Senin, 02 November 2015

skripsi bab 2 siang

BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Konsep Rabbani
1.      Pengertian Rabbani
Kata rabbani berasal dari kata rabba-yarubbu-rabban, yang berarti mengasuh, memimpin.[1] Kemudian kata rabbaniyyun yang berarti orang yang telah mencapai derajat ma’rifat.[2]
Secara etimologis, Rabbaniyyin adalah jamak dari kata Rabbani. Kata Rabbani adalah menisbahkan sesuatu kepada Rabb, yaitu Tuhan. Jika dikaitkan dengan orang, kata ini berarti orang yang telah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah atau orang yang sangat menjiwai ajaran agamanya.[3]
Kata Rabbani dinisbahkan kepada kata Rabb yang mendidik manusia dengan ilmu dan pengajaran pada masa kecil. Menurut Ibnu Abbas, kata Rabbani berasal dari kata Rabbi yang mendapatkan imbuhan alif dan nun yang menunjukkan makna mubalaghah. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Rabbani mempunyai arti tokoh ilmuwan yang mendidik dan memperbaiki kondisi sosialnya, dan ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna orang yang ahli dan mengamalkan agama sesuai yang ia ketahui, maka dengan demikian kata tersebut identik dengan al-alim al-hakim, yang mempunyai arti orang yang sempurna iman dan ketaqwaannya.[4]
Rabbaniyyin itu jamak dari rabbaniy yang berarti, 1) orang yang mewakafkan diri untuk mengkhidmati agama atau menyediakan dirinya untuk menjalankan ibadah; 2) orang yang memiliki ilmu Ilahiyat (Ketuhanan); 3) orang yang ahli dalam pengetahuan agama, atau seorang yang baik dan muttaqi; 4) guru yang mulai memberikan kepada orang-orang pengetahuan atau ilmu yang ringan-ringan sebelum beranjak ke ilmu-ilmu yang berat-berat; 5) induk semang atau majikan atau pemimpin; 6) seorang muslih (pembaharu).[5]
Ar-Rubbaniyyin bentuk tunggalnya rubbaniy, sebagaimana dikatakan oleh Sibawaih, artinya adalah dikaitkan dengan Tuhan dan taat kepada-Nya.  Sebagaimana dikatakan, Rajulun Ilaihiy, artinya bila ia selalu taat kepada Allah dan mengetahui-Nya.[6]
Disebutkan pula bahwa ilmu dan penyebarannya itulah yang bisa menjadikan kita rabbani (dipancari sinar keTuhanan). Orang yang mempelajari ilmu bukan didasarkan keikhlasan tidak akan memperoleh keridhaan Allah. Dirinya sama dengan pohon yang tidak memberikan kemanfaatan apa pun, karena pohon itu tidak berbuah.[7]
2.      Syarat Menjadi Seorang Rabbani
Dalam Jami’ul Bayaan fii Ta’wilil Qur’aan, di sebutkan lima hal yang harus di miliki oleh seorang rabbani, yaitu sebagai berikut:
a.    ‘Alim dan Mutsaqqaf
Seorang Rabbani haruslah seorang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang kuat di dalam dirinya. Ia di gerakkan oleh Rabb yang mentarbiyah manusia dengan perantara pena. Ia tergema oleh ayat pertama Iqra’, agar ia tak hanya sekedar membaca kalamNya di mushhaf dan semesta, tapi memulainya dengan menyebut asma Rabbnya yang telah menciptakan. Agar ia tak hanya menulis, tetapi juga memberikan pencerahan. Agar ia tak sekedar menyusun huruf dan kalimat, tetapi juga merajut benang-benang warna menjadi sebuah sorot cahaya. 
b.   Faqih
Seorang yang Rabbani, mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ’alim mungkin saja lahir dari ruang berisi buku-buku, tapi seorang faqih mucul di tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.
c.    Al Bashirah bis Siyasah
Seorang yang Rabbani, memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Jika di kaitkan dengan dunia pendidikan maka seorang rabbani harus pandai meneglola urusan pendidikan, agar pendidikan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. 
d.   Al Bashirah bit Tadbir
Seorang yang Rabbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana menempatkan suatu sumberdaya pada posisi yang tepat.  
e.    Al Qiyam bis Su-unir Ra’iyah li Mashlahatid Dunyaa wad Diin
Poin ini adalah implementasi dari poun ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang Rabbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan kesejahteraan, dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.[8]

3.      Pengaruh dan Buah dari Sifat Rabbani
a.    Mengetahui tujuan keberadaan (eksistensi) manusia
Dengan rabbaniyah ini, manusia akan mengetahui tujuan dari keberadaannya, mengetahui orientasi bagi perjalanan hidupnya dan mengenal misi hidupnya. Orang yang mempunyai sifat rabbani tidak akan hidup dalam kegelapan dan tidak akan berjalan tanpa tujuan, melainkan ia berjalan dengan petunjuk dari Tuhannya, dengan keterangan dari-Nya, dan penjelasan tentang tempat kembalinya setelah ia mengenal Allah dan mengakui keesaan-Nya.
b.   Mengikuti Fitrah
Di antara buah dan faedah dari rabbaniyah ini adalah manusia itu akan mengikuti fitrahnya, yang Allah telah menciptakannya di atas fitrah itu. Fitrah itu pula yang menuntut keimanan kepada Allah, dan tidak ada lagi yang dapat menggantinya. Pada hakikatnya dalam fitrah manusia terdapat kekosongan yang tidak cukup hanya dipenuhi oleh ilmu pengetahuan, intelektualitas, maupun filsafat, melainkan ia hanya dapat di penuhi oleh iman kepada Allah SWT. Fitrah manusia akan selalu merasakan kegalauan, kelaparan, dan kehausan, sampai ia menemukan Allah, beriman dan berorientasi kepada-Nya.
c.    Keselamatan Jiwa dari Keterpecahan dan Konflik Batin
Faedah dari rabbaniyah ini adalah selamatnya jiwa manusia dari keterpecahan dan konflik batin, hatinya tidak akan terbagi dan terbelah di antara berbagai tujuan dan bermacam orientasi. Islam telah membatasi tujuan manusia pada satu tujuan, yaitu ridha Allah SWT dan mengkonsentrasikan obsesinya hanya pada satu obsesi yaitu beramal menurut ridha Allah SWT.
d.   Terbebas dari Penghambaan kepada Egoisme dan Nafsu Syahwat
Ketika rabbaniyah telah mengakar kuat dalam jiwa yang terdalam, maka manusia akan terbebas dari penghambaan kepada egoisme, nafsu syahwat dirinya, kenikmatan fisiknya dan dari ketundukan dan penyerahan diri kepada tuntutan materi dan kesenangan pribadinya.[9]

B.  Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
1.    Pengertian Pendidik dalam Pandangan Islam
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberi bimbingan atau bantuan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaannya, maupun melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah menjadi kholifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. Selain itu pendidik juga diartikan sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya adalah mengajar, dalam arti mengembangkan ranah cipta (berfikir), rasa (berperasaan), dan karsa (membaca) peserta didik sebagai implementasi konsep ideal mendidik.[10]
Pendidik dalam islam adalah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik. Dalam islam orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) peserta didik. Tanggungjawab tersebut disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, yaitu Karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya, kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga. Namun pendidikan yang di berikan di rumah boleh di katakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap saja. Untuk itu tanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik di lanjutkan oleh lembaga pendidikan di sekolah. Yang mana di lembaga ini peserta didik mampu mengembangkan aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan).[11]
Di dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 membedakan antara pengertian pendidik dan tenaga kependidikan. Tenga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya dan diangkat untuk menujang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[12]  
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidik adalah orang yang mengajar dan bertanggungawab terhadap perkembangan potensi peserta didik baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik, dan menjadikan manusia seutuhnya, yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh sebab itu, maka dia harus memiliki sifat dan sikap yang menjadi figur dan suri tauladan yang baik bagi peserta didiknya.  
2.      Kewajiban Pendidik dalam Pandangan Islam
Di bawah ini beberapa kewajiban yang harus di perhatikan pendidik menurut pendapat Al-Ghazali:
a.    Pendidik harus menaruh rasa kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukan mereka seperti terhadap anak mereka sendiri. Rosulullah SAW bersabda : “sesungguhnya saya bagi kamu adalah ibarat bapak dengan anak.” Oleh karena itu, guru melayani peserta didik seperti melayani anaknya sendiri.
b.   Pendidik tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
c.    Berikanlah nasehat kepada peserta didik pada setiap kesempatan, bahkan gunakanlah kesempatan untuk menasehati dan membimbingnya.
d.   Mencegah peserta didik dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dan jangan dengan cara yang terus terang, serta dengan jalan yang halus dan jangan mencela. Al-Ghazali menganjurkan pencegahan tersebut dengan isyarat atau sindiran.
e.    Perhatikan tingkat akal pikiran peserta didik dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya.
f.    Jangan menampakkan rasa benci pada murid suatu cabang ilmu, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut.
g.   Peserta didik yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan pantas baginya, dan tidak perlu disebutkan pada anak, rahasia-rahasia yang terkandung di belakang sesuatu itu hingga ia tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah pikirannya.
h.   Pendidik harus mengamalkan ilmunya dan tidak bertolak belakang dengan perbuatannya.[13]
Selain memiliki kewajiban diatas seorang pendidik juga harus memiliki kompetensi, yang mana seorang pendidik itu harus memiliki lima kompetensi, yaitu:
1)   Kompetensi personal, yaitu kualitas kemampuan pribadi seorang pendidik yang diperlukan agar dapat menjadi pendidik yang baik. Kemampuan personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Seperti bersih tubuhnya, lemah lembut, kasih sayang, bijaksana, adil, tegas, ikhlas, rendah hati, pemaaf, sabar, berwibawa dan sederhana.
2)   Kompetensi professional, yaitu kemampuan yang  diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai pendidik yang profesional. Kompetensi meliputi aspek kepekaan atau keahlian dalam bidangnya, yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggungjawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.
3)   Kompetensi sosial, yaitu kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar dapat berhasil dalam hubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi social ini, termasuk ketrampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggungjawab sosial.
4)   Kompetensi intelektual, yaitu penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pendidik. Diantara tugas tersebut diantaranya: memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi, memahami ilmu pendidikan dan keguruan serta mampu menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik, memahai, menguasai, serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan di ajarkannya.
5)   Kompetensi spiritual, yaitu kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai orang yang taat dalam hal beragama. Kompetensi spiritual ini berkaitan dengan hubungan dirinya dengan Allah (iman dan taqwa).[14]   
3.      Kedudukan Pendidik dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran islam ialah penghargaan islam yang sangat tinggi terhadap pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan pendidik setingkat di bawah kedudukan nabi dan rosul. Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan tergambar antara lain dalam hadits yang artinya sebagai berikut:
a.    Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada
b.   Orang berpengetahuan melebihi orang yang beribadah, yang berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi kebaikan orang yang berpegang teguh di jalan Allah.
c.    Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam islam yang tidak dapat diisi kecuali oleh seseorang alim yang lain.[15]

4.      Syarat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah profil yang setiap hari didengar perkataannya, dilihat dan mungkin ditiru perilakunya oleh peserta didiknya di sekolah. Oleh karena itu, seorang pendidik harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.    Beriman kepada Allah dan beramal saleh
b.   Menjalankan ibadah dengan taat
c.    Memiliki sikap pengabdian yang tinggi kepada dunia pendidikan
d.   Ikhlas dalam menjalankan tugas pendidikan
e.    Menguasai ilmu yang diajarkan kepada peserta didiknya
f.    Professional dalam menjalankan tugasnya
g.   Tegas dan berwibawa dalam menghadapi masalah yang di hadapi peserta didiknya
Agar peserta didiknya tidak jenuh mendengarkan atau memperhatikan para pendidik yang sedang mengajar, syarat-syarat bagi para pendidik yang cukup penting dalam menunjang pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut:
1)      Selalu berbicara dengan bahasa yang santun
2)      Selalu mendengarkan pendapat peserta didiknya
3)      Mengarahkan dan mengembangkan minat serta bakat peserta didiknya
4)      Berpakaian yang rapi dan sopan dalam melakukan tugasnya
5)      Selalu datang tepat waktu
6)      Memberikan pelajaran dengan metode yang tepat
7)      Tidak otoriter di dalam kelas
8)      Memberikan peluang dan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan
9)      Sabar dalam menghadapi kenakalan peserta didik
10)  Memahami perkembangan mentalitas atau emosionalitas peserta didiknya, karena perkembangan tersebut akan mempengaruhi cara belajar peserta didik.[16]
5.      Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada rosul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini:
a.    Setiap pendidik harus memiliki sifat Rabbani sebagaimana dijelaskan Allah lewat ayat ini:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Artinya, kita harus mengaitkan diri kita pada Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung melalui ketaatan kita pada syariat-Nya. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya. Setiap materi yang dipelajarinya senantiasa menjadi tanda penguat kebesaran Allah sehingga dia merasakan kebesaran itu dalam setiap lintasan sejarah, dalam sunnah alam semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam semesta. Tanpa sifat seperti itu, mustahil seorang pendidik mampu mewujudkan pendidikan islam. 
b.   Seorang pendidik hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhoan Allah serta mewujudkan kebenaran. Dengan demikian, seorang pendidik harus semaksimal mungkin menyebarkan kebenaran kepada anak didiknya. Tiada kemuliaan bagi umat ini kecuali mendidik generasi mudanya guna mewujudkan keridhoan Allah. Seluruh aktivitas pengajarannya diarahkan untuk mewujudkan ketulusan dan perhatian yang betul-betul muncul dari kedalaman jiwa.   
c.    Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Dengan begitu, ketika dia harus memberikan latihan yang berulang-ulang kepada pesera didiknya, dia melakukannya dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda. Dengan begitu dia tidak tergesa-gesa dan memaksakan keinginannya kepada peserta didik serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri peserta didik.
d.   Ketika menyampaikan ilmunya kepada peserta didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Jika apa yang diajarkan pendidik sesuai dengan apa yang dilakukannya, maka peserta didik akan menjadikan pendidiknya sebagai teladan.  
e.    Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya, sebagaimana diserukan Allah kepada para pengikut rosul ini:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Seorang pendidik harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan kepeda peserta didik, jika benar-benar dikuasai oleh seorang pendidik. Banyaknya kekeliruan yang dilakukan seorang pendidik akan mengurangi kepercayaan peserta didik kepadanya sehingga peserta didik merendahkan dan menyepelekan segala ilmu yang diberikan kepadanya. Kekeliruan seorang pendidik  dapat menimbulkan keraguan dalam diri peserta didik. Maka, penambahan wawasan dan pengetahuan bagi seorang pendidik merupakan hal yang penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat peserta didiknya. 
f.    Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran. Artinya kepemilikan ilmu pengetahuan saja tampaknya belum memadai peran seorang guru karena bagaimanapun dia dituntut untuk mampu menyampaikan pengetahuannya kepada peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kapasitas akal peserta didik. Mengajar itu memerlukan pengalaman khusus, dan juga memerlukan latihan yang baik.
g.   Seorang pendidik harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai peserta didik. Jika dia dituntut untuk keras, dia tidak boleh menampakkan kelunakannya, dan sebaliknya jika dia dituntut untuk lembut, maka dia harus menjauhi kekerasan. Seorang pendidik harus menunjukkan sikap kasih sayangnya kepada peserta didik, tanpa sikap berlebihan sehingga sewaktu-waktu dia bisa bertoleran tanpa menjadikannya generasi yang santai dan malas. 
h.   Seorang pendidik dituntut untuk mampu memahami psikologi anak, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan peserta didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologinya.
i.     Seorang pendidik dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap peserta didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
j.     Seorang pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. Artinya, dia tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini, dia harus menyikapi setiap peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rosulullah saw adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik.[17]
Selain itu ada sifat-sifat mendasar yang membantu seseorang melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Sifat kesempurnaan manusia memang hanya dimiliki oleh para rasul saja, namun manusia bisa juga berupaya dengan segala kemampuan yang ada untuk meraih akhlak yang baik dan sifat-sifat yang terpuji. Sifat-sifat yang diupayakan bisa dimiliki oleh setiap pendidik agar meraih keberhasilan, diantaranya adalah : ketabahan dan kesabaran, lemah lembut (ramah) dan tidak kasar, hati yang penyayang, mengambil yang paling ringan dari dua hal selama hal itu tidak dosa, lunak dan fleksibel, menjauhi sifat marah, bersikap seimbang (moderat) dan pertengahan, membatasi diri dalam memberikan nasehat yang baik.[18]
6.      Jenis Pendidik dalam Pandangan Islam
Menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah Al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam, yaitu:
a.    Pendidik kuttab
Pendidik kuttab yaitu, pendidik yang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak di kuttab. Sebagian diantara mereka hanya berpengetahuan sekedar pandai membaca, menulis, dan menghafalkan Al-qur’an semata. Sebagian dari mereka mengajar untuk kepentingan duniawi atau mencari penghidupan saja, sehingga kurang mendapat kehormatan dari masyarakat. Namun tidak kurang dari mereka berilmu pengetahuan yang luas dan mengajar dengan ikhlas sehingga mendapat kehormatan dan penghargaan yang mulia. Dianataranya seperti Al Hajaj, Al-Kumait, Al-Khatib Atha ‘bin Abi Rabah.
b.    Pendidik umum
Pendidik umum yaitu, pendidik yang pada umumnya mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan islam secara formal seperti madrasah-madrasah, pondok pesantren, pendidikan di masjid, surau-surau, ataupun pendidikan informal seperti keluarga.
c.    Pendidik khusus
Pendidikan khusus atau sering disebut muadib yaitu, pendidik yang memberikan pelajaran khusus kepada seorang atau lebih dari seorang anak pembesar, pemimpin Negara atau khalifah seperti pendidikan yang dilaksanakan di rumah-rumah tertentu di istana. Dalam hal ini biasanya orang tua (ayah) terdidik bersama-sama dengan pendidik memilih dan menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Pendidik khusus biasanya memberikan pelajaran 4 jam atau lebih setiap hari dan ia tinggal bertahun-tahun di tempat tersebut. Karena itu peserta didik dapat melanjutkan pelajarannya sampai ke tingkat yang dikehendaki.[19]
Ditinjau dari segi status dan kaitannya dengan gaji yang mereka terima ada 2 (dua) macam, yaitu:
1)   Guru swasta, yaitu pendidik islam yang statuanya adalah swasta, artinya ia bukan pegawai negeri yang menerima gaji dari pemerintah, melainkan ia bekerja. Kadang-kadang ia menerima gaji dari yayasan pendidikan di tempat di mana ia bekerja, tetapi banyak pula dari mereka yang tidak menerima gaji sepeser pun. Ia bekerja di lembaga pendidikan islam ini hanya untuk mengharapkan ridho dan pahala dari Allah SWT.
2)   Guru negeri, yaitu pendidik islam yang statusnya sebagai pegawai negeri. Ia bekerja dan menerima gaji dari pemerintah. Kadang-kadang ia bekerja di lembaga pendidikan negeri tetapi ada pula di antara mereka yang di perbantukan di lembaga-lembaga pendidikan swasta.[20]
Dalam konteks pendidikan islam “pendidik” sering disebut dengan ustadz, muallim, murabbi, mursyid, muaddib, mudarris. Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks islam, keenam istilah itu mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing.
a)    Ustadz, yaitu orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya secara dedaktif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta continous improvement.
b)   Muallim, yaitu orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pegetahuan, internalisasi serta implementasi (amaliah).
c)    Murabbi, yaitu orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam sekitarnya.
d)   Mursyid, yaitu  orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.
e)    Muaddib, yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
f)    Mudarris, yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.[21]

C.  Pendidikan Islam
1.    Pengertian Pendidikan Islam
Kata pendidikan yang dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah dengan kata kerja rabba.[22] Meskipun kata tarbiyah tidak digunakan dalam leksiologi Al-Qur’an, ada beberapa kata yang sebangun dengan kata itu, yaitu ar-rabb, rabbayani, murabbi, ribbiyyun, dan rabbani. Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan.
Tarbiyah juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani) pada peserta didik agar ia memiliki sifat dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti dan kepribadian yang luhur.[23]
Selain itu, dalam surat Ali Imran ayat 79 disebutkan istilah rabbanniyyin dan ribbiyyin. Dalam hadits Nabi SAW, digunakan istilah rabbaniyyin dan rabbani sebagaimana tercantum dalam hadits yang artinya: “jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan. Seseorang disebut rabbani jika ia telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju yang paling tinggi”. (H.R. Bukhari dari Ibn Abbas)
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan me-, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda yang berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan yaitu pendewasaan diri melalui pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan islam sendiri merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat, penegas, dan pemberi ciri khas pada kata pendidikan. Dengan demikian, pengertian pendidikan islam berarti pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami, yang dengan ciri khas itu, ia membedakan dirinya dengan model pendidikan lainnya.
Menurut Ahmad D. Marimba mengartikan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan islam. Maksud kepribadian utama adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai islam.[24]
2.    Unsur-Unsur Pokok Pendidikan Islam
a.    Proses transinternalisasi. Upaya dalam pendidikan islam dilakukan secara bertahap, berjenjang, terencana, terstruktur, sistemik, dan terus-menerus dengan cara transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai islam pada peserta didik.
b.    Pengetahuan dan Nilai Islam. Materi yang diberikan kepada peserta didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai islam, yaitu pengetahuan dan nilai yang diturunkan dari Tuhan (Ilahiyah). Atau materi yang memiliki criteria epistemology dan aksiologi islam, sehingga output pendidikan memiliki ‘wajah-wajah’ islam dalam setiap tindak tanduknya. Pengetahuan dan nilai islam sebagimana yang di isyaratkan dalam QS. Al-Fushilat ayat 53, terdapat 3 (tiga) objek, yaitu objek afaqi, yang berkaitan dengan alam fisik (baik di langit atau di bumi); objek anfusi yang berkaitan dengan alam psikis (kejiwaan atau bathiniah); dan objek haqqi atau qur’ani, yang berkaitan dengan system nilai untuk mengarahkan kehidupan spiritual manusia.
c.    Kepada peserta didik. Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai objek dan subjek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan dan mengaktualisasikan potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasi dalam pengembangan dan aktualisasi itu. Dikatakan objek karena ia menjadi sasaran dan transformasi ilmu pengetahuan dan nilai islam, agar ilmu dan nilai itu tetap lestari dari geerasi ke generasi berikutnya.
d.   Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya. Tugas pokok pendidikan adalah memberikan pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensi peserta didik agar terbentuk dan berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa mengabaikan potensi dasarnya.
e.    Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan akhir pendidikan islam adalah terciptanya insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat, dan kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Orientasi pendidikan islam tidak hanya memenuhi hajat hidup jangka pendek, seperti pemenuhan kebutuhan duniawi, tetapi juga memenuhi hajat hidup jangka panjang seperti pemenuhan kebutuhan di akhirat kelak.[25]
3.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan isla mengandung tiga aspek nilai yang semestinya direalisasikan dalam melaksanakan suatu metode dalam pendidikan islam, yaitu:
a.    Membentuk peserta didik menjadi hamba Allah yang menghambakan diri kepada-Nya semata.
b.    Bernilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an.
c.    Berkaitan dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang disebut dengan pahala dan siksaan.[26]  



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, tt), 136.
[2] Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia-Arab Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 230.
[3] Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang disempurnakan  (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 542.
[4] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan (STAIN Ponorogo Press, 2007), 35.
[5]Hadrat Mirza Thahir Ahmad Khalifatul Masih IV, Terj. Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia,  Al-qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat (Jakarta: Yayasan Wisma Damai, 2007),  259.
[6]Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi  (Semarang: TOHA PUTRA, 1993),  349.
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 625.
[8] Salima A. Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim  (Yogyakarta: Pro-U Media, 2007), 324-327.
[9] Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li Ma’rifah al-Islam Sistem Pengetahuan Islam  (Jakarta: RESTU ILAHI, 2004),  209-213.
[10] Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan  (Pamulang Tanggerang Selatan Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), 132.
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 74-75.
[12] Undang-undang SISDIKNAS 2003 UU RI No. 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 point 5 dan  6
[13] Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003),  158-159.
[14] Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, ….. 138-139
[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 76.
[16] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 93.
[17] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170-175.
[18] Muhammad Suwaid Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Nabi, Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf, Terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2006), 40-46.
[19] Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1997), 78.
[20] Ibid., 81.
[21]  Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (online), http://difarepositories.uin-suka.ac.id/13/2/ilmu%20pendidikan%20islam%20(2).htm, diakses tangal 21 oktober 2015.
[22] Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009), 4
[23] Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta:Teras, 2011), 16.
[24] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009), 38-42.
[25] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 28-29.
[26] Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, ….. 146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar