Minggu, 12 Juni 2016

filsafat pendidikan revisi 2

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN
1.      Tujuan Filsafat
Telah kita ligat perubahan pendidikan dalam penghujung abad ke -19 dan permulaan abad ke-20 merupakan suatu gerakan yang besar yaitu ingin menciptakan kemajuan atau modernisasi di dunia ini.”The Idea of  Progress” mulai berkembang dengan sangat pesat yang bertumpu pada kemampuan akal manusia. Progresivisme lahir dari aliran filsafat pragmatisme. Lebih khusus lagi berakar dari eksperimentalisme yang dikemukakan oleh filsuf  edukator John Dewey.  Pada dasarnya progresivisme, seoerti juga pragmatisme, menolak pandangan-pandangan filsafat yang bertalian dengan paham idealisme, realisme dan Thomisme. Pandangan-pandangan filsafat tersebut berdasarkan suatu pandangan metafisis yang beranggapan bahwa realitas telah ada dan tujuan pendidikan ialah membantu akal manusia di dalam mewujudkan apa yang telah ada tersebut. Bagi pemikir-pemikir progresivisme melihat pengetahuan bukanlah suatu yang  ready-made. Peserta didik haruslah mengkonstruksi pengetahuan dan kepercayaannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya. Demikian pula progresivisme atau pragmatisme menolak pandangan Thomisme yang menekankan pada tujuan akhir pendidikan yang hanya dapat terwujud sesudah mati.  Menurut paham progresivisme, pandangan Thomisme tersebut sukar ditanggapi karena tidak dapat diklarifikasikan.
      Progresivisme serta liberalisme mempunyai panda pandangan yang sama. Paham liberalisme yang juga dianut oleh progresivisme adalah komitmennya terhadap perubahan yang terjadi melalui proses perubahan yang bertingkat (gradual). Perubahan tersebut lahir dari dialog, debat, pertukaran pendapat, kebebasan untuk menyatakan pendapat. Bersamaan dengan pendapat naturalisme ialah hubungan antar individu dengan lingkungan. Menurut pendapat john Dewey, tujuan pendidikan adalah pertumbuhan yang diarahkan kepada pertumbuhan yang berkelanjutan melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan selalu menantang dan berubah, oleh sebab itu belajar adalah dengan berbuat sesuatu dalam interaksi dengan lingkungan. “learning by doing”, melaksanakan projek dan aktivitas merupakan prinsip-prinsip dalam belajar. Disini kita lihat proses belajar merupakan pertukaran pengalaman manusia di dalam lingkungannnya atau di dalam kelompok. Di dalam proses tersebut peranan pengalaman menjadi sangat penting. Di dalam karyanya Experience and education, John Dewey menekankan kepada pengalaman sebagai proses belajar merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari masa lalu, sekarang, dan masa depan.
      Pandangan filosofis dari progresivisme dan pragmatisme ditantang oleh kelompok konservatisme, perenialisme, dan esensialisme. Kelompok konservatif melihat pandangan progresivisme yang menekankan kepada masa sekarang dan akan datang dan melecehkan masa lalu berarti memperlemah transmisi tradisi dan budaya. Demikian pula pandangan progresivisme yang mengrelatifkan etika akan memperlemah rasa patriotisme, agama bahkan memperlemah rasa ikatan terhadap berbagai jenis otoritas.demikian pula kaum perenialis mengeritik pandangan progresivisme sebagai kelompok yang tidak menghargai nilai-nilai tradisi yang telah teruji seperti didalam kesusastraan kuno serta peradaban yang telah diwarisi oleh sejarah umat manusia seperti yang telah diakumulasikan dalam buku-buku klasik seperti didalam kebudayaan barat. Kaum perenialis menuduh kaum progresif sebagai meracuni perkembangan jiwa anak.
Aliran progresivisme dalam pendidikan sangan besar pengarunya pada bagian pertama abad ke-20, khususnya di amerika serikat. Aliran yang terkenal dengan pragmatisme pendidikan pada umumnya didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Mendorong pertumbuhan anak melalui aktifitas-aktifitas yang dihadapi dengan insentif, kreatifitas, dan eksistensi bebas dari peserta didik.
2.      Kurikulum yang berdasarkan kepada pengalaman yaitu didasarkan kepada kegiatan-kegiatan, proses belajar yang meneliti (inkuiry)  dan pemecahan masalah (problem solving).
3.      Belajar bersama (collaborative learning)  melalui kerja sama dalam kelompok.
4.      Guru bertindak sebagai fasilitator belajar dan bukan sebagai seorang penguasa yang memberikan tugas kepada peserta didiknya.
5.      Pendidikan merupakan suatu yang multifungsional yang membawa pada keseluruhan pribadi peserta didik suatu tujuan yang menyeluruh: emosional, fisik, sosial, dan intelektual.

Dengan demikian aliran pragmatisme pendidikan menolak pragsis pendidikan berupa:
1.      Mengajar secara formal dan berjalan secara rutin.
2.      Melaksanakan kurikulum yang telah ditentukan terlebih dahulu yang menekankan kepada mata pelajaran dibandingkan dengan kebutuhan dan minat peserta didik yang spontan.
3.      Menolak situasi-situasi kompetitif yang melahirkan suasana permusuhan diantara peserta didik.
4.      Belajar yang diararkan kepada ujian.
5.      Insentif eksternal dalam proses belajar seperti hadiah dan hukuman, serta praktik-praktik pendidik yang sifatnya eksplisit sehingga tidak memacu proses belajar yang sebenarnya.

2.      Masyarakat yang Demokratis Mensyaratkan Anggota yang Terdidik
Kaitan antara mdemokrasi dan pendidikan menarik perhatian para pakar sosiologi, ilmu politik, filsafat dan pedagogik. Dari pemikiran para ahli tersebut kita ambil contoh dua tokoh yaitu John Dewey yang mengarang bukunya pada tahun 1916 Democracy and Education. pada masa dewasa ini adalah Anthoni Giddens yang melihat keterkaitan antara demokrasi dan pendidikan di dalam bukunya yang terkenal The Third Way and its Critics pada tahun 2000. Marilah kita lihat alur pemikiran kedua pakar tersebut.
John Deweytokoh pragmatisme dan gerakan pendidikan progresif pada permulaan abad ke-20 serta mempunyai dampak besar terhadap di dalam kemajuan pendidikan di Amerika, mengatakan bahwa demokrasi adalah lebih dari bentuk pemerintahan. Demokrasi menurutnya adalah sutu modal kehidupan bersama. Kehidupan bersama tersebut merupakan suatu pengalaman yang saling mengisi dari setiap individu. Di dalam demokrasi terjadi perluasan pandangan oleh karena pertukaran pendapat serta kebebasan mengungkapkan kemampuan pribadi yang berbeda-beda. Meskipun demikian demokrasi adalah lebih dari sekedar  berpartisipasi di dalam hidup bersama. Di dalam proses demokrasi tersebut tentunya kekerasan (violence) bukanlah suatu solusi. Moralitas di dalam proses berdemokrasi di capai melalui pertimbangan bersama secara rasional dan bukan di dorong oleh kepentingan- kepentingan emosional atau sekedar untuk memuaskan kepentingan kelompoknya.
Menurut Giddens proses demokrasi seperti yang telah dijelaskan merupakan suatu proses yang rasiaonal. Oleh sebab itu dibutuhkan anggota-anggota di dalam masyarakat yang demokratis mempunyai kemampuan untuk menimbang dan mengambil kepuetusan yang paling rasional dan menguntungkan seluruh masyarakat. Sudah dapat diterka bahwa anggota masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang terdidik.masyarakat yang terdidik atau cerdas adalah masyarakat yang terbuka yang dapat melihat secara transparan dan jernih keputusan yang diambil bersama serta melaksanakan keputusan tersebut. Inilah prinsip akuntabilitas di dalam masyarakat demokratis di mana kekuasaan bukan merupakan penerapan keinginan dari sekelompok kecil yang duduk di dalam pemerintahan atau tampuk keluasaan, tetapi keputusan yang akuntabel yang telah lahir dari bawah. Keputusan bersama itu telah dicapai melalui suatu proses partisipasi dari para anggotanya. Partisipasi yang reflektif dari para anggotanya hanya dapat diperoleh apabila para anggota adalah anggota-anggota yang cerdas, yang tidak tertekan, yang tidak membeo dan tidak mengikuti pendapat-pendapat yang tidak rasional. Individu yang di dalam masyarakat yang demokratis tersebut adalah hasil pendidikan yang membebaskan.
Amanat UUD 1945 bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan rakyat. Pendidikan yang mencerdaskan rakyat adalah pendidikan yang membawa warga negaranya sebagai anggota masyarakat demokratis. Menjadi warganegara demokratis menuntut anggotanya berpartisipasi secara bertanggung jawab. Inilah aspek ketiga dari anggota masyarakat yang demokratis ialah tanggung jawab. Demikian pula banyak pula keputusan di dalam negara demokratis yang meminta sikap toleransi yang tinggi khususnya  di dalam masyarakat yang bhinneka seperti masyarakat indonesia yang multikultural dituntut sikap toleransi yang tinggi dari setiap anggotanya. Semua manusia memounyai kedudukan sama di bawah hukum. Kematangan hidup berdemokrasi ternyata ditentukan oleh tingkat pendidikan suatu masyarakat atau rakyat. Semakin tinggi tingkat pendidikan atau anggota semakin berbobot pula hidup berdemokrasi. Bukan berarti di dalam suatu masyarakat demokratis tidak ada konflik. Setiap masyarakat mengenal konflik namun tidak setiap masyarakat mengenal pemecahan konflik secara manusiawi. Pemecahan konflik dalam suatu masyarakat tidak perlu melalui kekerasan tetapi melalui dialog dan saling pengertian, saling membantu atau terikat oleh suatu kohesi sosial dalam membangun masyarakat bersama yang adil dan bahagia.[1]



[1] H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), 116-121. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar