#BUNGA_BUNGA_CINTA
BismillahirRahmaanirRahim...
BismillahirRahmaanirRahim...
Hari Sabtu ini,seperti juga Sabtu-Sabtu lain beberapa bulan ini.Kau selalu
lembur.Hari liburmu praktis tinggal sehari: hari
Minggu saja. Seperti anak-anak sekolah saja.
”Nanti pulang jam berapa,Mas?” tanyaku sebelum melepas
keberangkatanmu. “Sekitar jam 3.Banyak
kontrak yang harus kuperiksa dan ku paraf. Kontraktor sudah pada teriak. Maklum
tutup tahun. Paling lambat tanggal 12 ini
sudah harus kelar,”katamu sambil memakai jaket hitam kesayanganmu. Kubantu
menutup resleting jaketmu, dan kau mencium keningku. Seperti biasa, lembut
dan mesra.
“Jangan lupa maemnya,” kataku sebelum akhirnya kulepas kepergianmu hingga di ujung gang dan kau berbelok
ke kanan, menghilang dari pandangan mataku. Mengantarmu
berangkat kerja, meski hanya dari halaman rumah sederhana kita, dengan tatapan mata penuh cinta dan doa selalu membuat hatiku
berdebar-debar. Debaran yang masih sama,bahkan
jauh lebih menggelora dibanding debar pertama hampir 18 tahun yang lalu saat
kau menyentuhku pertama kalinya.
Cintakah? Nafsu? Ah… buat apa memusingkan kepala hanya untuk
menjatuhkan pilihan di antara
dua kata itu.Toh, mau bilang cinta buktinya aku selalu bernafsu saat berada
didekatmu, bahkan kadang saat kau tinggalkan
tugas ke luar kota. Nafsu? Ah… mengapa juga
harus malu? Bukankah perkawinan telah membuat Tuhan menghalalkan, bahkan
menjadikan nafsu paling dasar menjadi halal bagi
kita? Bahkan bernilai ibadah? Kau tentu masih ingat,bukan?
Bagaimana minggu lalu ketika seharian aku di rumah ibumu? Sepulang dari kantor kau menjemputku.Seperti biasa pula, kucium tanganmu, kubantu
kau melepas jaket, dan kutawarkan padamu segelas
teh dingin. Kau menatapku hangat. ”Waduh! Kayak manten anyar wae (Seperti penganten baru saja).
Pirang ndino se gak ketemu (berapa hari sih
gak bertemu)?” goda Bu Lek, adik ipar ibumu yang tiba-tiba berada di belakang
kita. Aku tersipu. Setengah menyesal mengapa tadi tak sempat mengingat kalau didapur
banyak orang. Kebetulan malam hari nanti
akan ada selamatan tiga harian meninggalnya
saudara kita. Melihatku tersipu, sambil
tersenyum, kau menjawab. ”Yok opo se Bu Lek! (Gimana sih Bu Lek ini?) Lha dulu
jauh-jauh tugas aja kubelain nguruskan untuk mutasi hingga berbulan-bulan biar
kumpul, masak sekarang gak kusayang-sayang?”
Ah.. perempuan mana yang takkan tersanjung dengan kalimatmu itu?
Seandainya saja kau bisa melihat, kebun bunga di dadaku penuh aroma mawar
dan melati yang bermekaran. Begitu pun 4 hari berikutnya,ketika acara 7 harian
saudara ipar kita itu. Kau seperti biasa ke
kantor hingga usai maghrib baru menyusulku ke rumah ibu. Seperti biasa, berpisah sehari (tanpa semalam)
denganmu terlalu banyak hal yang harus segera dan ingin kuceritakan
padamu. Tentang anak-anak kita, tentang teman-teman kantorku, juga perasaanku hari itu. Sambil berdiri berhadap- hadapan,kau lingkarkan satu tangan kananmu ke pinggangku. Kita terlalu asyik bercerita,kita lupa banyak saudara di situ. Hingga aku harus sekali lagi tersipu malu ketika Mbak Ida menggoda kita. ”Aduuuuh yang penganten baru! Lupa sama yang lain..” Ah… cinta kita ternyata semakin bermekaran.*****
padamu. Tentang anak-anak kita, tentang teman-teman kantorku, juga perasaanku hari itu. Sambil berdiri berhadap- hadapan,kau lingkarkan satu tangan kananmu ke pinggangku. Kita terlalu asyik bercerita,kita lupa banyak saudara di situ. Hingga aku harus sekali lagi tersipu malu ketika Mbak Ida menggoda kita. ”Aduuuuh yang penganten baru! Lupa sama yang lain..” Ah… cinta kita ternyata semakin bermekaran.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar