Kamis, 07 Februari 2013

makalah ulumul hadits


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber ajaran Islam. Al-Hadits merupakan sumber hukum yang kedua. Ada beberapa hal atau perkara yang kedua yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakannya atau Al-Qur’an membicarakannya secara global saja, bahkan sama sekali tidak dibicarakan dalam Al-Qur’an. Maka disini Hadist berperan sebagai penjelas dari al-Qur’an. Selain itu hadist berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan latar belakang seperti yang dijelaskan diatas tadi, maka disini saya akan membahas hubungan antara Al-Qur’an dengan Hadits.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian Hadits dan Al-Qur’an ?
2.  Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an ?
3.  Bagaimana fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an ?

C.    Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an dan Hadits.
2. Untuk mengetahui kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits dan Al-Qur’an
1.  Pengertian Hadits
            Secara lughowiyah Hadits berarti baru. Hadits juga dapat diartikan “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”.
Menurut istilah ahli hadits yang dimaksud dengan hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan / ketetapan Rasulullah Saw, yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
            Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqih hadits adalah perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhamamd Saw setelah kenabiannya. Adapun perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum kenabiannya tidak dianggap sebagai hadits.
2.      Pengertian Al-Qur’an
            Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ artinya yang dibaca. Menurut istilah ahli agama ialah nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dalam bahasa Arab riwayatnya mutawattir, Al-Qur’an merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syariat.[1]

B.     Kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Rosul Saw, melalui malaikat jibril, mutawattir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan ditulis di dalam lembaran-lembaran.
Hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an penetapan hadits sehingga sumber kedua ditunjukkan oleh tigal hal, yaitu : Al-Qur’an sendiri, Kesepakatan (ijma’) ulama, dan logika akal sehat ma’qul) Al-Qur’an menunjuk Nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai Rosul harus diteladani.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur’an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.[2]

C.    Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan dan diperinci sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl : 44 yang berbunyi :
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya : dan kami turunkan kepadamu, Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau berfikir.
Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
1.  Bayan al Taqrir
                        Yang dimakusud bayan al-Taqrir adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan di dalam al-Qur’an.[3]
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah) : 183) dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut : Islam didirikan atas lima perkara, “Persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah. ( HR. Bukhari dan Muslim )
2.      Bayan at-Tafsir
            Yang dimaksud dengan bayan at-Tafsir adalah penjelas hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlak dan ‘am. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian ( tafshil ) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.       Memerinci ayat-ayat yang mujmal
Yang mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudnya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal yang memerlukan perincian. Contoh: perintah shalat dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 43 yang artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat…”.  Kemudian Rasul SAW menafsirkan dan menjelaskan secara terperinci. Diantara perincian itu dapat dilihat pada hadits, yang berbunyi:
صَلُوْاكَمَارَأَيْتُمُوْينَ أُصَلِى
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat…”
Dalam hadits tersebut Rasul SAW kemudian memberinya contoh secara sempurna. Dengan demikian, maka hadits diatas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan.[4]
b.      Taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan Al-Qur’an
Contoh: kata “tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan mereka” adalah mutlak.
Yang disebut tangan adalah sejak dari jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian hadits membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku/pangkal lengan.

c.       Takhsis ( pengecualian ) terhadap ‘am dalam Al-Qur’an
Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang dalam ilmu fiqh disebut ‘am. Contoh:
“Diajarkan kepadamu bahwa warisan anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”, termasuk ‘am. Artinya dalam keadaan bagaimanapun bagian warisan satu berbanding dua. Kemudian terdapat hadits yang mentakhsis ( mengecualikannya ), kecuali ahli waris yang membunuh terwaris atau berbeda agama.[5]

3.      Bayan at-Tasyri’
            Bayan at-Tasyri’ adalah memunculkan suatu hukum/ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya pokok-pokoknya saja. Misalnya hadits tentang haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara ( antara istri dengan bibinya ).

4.      Bayan Al-Naskh
            Kata al-Naskh secara bahasa ada bermacam arti. Bisa berarti al-ibtal (membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan) atau at-tahwil (memindahkan), atau at-taghgir (mengubah).
            Dari pengertian diatas bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-naskh.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya ( masing-masing ), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali an-Nasa’i).
Hadits diatas dinilai hasan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi. Hadits ini menurut mereka menasakh isi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan ( tanda-tanda ) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf…”.
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 diatas, dinasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.[6]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ø  Al-Qur;an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa arab. Riwayatnya mutawatil, yang membacanya merupakan ibadah.
Ø  Al-Hadits merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan/ketetapan Rasulullah SAW.
Ø  Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hokum kedua setelah al-Qur’an.
Ø  Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
·         Bayan al-Taqrir (Penetapan)
·         Bayan at-Tafsir (Penjelas)
·         Bayan at-Tasyri’ (Memunculkan hukum baru)

B.     Saran-saran
Setelah membaca makalah ini, pembaca disarankan untuk mengimani Al-Qur’an dan Hadits. Apabila menemukan perkara atau hal yang kurang jelas didalam Al-Qur’an bisa merujuk kepada Hadits.


DAFTAR PUSTAKA

Rofi’ah M.SI, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN PO PRESS.
Al Farisi, Rudi Arlan. 2009. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an. www.rud1.abatasa.com 4 Maret 2012.
Sofi, Maulida Bismi. 2010. Hubungan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits. www.sofi-pai.blogspot.com 4 Maret 2012
Zuhri, Muhammad. 2003. Hadits Nabi. Yogyakarta: Tiara Yogya.


[1] Sofi Maulida Bismi, Hubungan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits. www.sofi-pai.blogspot.com
[2] Al Farisi Rudi Arlan, Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an. www.rud1.abatasa.com
[3] Rofiah Khusniah, M.SI. Studi Ilmu Hadits ( Ponorogo, STAIN PO PRESS), 24
[4] Ibid, 26
[5] Prof Dr. Muh. Zuhri. Hadits Nabi. ( Yogya, PT Tiara Wacana Yogya ), 24
[6] Ibid, 31-33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar