Senin, 04 Februari 2013

makalah masail fiqhiyah (anak zina, anak pungut, anak angkat)


ANAK ZINA, ANAK PUNGUT DAN ANAK ANGKAT
A.    ANAK ZINA
1.      Pengertian anak zina
Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Hassanain Makluf, bahwa anak zina adalah anak yang di lahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah.[1]
2.      Status hukum anak zina
Menurut hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada orang tuanya ( yang tidak sah menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan:                                                                                 
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه     
“Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, atau nasrani atau majusi.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَ
“(yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38).
Karena itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masa depan. Yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (materiil dan spiritual adalah ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.[2]
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
a.       Menurut Imam Malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu di nasabkan kepada bapaknya.
b.      Jika anak itu di lahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena di duga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.
c.       Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap di nasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.[3]
3.      Akibat hukum Bagi Anak Zina
Apabila anak dilahirkan secara tidak sah, maka ia tidak dapat dihubungkan dengan bapaknya (tidak sah), kecuali hanya kepada ibunya saja. Dalam hukum Islam, anak tersebut tetap di anggap sebagai anak yang tidak sah, dan berakibat:
a.       Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya (secara tidak sah).
b.      Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki tu dan hanya waris-mewarisi dengan ibunya saja.
c.       Tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan, karena dia lahir akibat hubungan luar nikah.
Sebagai akibat dari ketentuan hukum di atas, meramabat pula masalahnya kepada masalah kejiwaan si anak tadi. Cepat atau lambat, pasti akan diketahuinya dan aib itu merupakan corengan arang yang sukar menghapusnya. Jiwanya merasa tertekan sepanjang hidupnya, karena cemoohan dari masyarakat sekitar. Walaupun dalam pandangan agama Islam anak itu tidak menanggung dosa, akibat perbuatan orang tuanya.[4]

B.     ANAK PUNGUT
1.      Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan harta keluarga rumah tangga.
Pemungutan anak di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan upacara keagamaan, diumumkan dan disaksikan oleh pejabat dan tokoh agama agar jelas statusnya. Setelah selesai upacara, si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang mengangkatnya, dan terputus hak warisnya dengan kerabat lama.
Konotasi anak pungut versi Syaltut adalah anak yang terlantar dari orang tuanya, kemudian ditemukan oleh seseorang. Adapun sebab-sebab menelantarkan anak itu adalah karena takut miskin, tidak mampu mendidik dan member nafkah, atau karena takut jatuhnya harga diri (kehormatan) bila anak tersebut hasil hubungan di luar nikah.[5]
2.      Kewajiban terhadap Anak Pungut.
Adapun yang menjadi landasan bahwa umat Islam berkewajiban merawat, membiayai dan mendidik anak pungut adalah:
Firman Allah:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ     
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Q.S Al-Maidah: 32).
Firman Allah:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ        
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik  anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Q.S Al-Ma’un: 1-3).[6]
Anak pungut termasuk anak terlantar (miskin) dan dapat juga di katakan sebagai anak yatim, karena tidak ada ibu dan bapak yang bertanggung jawab.
Jadi, kewajiban umat Islam terahadap mereka, sama seperti kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim. Umat Islam akan mendapat sangsi yang berat, bila tidak memperhatikan mereka itu.

C.     ANAK ANGKAT
1.      Pengertian Anak Angkat
Istilah “pengangkatan anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris “adaption”, mengangkat seorang anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk di jadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.[7]
Dalam bahasa Arab pengangkatan anak ini dikenal dengan istilah “tabanni” yang memiliki pengertian sama dengan adopsi. Tabanni adalah suatu kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliyah dan permulaan Islam, maksudnya apabila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah trhadap anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anaknya sendiri.
Perbedaan adopsi dengan tabanni. Kalau adopsi di lakukan di depan Pengadilan Negeri, sementara tabanni di resmikan di depan khalayak ramai.[8]
2.      Hukum Pengangkatan Anak
Para ulama fiqh sepakat menyatakan, bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang di praktikkan masyarakat jahiliyah. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar di jadikan anak kandung berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab : 4-5
 “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu, yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.”
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang di kenal oleh hukum barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah, yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung.[9]
3.      Tata cara Mengangkat Anak.
a.       Syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan seseorang mengambil anak angkat dari orang lain, rumah yatim piatu, rumah sakit untuk di asuh, diberikan kasih sayang, nafkah dan pendidikan.
b.      Sungguhpun mengambil anak angkat merupakan perbuatan mulia, tapi harus memenuhi syarat, sebagai berikut:
1.      Anak yang di adopsi dalam keadaan yang terlantar.
2.      Tujuan adopsi adalah semata-mata mengasuh, memberi kasih sayang, menyantuni dan mendidik anak yang di adopsi.
3.      Pengadopsian anak dilakukan dengan cara-cara yang di benarkan oleh syariat Islam.
4.      Anak yang di adopsi diberikan kebebasan untuk kembali kepada keluarganya. Seseorang yang mengadopsi anak orang lain tidak boleh memutuskan tali persaudaraan dengan keluarganya.
c.       Menurut Hukum Islam, status anak yang di adopsi adalah sama dengan orang lain dan tidak mempunyai hubungan nasab atau silsilah dengan orang yang mengadopsinya.
d.      Anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua angkat, oleh karena itu, anak angkat boleh di nikahi oleh ayah, ibu atau saudara angkat.
e.       Anak angkat tidak berhak saling mewarisi dengan orang tua angkat dan keluarganya, karena harta pusaka hanya di berikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan pernikahan dengan orang yang wafat.
f.       Umat Islam harus berhati-hati sehingga tidak menyerahkan anggota keluarganya kepada orang-orang non muslim untuk di jadikan anak angkat atau adopsi.[10]


KESIMPULAN
Ø  Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Ø  Menurut hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada orang tuanya ( yang tidak sah menurut hukum).
Ø  Anak pungut adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan harta keluarga rumah tangga.
Ø  Istilah “pengangkatan anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris “adaption”, mengangkat seorang anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk di jadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.
Ø  Para ulama fiqh sepakat menyatakan, bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang di praktikkan masyarakat jahiliyah. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.


[1] Ajat Sudrajat, Fikih aktual, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2008), 95.
[2] Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), 39-40.
[3] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 80-81.
[4] Ibid., 82-83.
[5] Ajat Sudrajat, Fikih…, 97-98.
[6] M. Ali Hasan, Masail…, 103-104.
[7] Andi Syamsu Alam, dkk., Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 19.
[8] Ajat Sudrajat, Fikih…, 100.
[9] Andi Syamsu Alam, dkk., Hukum 43-44.
[10] M.Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2003), 213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar