education. pada masa
dewasa ini adalah Anthoni Giddens yang melihat keterkaitan antara demokrasi dan
pendidikan di dalam bukunya yang terkenal The Third Way and its Critics
pada tahun 2000. Marilah kita lihat alur pemikiran kedua pakar tersebut.
John Deweytokoh
pragmatisme dan gerakan pendidikan progresif pada permulaan abad ke-20 serta
mempunyai dampak besar terhadap di dalam kemajuan pendidikan di Amerika,
mengatakan bahwa demokrasi adalah lebih dari bentuk pemerintahan. Demokrasi
menurutnya adalah sutu modal kehidupan bersama. Kehidupan bersama tersebut
merupakan suatu pengalaman yang saling mengisi dari setiap individu. Di dalam
demokrasi terjadi perluasan pandangan oleh karena pertukaran pendapat serta
kebebasan mengungkapkan kemampuan pribadi yang berbeda-beda. Meskipun demikian
demokrasi adalah lebih dari sekedar
berpartisipasi di dalam hidup bersama. Di dalam proses demokrasi
tersebut tentunya kekerasan (violence) bukanlah suatu solusi. Moralitas
di dalam proses berdemokrasi di capai melalui pertimbangan bersama secara
rasional dan bukan di dorong oleh kepentingan- kepentingan emosional atau
sekedar untuk memuaskan kepentingan kelompoknya.
Menurut Giddens
proses demokrasi seperti yang telah dijelaskan merupakan suatu proses yang
rasiaonal. Oleh sebab itu dibutuhkan anggota-anggota di dalam masyarakat yang
demokratis mempunyai kemampuan untuk menimbang dan mengambil kepuetusan yang
paling rasional dan menguntungkan seluruh masyarakat. Sudah dapat diterka bahwa
anggota masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang terdidik.masyarakat
yang terdidik atau cerdas adalah masyarakat yang terbuka yang dapat melihat
secara transparan dan jernih keputusan yang diambil bersama serta melaksanakan
keputusan tersebut. Inilah prinsip akuntabilitas di dalam masyarakat demokratis
di mana kekuasaan bukan merupakan penerapan keinginan dari sekelompok kecil
yang duduk di dalam pemerintahan atau tampuk keluasaan, tetapi keputusan yang
akuntabel yang telah lahir dari bawah. Keputusan bersama itu telah dicapai
melalui suatu proses partisipasi dari para anggotanya. Partisipasi yang
reflektif dari para anggotanya hanya dapat diperoleh apabila para anggota
adalah anggota-anggota yang cerdas, yang tidak tertekan, yang tidak membeo dan
tidak mengikuti pendapat-pendapat yang tidak rasional. Individu yang di dalam
masyarakat yang demokratis tersebut adalah hasil pendidikan yang membebaskan.
Amanat UUD 1945
bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan
rakyat. Pendidikan yang mencerdaskan rakyat adalah pendidikan yang membawa
warga negaranya sebagai anggota masyarakat demokratis. Menjadi warganegara
demokratis menuntut anggotanya berpartisipasi secara bertanggung jawab. Inilah
aspek ketiga dari anggota masyarakat yang demokratis ialah tanggung jawab.
Demikian pula banyak pula keputusan di dalam negara demokratis yang meminta
sikap toleransi yang tinggi khususnya di
dalam masyarakat yang bhinneka seperti masyarakat indonesia yang multikultural
dituntut sikap toleransi yang tinggi dari setiap anggotanya. Semua manusia
memounyai kedudukan sama di bawah hukum. Kematangan hidup berdemokrasi ternyata
ditentukan oleh tingkat pendidikan suatu masyarakat atau rakyat. Semakin tinggi
tingkat pendidikan atau anggota semakin berbobot pula hidup berdemokrasi. Bukan
berarti di dalam suatu masyarakat demokratis tidak ada konflik. Setiap
masyarakat mengenal konflik namun tidak setiap masyarakat mengenal pemecahan
konflik secara manusiawi. Pemecahan konflik dalam suatu masyarakat tidak perlu
melalui kekerasan tetapi melalui dialog dan saling pengertian, saling membantu
atau terikat oleh suatu kohesi sosial dalam membangun masyarakat bersama yang adil
dan bahagia.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar