Senin, 04 Februari 2013

makalah perbandingan madzhab


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Semakin maju dan berkembangnya zaman maka dibutuhkan hukum yang sesuai dengan keadaan zaman sekarang. Hukum-hukum itu bisa diadakan melalui ijtihad. Sehingga kita harus berterima kasih kepada para mujtahid
( orang-orang yang melakukan ijtihad ) yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan fikiran untuk menggali hukum-hukum yang dihadapi oleh umat islam. Di dalam makalah ini akan dibahas lebih detail tentang ijtihad.
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ijtihad ?
2.      Apa Dasar Hukum Ijtihad ?
3.      Apa Macam-Macam dan Ruang Lingkup Ijtihad ?
4.      Apa Thariqah Ijtihad Ulama Ushul ?
5.      Bagaimana  Sejarah Perkembangan Ijtihad ?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Kalimat Ijtihad menurut bahasa merupaka masdar yang berasal dari kata اجتهد, يجتهد, اجتهاد  yang mempunyai arti mencurahkan tenaga, memeras pikiran, bersungguh-sungguh, rajin dan giat. Sedangkan menurut istilah adalah mencurahkan tenaga, memeras pikiran untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu ( istimbath ) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam istilah lain didefinisikan :
الاجتهاد هو استفراغ الوسع فى نيل حكم شرعى بطريق الاستنباط من
 الكتاب و السنة.
" Ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan  istimbath. ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para Ulama’ ahli ushul fiqh merumuskan pengertian ijtihad yaitu :
بذل الجهد للوصول الى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الادلة الشرعية.
 “ Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara’ pula “.[1]
Jadi, berijtihad berarti menyelidiki dalil-dalil hukum sumbernya yang resmi, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, kemudian menarik garis hukum darinya dalam masalah tertentu atau beberapa masalah.
Setelah abad ke-3 Hijriah para ulama dan para fuqaha berpendapat orang tidak boleh lagi berijtihad karena tidak memiliki syarat-syarat seperti orang-orang terdahulu yang telah melakukan ijtihad, misalnya Imam Maliki, Imam Annas Ibnu Malik, Imam Idris As-Syafi’i. Jadi para ulama sepakat sesudah abad ke-3 Hijriah, orang hanya boleh bertaqlid, ittiba atau melakukan tarjih saja, terhadap pendapat seorang yang telah berijtihad.
Demikian juga hasil ijtihad itu harus didiskusikan dan di bahas lebih dahulu kemurniannya, apabila ada kelemahannya harus di tinggalkan dan di buang, kalau memang ternyata dapat di buktikan kebenarannya dari sumber yang asli, cocok, dan tidak bertentangan maka garis-garis hukum yang merupakan hasil ijtihad seorang ahli tersebut dapat disepakati, bersama ulama dan fuqaha islam.
Kesepakatan para ulama di daerah tertentu itu disebut ijmak ( ijmali ) sudah disepakati secara umum. Kesepakatan para ulama dan fuqaha islam di daerah tertentu dalam masalah tertentu itu wajib diikuti oleh umat islam yang ada di daerah tertentu sebagai suatu yang sah. Hampir dalam setiap hal juris yang datang kemudian dianggap golongan yang sah. Hampir dalam setiap hal juris yang datang kemudian dianggap golongan yang  lebih rendah dari golongan juris-juris yang hidup sebelum dan pada abad ke-3 H, mungkin sampai suatu saat melakukan pertimbangan-pertimbangan mereka tentang sesuatu hal dari sumber-sumber yang asli, yakni Al-Qur’an dan hadis karena tidak memenuhi syarat-syarat tersebut diatas maka tidak diperbolehkan lagi, keadaan ini terkenal sebagai penutupan pintu ijtihad. [2]

B.     Dasar Hukum Ijtihad
Fakih atau Fuqaha baru melakukan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa atau masalah yang terjadi tidak ada dasar hukum, petunjuk yang terdapat dalam nas-nas Al-Qur’an.
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dengan beberapa hal :
1.      Insting
Dengan insting manusia dapat menghindari bahaya yang akan datang mengancam dan dapat memperoleh manfaat.
2.      Panca Indra
Dengan panca indra manusia memperoleh petunjuk sehingga terhindar dari kerugian dan mendapat keuntungan. Misalnya : dengan mata manusia dapat menilai dan melihat pekerjaan baik atau buruk.
3.      Akal
Akal dapat mengadakan koreksi terhadap insting/panca indra, dengan akal tercapai kemajuan mengatasi kesulitan dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
4.      Agama
Karena akal pun ada kelemahannya, banyak yang tidak dapat tercapai dengan akal, maka kelemahan akal dapat dibantu agama.
Ijtihad adalah memberikan segala kesanggupan akal dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalinya dengan mempergunakan penyelidikan yang menyampaikan kita kepada hukum itu.
Dalam beberapa masalah yang tidak ada hukumnya termaktub di dalam Al-Qur’an maupun dalam sunah, diberi kesempatan ahli pikir menciptakan hukum tentang perkara tersebut dengan mempergunakan kecakapan pikiran, alat-alat yang telah dipunyainya untuk menangkap hukum itu, hukum itu dinamai Qias.
Walaupun ijtihad itu diserahkan kepada ahli-ahli pikir, pokok dasar memperoleh hukum-hukum itu tidak boleh keluar dari :
Pertama : Al-Qur’an, karena ini adalah sumber agama dan hukum.
Kedua : Hadis atau Sunah Rasul.
Al-Qur’an sendiri secara berulang-ulang menyeru untuk berpikir dan merenungkan ayat-ayatnya, hal ini berarti ia mengajak untuk menggunakan nalar dan pendapat pribadi dalam persoalan-persoalan hukum.
Jadi, ijtihad itu memerlukan insting, panca indra, akal dan agama.[3]    

C.    Macam-Macam dan Ruang Lingkup Ijtihad
1)      Macam-Macam Ijjtihad
Dari segi objek kajiannya, menurut al-Syatibhi, dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. Dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
b.      Ijtihad Tathbiqi
Jika Ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syari’at, maka ijtihad tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.[4]

2)      Ruang Lingkup Ijtihad
Jika ijtihad istinbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.[5]

D.    Thariqah Ijtihad Ulama Ushul
1.      Thariqah Mutakallimin
Ditandai dengan pengokohan sebuah kaidah yang berdasarkan dalil mantiqi, tanpa adanya ta’asshub terhadap madzhab tertentu. Mereka selalu menggunakan dalil ‘aqli. Dengan ini, maka qaidah ini berlaku sebagai qaidah yang menghakimi furu’-furu’ yang ada di bawahnya dan tidak tunduk terhadap furu’-furu’. Maka dalam kitab-kitab yang mengikuti thoriqoh ini tidak memperbanyak furu’-furu’. Kalaupun ada biasanya hanya sebatas contoh untuk mempermudah pembaca dalam memahami qaidah.
2.      Metode Ulama’ Hanafiyyah
Para ulama’ Hanafiyyah berbeda dengan ulama’ Mutakallimin. Metode yang mereka terapkan adalah menetapkan qaidah sesuai yang ditunjukkan oleh furu’-furu’. Dinama furu’-furu’ tersebut telah ditinggalkan oleh para imam thoriqoh ini. Mereka akan merubah qaidah jika qaidah tersebut bertentangan dengan furu’yang ditetapkan imamnya.
Walaupun mereka meletakkan qaidah ushuliyah yang terbangun dari pada furu’-furu’ yang ada, namun jika ada perbedaan antara qaidah dan furu’, maka qaidahlah yang akan ditinjau ulang. Dalam kitab-kitab yang dikarang melalui metode ini sangat banyak menyebutkan furu’-furu ataupun masalah far’iyyah. Hal ini lebih ditengarai oleh para Imam-imam Hanafiyyah yang tidak meninggalkan kitab ushul sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.
3. Metode Muta’akhirin
Dengan berjalannya zaman dan berkembangnya keilmuan dalam ushul fiqih, maka ada sekelompok ulama’ yang berusaha menggabungkan kedua metode di atas.[6]

E.      Sejarah Perkembangan Ijtihad
Ijtihad itu sudah dimulai sejak proses penetapan hukum itu dimulai, bahkan semenjak ajaran Islam itu memasuki bidang “ Syariah “ pada masa Nabi di Madinah, baik dilakukan Nabi sendiri maupun para sahabatnya.
Abdullah Mushtafa al-Maraghi secara tegas, menyatakan bahwa Nabi adalah orang ushul pertama. Pernyataannya ini diperkuat dengan argumentasinya, bahwa Nabi seringkali melakukan pendekatan analogis dalam proses penyampaian sunah-sunah qauliyah, seperti pada saat seorang perempuan dari bani Juhainah datang menghadap Nabi dan menanyakan tentang ibunya yang telah nadzar untuk menunaikan ibadah haji, tapi meninggal sebelum sempat memenuhi nadzarnya itu. Apakah ia harus memenuhi nadzar ibunya itu, lalu Rasul balik bertanya, kalau dia meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah utang pada orang lain, apakah anda wajib menyelesaikan utang-utang itu? Dia menjawab “ ya “, lalu Rasul bersabda, kalau utang pada orang saja harus dibayar, maka apalagi utang pada Tuhan.
Pendekatan  analogis yang dilakukan Rasulullah itu, dinilai oleh Abdullah Musthafa al-Maraghi sebagai suatu proses penetapan hukum lewat kajian ijtihad. Rasul juga memberi peluang kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad, seperti kepada Amru bin Ash dan Uqbah bin Amir pada saat keduanya dipercaya Rasul untuk menyelesaikan konflik antara dua orang yang berperkara, Rasulullah SAW menyatakan, jika benar dalam menyelesaikan perkara tersebut kalian berdua akan memperoleh 10 pahala. Dan jika keliru, kalian hanya akan mendapat 1 pahala.
Pada masa Ali, Rasul menyuruhnya untuk bermusyawarah dengan para sahabat yang lain yang pintar-pintar dalam proses penetapan hukumnya. Dengan peluang yang diberikan Rasulullah, maka banyak dari shabatnya yang telah mulai melakukan ijtihad pada masa beliau hidup. Sehingga pada masa sahabat setelah Rasulullah wafat kegiatan ijtihad  ini sangat hidup dengan tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan yang lain-lainnya.
Kendati Abu Bakar telah melahirkan berbagai fatwa fiqh, tapi yang paling berani dan bervariasi dalam berijtihad dari kalangan sahabat adalah Umar bin Khatab.
Diantara contoh-contoh hasil ijtihad Umar, fatwanya tentang sejumlah orang yang melakukan pembunuhan secara berkelompok harus di qishah semuanya kendati yang mereka bunuh hanya satu orang. Fatwanya ini didasarkan pada pertimbangan maksud syari’ah yang bertujuan memelihara jiwa.
Tradisi ini terus berkembang oleh para penerus mereka. Pada masa Tabi’in dikenal beberapa tokoh besar, seperti Ibrahim al-Nakha-i ( w. 95 H ) seorang faqih Islam, dan dia mengajarkan ilmu-ilmu fiqhnya itu kepada Hamad bin Abi Sulaeman, yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah tokoh fiqh rasional di Iraq.
Dinamika Ijtihad itu mencapai puncaknya pada masa pasca tabi’in ini, yang dipelopori oleh murid Hamad bin Abi Sulaeman, Nu’man bin Tsabit bin Zutha ( 80-150 H ) dari Kufah, yang kemudian populer dengan gelar Abu Hanifah.
Sebagai seorang ahli fiqh, Abu Hanifah tidak hanya berfatwa, tapi dia pun mampu menciptakan metode-metode baru dalam kajian hukum, di luar metode yang telah dikembangkan para pendahulunya. Dia terkenal dengan keberaniannya menyisihkan hadis ahad dari dataran sumber hukum dan mengangkat istihsan, sebagai pengembangan qias yang telah ada sebelumnya. Selain itu, dia pun punya keberanian yang hebat dengan mengangkat adat serta tradisi masyarakat sebagai ketetapan hukum islam sejauh tidak bertentangan dengan nash.
Pada waktu yang bersamaan, di madinah, juga muncul tokoh besar dalam ijtihad kajian hukum yaitu Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amar al-Madany ( 93-179 H ).
Imam Malik melahirkan suatu teori baru dalam kajian hukum yaitu istishlah yakni menyelesaikan persoalan-persoalan hukum untuk persoalan-persoalan yang mursal ( tidak dinyatakan secara eksplisit dalam nash, baik na’u maupun jenisnya ), dengan mengacu pada kemaslahatan manusia yang secara keseluruhan bertumpu pada maqashid al-Syari’ah.
Kemudian, teori-teori kajian hukum dengan metode istishlahnya itu, lebih dikembangkan lagi oleh murid-muridnya, antara lain Abdullah bin Wahab ( 125-151 H ), dan Abdurrahman bin al-Qasim ( 132-191 H ). Di balik itu, ada pula murid beliau yang justru punya pendapat yang berbeda, yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i ( 150-204 H ).
Sasaran utama dari kritik Syafi’i terhadap pemikiran kedua tokoh pendahulunya adalah tentang pelecehan mereka terhadap hadis ahad. Sebaliknya, Syafi’i berpendapat bahwa hadis-hadis ahad sejauh cukup kriteria sebagai hadis shahih dapat dipakai sebagai dasar dalam penetapan hukum, karena menurutnya, terpakai  atau tidaknya sebuah hadis tidak ditentukan oleh jumlah perawi pada setiap thabaqatnya, tapi oleh kualitas mereka yang terlibat dalam periwayatan hadis-hadis tersebut.
Tindakan Syafi’i mengangkat kembali sejumlah hadis ahad yang telah terbuang dalam proses kajian hukum ini, dianggap positif oleh kalangan ulama penerus beliau, sehingga di gelari sebagai penolong al-Sunah ( Nashir al-Sunah ).
Murid beliau yang kemudian mempunyai pengikut cukup besar sehingga tercipta madzhab baru adalah Ahmad bin Hanbal ( 164-241  ), dengan madzhab Hambalinya.
Abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah merupakan puncak dari kegiatan ijtihad dalam bidang fiqh Islam, pada masa inilah lahirnya para mujtahid mustaqil. Dan pada masa ini pulalah “ Ilmu Ushul Fiqh “ mulai dirumuskan secara sistematis oleh al-Syafi’i dalam karyanya al-Risalah. Dan setelah ini nyaris tidak terlihat mujtahid-mujtahid baru.[7]























BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
            Ijtihad adalah  mencurahkan tenaga, memeras pikiran untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu ( istimbath ) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.         
                        Dasar hukum ijtihad yaitu:
1.      Insting
2.      Pancaindra
3.      Akal
4.      Agama
Macam-macam Ijtihad yaitu:
1.      Ijtihad  Istimbathi
2.      Ijtihad Tathbiqi
Ruang lingkup ijtihad yaitu: Furu’ dan dhoniah yaitu masalah –masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash al-Qur’an dan hadits.
Thariqah Ijtihad Ulama Ushul:
1.      Mutakallimun
2.      Hanafiyah
3.      Mutaakhirin
Ijtihad dalam lintasan sejarah
Ijtihad dimulai pada masa Rasul, kemudian dilanjutkan oleh: Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Musa al-Asy’ari. Ijtihad ini terus dikembangkan pada masa tabi’in.  Ijtihad mencapai puncaknya pada masa tabi’in ini (80-150H).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Pengertian Ijtihad, obyek dan macam-macamnya,www.ide-sendiri.blogspot.com, 12 maret 2012
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, ( Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada,1996 ), 119.
Mohd, Idris Ramulyo, Asas-asas hukum Islam, ( Jakarta, Sinar Grafika ) 100-101
Nur Giantoro, Makalah Ijtihad,www.Indonesia-admin.blogspot.com, 12 maret 2012
Tim penyusun, Fiqh kelas XII ( Gresik: CV.Putra Kembar Jaya ), 54
Anonim. Cara Penulisan Ilmu Usul al-Fiqh. Http: ms. Wikipedia.org/w/idexs.php. 16 Maret 2012


[1] Tim penyusun, Fiqh kelas XII ( Gresik: CV.Putra Kembar Jaya ), 54
[2] Mohd, Idris Ramulyo, Asas-asas hukum Islam, ( Jakarta, Sinar Grafika ) 100-101
[3] Ibid, 101
[4] Anonim, Pengertian Ijtihad, obyek dan macam-macamnya,www.ide-sendiri.blogspot.com, 12 maret 2012

[5] Nur Giantoro, Makalah Ijtihad,www.Indonesia-admin.blogspot.com, 12 maret 2012
[6]Anonim. Cara Penulisan Ilmu Ushul Fiqh. Http://ms.wikipedia.org/w/index.php. 12 maret 2012
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, ( Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada,1996 ), 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar