BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Konsep Rabbani
1.
Pengertian Rabbani
Kata rabbani berasal dari kata rabba-yarubbu-rabban, yang
berarti mengasuh, memimpin.[1]
Kemudian kata rabbaniyyun yang berarti orang yang telah mencapai derajat
ma’rifat.[2]
Secara etimologis, Rabbaniyyin adalah jamak dari kata Rabbani.
Kata Rabbani adalah menisbahkan sesuatu kepada Rabb, yaitu Tuhan.
Jika dikaitkan dengan orang, kata ini berarti orang yang telah mencapai derajat
ma’rifat kepada Allah atau orang yang sangat menjiwai ajaran agamanya.[3]
Kata Rabbani dinisbahkan kepada kata Rabb yang
mendidik manusia dengan ilmu dan pengajaran pada masa kecil. Menurut Ibnu
Abbas, kata Rabbani berasal dari kata Rabbi yang mendapatkan
imbuhan alif dan nun yang menunjukkan makna mubalaghah. Sebagian
ulama berpendapat bahwa kata Rabbani mempunyai arti tokoh ilmuwan yang
mendidik dan memperbaiki kondisi sosialnya, dan ada juga yang berpendapat bahwa
kata tersebut bermakna orang yang ahli dan mengamalkan agama sesuai yang ia
ketahui, maka dengan demikian kata tersebut identik dengan al-alim al-hakim,
yang mempunyai arti orang yang sempurna iman dan ketaqwaannya.[4]
Rabbaniyyin itu jamak dari rabbaniy yang
berarti, 1) orang yang mewakafkan diri untuk mengkhidmati agama atau
menyediakan dirinya untuk menjalankan ibadah; 2) orang yang memiliki ilmu Ilahiyat (Ketuhanan); 3) orang yang ahli
dalam pengetahuan agama, atau seorang yang baik dan muttaqi; 4) guru yang mulai memberikan kepada orang-orang
pengetahuan atau ilmu yang ringan-ringan sebelum beranjak ke ilmu-ilmu yang
berat-berat; 5) induk semang atau majikan atau pemimpin; 6) seorang muslih (pembaharu).[5]
Ar-Rubbaniyyin bentuk tunggalnya rubbaniy,
sebagaimana dikatakan oleh Sibawaih, artinya adalah dikaitkan dengan Tuhan dan
taat kepada-Nya. Sebagaimana dikatakan, Rajulun Ilaihiy, artinya bila ia selalu
taat kepada Allah dan mengetahui-Nya.[6]
Disebutkan pula bahwa ilmu dan penyebarannya itulah yang bisa menjadikan
kita rabbani (dipancari sinar
keTuhanan). Orang yang mempelajari ilmu bukan didasarkan keikhlasan tidak akan
memperoleh keridhaan Allah. Dirinya sama dengan pohon yang tidak memberikan
kemanfaatan apa pun, karena pohon itu tidak berbuah.[7]
2.
Syarat Menjadi Seorang Rabbani
Dalam Jami’ul Bayaan fii
Ta’wilil Qur’aan, di sebutkan lima hal yang harus di miliki oleh seorang rabbani, yaitu sebagai berikut:
a.
‘Alim dan Mutsaqqaf
Seorang Rabbani haruslah
seorang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang kuat di dalam
dirinya. Ia di gerakkan oleh Rabb
yang mentarbiyah manusia dengan perantara pena. Ia tergema oleh ayat pertama Iqra’, agar ia tak hanya sekedar membaca
kalamNya di mushhaf dan semesta, tapi memulainya dengan menyebut asma Rabbnya yang telah menciptakan. Agar ia
tak hanya menulis, tetapi juga memberikan pencerahan. Agar ia tak sekedar
menyusun huruf dan kalimat, tetapi juga merajut benang-benang warna menjadi
sebuah sorot cahaya.
b.
Faqih
Seorang yang Rabbani,
mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak
terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ’alim mungkin saja lahir dari ruang
berisi buku-buku, tapi seorang faqih mucul
di tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.
c.
Al Bashirah bis Siyasah
Seorang yang Rabbani,
memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik islam adalah seni
mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu
menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Jika di kaitkan dengan dunia
pendidikan maka seorang rabbani harus
pandai meneglola urusan pendidikan, agar pendidikan yang dijalankan bisa
berjalan dengan baik dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai
ibadah.
d.
Al Bashirah bit Tadbir
Seorang yang Rabbani juga
memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana
menempatkan suatu sumberdaya pada posisi yang tepat.
e.
Al Qiyam bis Su-unir Ra’iyah li Mashlahatid Dunyaa wad Diin
Poin ini adalah implementasi dari poun ketiga dan keempat. Kata
kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang Rabbani memiliki peran dalam menegakkan
kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada
advokasi, penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan kesejahteraan, dan ada
kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.[8]
3.
Pengaruh dan Buah dari Sifat Rabbani
a.
Mengetahui
tujuan keberadaan (eksistensi) manusia
Dengan rabbaniyah ini,
manusia akan mengetahui tujuan dari keberadaannya, mengetahui orientasi bagi
perjalanan hidupnya dan mengenal misi hidupnya. Orang yang mempunyai sifat rabbani tidak akan hidup dalam kegelapan
dan tidak akan berjalan tanpa tujuan, melainkan ia berjalan dengan petunjuk
dari Tuhannya, dengan keterangan dari-Nya, dan penjelasan tentang tempat kembalinya
setelah ia mengenal Allah dan mengakui keesaan-Nya.
b.
Mengikuti
Fitrah
Di antara buah dan faedah dari rabbaniyah
ini adalah manusia itu akan mengikuti fitrahnya, yang Allah telah
menciptakannya di atas fitrah itu. Fitrah itu pula yang menuntut keimanan
kepada Allah, dan tidak ada lagi yang dapat menggantinya. Pada hakikatnya dalam
fitrah manusia terdapat kekosongan yang tidak cukup hanya dipenuhi oleh ilmu
pengetahuan, intelektualitas, maupun filsafat, melainkan ia hanya dapat di
penuhi oleh iman kepada Allah SWT. Fitrah manusia akan selalu merasakan
kegalauan, kelaparan, dan kehausan, sampai ia menemukan Allah, beriman dan
berorientasi kepada-Nya.
c.
Keselamatan
Jiwa dari Keterpecahan dan Konflik Batin
Faedah dari rabbaniyah
ini adalah selamatnya jiwa manusia dari keterpecahan dan konflik batin, hatinya
tidak akan terbagi dan terbelah di antara berbagai tujuan dan bermacam
orientasi. Islam telah membatasi tujuan manusia pada satu tujuan, yaitu ridha
Allah SWT dan mengkonsentrasikan obsesinya hanya pada satu obsesi yaitu beramal
menurut ridha Allah SWT.
d.
Terbebas
dari Penghambaan kepada Egoisme dan Nafsu Syahwat
Ketika rabbaniyah telah
mengakar kuat dalam jiwa yang terdalam, maka manusia akan terbebas dari
penghambaan kepada egoisme, nafsu syahwat dirinya, kenikmatan fisiknya dan dari
ketundukan dan penyerahan diri kepada tuntutan materi dan kesenangan
pribadinya.[9]
B. Sifat
Pendidik dalam Pendidikan Islam
1.
Pengertian Pendidik dalam Pandangan Islam
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberi bimbingan
atau bantuan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya,
agar mencapai kedewasaannya, maupun melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah
menjadi kholifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai individu
yang sanggup berdiri sendiri. Selain itu pendidik juga diartikan sebagai tenaga
pendidik yang tugas utamanya adalah mengajar, dalam arti mengembangkan ranah
cipta (berfikir), rasa (berperasaan), dan karsa (membaca) peserta didik sebagai
implementasi konsep ideal mendidik.[10]
Pendidik dalam islam adalah siapa saja yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan peserta didik. Dalam islam orang yang paling
bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) peserta didik.
Tanggungjawab tersebut disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, yaitu Karena
orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan
pula bertanggungjawab mendidik anaknya, kedua
karena kepentingan kedua orang tua, yaitu berkepentingan terhadap kemajuan
perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga. Namun
pendidikan yang di berikan di rumah boleh di katakan terbatas pada perkembangan
aspek afektif, yaitu perkembangan sikap saja. Untuk itu tanggungjawab terhadap
perkembangan peserta didik di lanjutkan oleh lembaga pendidikan di sekolah.
Yang mana di lembaga ini peserta didik mampu mengembangkan aspek kognitif
(pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan).[11]
Di dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 membedakan
antara pengertian pendidik dan tenaga kependidikan. Tenga kependidikan adalah
anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya dan diangkat untuk menujang
penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[12]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidik adalah orang yang mengajar dan bertanggungawab terhadap perkembangan
potensi peserta didik baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik, dan
menjadikan manusia seutuhnya, yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh
sebab itu, maka dia harus memiliki sifat dan sikap yang menjadi figur dan suri
tauladan yang baik bagi peserta didiknya.
2.
Kewajiban Pendidik dalam Pandangan Islam
Di bawah ini beberapa kewajiban yang harus di perhatikan pendidik
menurut pendapat Al-Ghazali:
a.
Pendidik
harus menaruh rasa kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukan mereka
seperti terhadap anak mereka sendiri. Rosulullah SAW bersabda : “sesungguhnya saya bagi kamu adalah ibarat
bapak dengan anak.” Oleh karena itu, guru melayani peserta didik seperti
melayani anaknya sendiri.
b.
Pendidik
tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud
mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
c.
Berikanlah
nasehat kepada peserta didik pada setiap kesempatan, bahkan gunakanlah
kesempatan untuk menasehati dan membimbingnya.
d.
Mencegah
peserta didik dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin
dan jangan dengan cara yang terus terang, serta dengan jalan yang halus dan
jangan mencela. Al-Ghazali menganjurkan pencegahan tersebut dengan isyarat atau
sindiran.
e.
Perhatikan
tingkat akal pikiran peserta didik dan berbicara dengan mereka menurut kadar
akalnya.
f.
Jangan
menampakkan rasa benci pada murid suatu cabang ilmu, tetapi seyogyanya
dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut.
g.
Peserta
didik yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan pantas
baginya, dan tidak perlu disebutkan pada anak, rahasia-rahasia yang terkandung
di belakang sesuatu itu hingga ia tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah
pikirannya.
h.
Pendidik
harus mengamalkan ilmunya dan tidak bertolak belakang dengan perbuatannya.[13]
Selain memiliki kewajiban diatas seorang pendidik juga harus memiliki
kompetensi, yang mana seorang pendidik itu harus memiliki lima kompetensi,
yaitu:
1)
Kompetensi
personal, yaitu kualitas kemampuan pribadi seorang pendidik yang diperlukan
agar dapat menjadi pendidik yang baik. Kemampuan personal ini mencakup
kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri,
pengarahan diri, dan perwujudan diri. Seperti bersih tubuhnya, lemah lembut,
kasih sayang, bijaksana, adil, tegas, ikhlas, rendah hati, pemaaf, sabar,
berwibawa dan sederhana.
2)
Kompetensi
professional, yaitu kemampuan yang
diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai pendidik yang
profesional. Kompetensi meliputi aspek kepekaan atau keahlian dalam bidangnya,
yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa
tanggungjawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.
3)
Kompetensi
sosial, yaitu kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar dapat berhasil
dalam hubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi social ini, termasuk ketrampilan
dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggungjawab sosial.
4)
Kompetensi
intelektual, yaitu penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
tugasnya sebagai pendidik. Diantara tugas tersebut diantaranya: memahami ilmu
yang dapat melandasi pembentukan pribadi, memahami ilmu pendidikan dan keguruan
serta mampu menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik, memahai, menguasai,
serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan di ajarkannya.
5)
Kompetensi
spiritual, yaitu kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai orang yang taat dalam
hal beragama. Kompetensi spiritual ini berkaitan dengan hubungan dirinya dengan
Allah (iman dan taqwa).[14]
3.
Kedudukan Pendidik dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran islam ialah
penghargaan islam yang sangat tinggi terhadap pendidik. Begitu tingginya
penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan pendidik setingkat di bawah
kedudukan nabi dan rosul. Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu
pengetahuan, sedangkan islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Penghargaan
islam terhadap ilmu pengetahuan tergambar antara lain dalam hadits yang artinya
sebagai berikut:
a.
Tinta
ulama lebih berharga daripada darah syuhada
b.
Orang
berpengetahuan melebihi orang yang beribadah, yang berpuasa dan menghabiskan
waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi kebaikan orang yang
berpegang teguh di jalan Allah.
c.
Apabila
meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam islam yang tidak dapat
diisi kecuali oleh seseorang alim yang lain.[15]
4.
Syarat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah profil yang setiap hari didengar perkataannya,
dilihat dan mungkin ditiru perilakunya oleh peserta didiknya di sekolah. Oleh
karena itu, seorang pendidik harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.
Beriman
kepada Allah dan beramal saleh
b.
Menjalankan
ibadah dengan taat
c.
Memiliki
sikap pengabdian yang tinggi kepada dunia pendidikan
d.
Ikhlas
dalam menjalankan tugas pendidikan
e.
Menguasai
ilmu yang diajarkan kepada peserta didiknya
f.
Professional
dalam menjalankan tugasnya
g.
Tegas
dan berwibawa dalam menghadapi masalah yang di hadapi peserta didiknya
Agar peserta didiknya tidak jenuh
mendengarkan atau memperhatikan para pendidik yang sedang mengajar, syarat-syarat
bagi para pendidik yang cukup penting dalam menunjang pendidikan dan pengajaran
adalah sebagai berikut:
1)
Selalu
berbicara dengan bahasa yang santun
2)
Selalu
mendengarkan pendapat peserta didiknya
3)
Mengarahkan
dan mengembangkan minat serta bakat peserta didiknya
4)
Berpakaian
yang rapi dan sopan dalam melakukan tugasnya
5)
Selalu
datang tepat waktu
6)
Memberikan
pelajaran dengan metode yang tepat
7)
Tidak
otoriter di dalam kelas
8)
Memberikan
peluang dan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan
9)
Sabar
dalam menghadapi kenakalan peserta didik
10)
Memahami
perkembangan mentalitas atau emosionalitas peserta didiknya, karena
perkembangan tersebut akan mempengaruhi cara belajar peserta didik.[16]
5.
Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang
telah dibebankan Allah kepada rosul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki
sifat-sifat berikut ini:
a.
Setiap
pendidik harus memiliki sifat Rabbani sebagaimana
dijelaskan Allah lewat ayat ini:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا
لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab,
hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia
berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)
Artinya,
kita harus mengaitkan diri kita pada Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung
melalui ketaatan kita pada syariat-Nya. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya
bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya. Setiap materi yang
dipelajarinya senantiasa menjadi tanda penguat kebesaran Allah sehingga dia
merasakan kebesaran itu dalam setiap lintasan sejarah, dalam sunnah alam
semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam semesta. Tanpa sifat seperti itu,
mustahil seorang pendidik mampu mewujudkan pendidikan islam.
b.
Seorang
pendidik hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya
dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk
menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih
keridhoan Allah serta mewujudkan kebenaran. Dengan demikian, seorang pendidik
harus semaksimal mungkin menyebarkan kebenaran kepada anak didiknya. Tiada
kemuliaan bagi umat ini kecuali mendidik generasi mudanya guna mewujudkan
keridhoan Allah. Seluruh aktivitas pengajarannya diarahkan untuk mewujudkan
ketulusan dan perhatian yang betul-betul muncul dari kedalaman jiwa.
c.
Seorang
pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Dengan begitu, ketika dia
harus memberikan latihan yang berulang-ulang kepada pesera didiknya, dia
melakukannya dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang
berbeda. Dengan begitu dia tidak tergesa-gesa dan memaksakan keinginannya
kepada peserta didik serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa
yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta
pengaruhnya dalam diri peserta didik.
d.
Ketika
menyampaikan ilmunya kepada peserta didik, seorang pendidik harus memiliki
kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
Jika apa yang diajarkan pendidik sesuai dengan apa yang dilakukannya, maka peserta
didik akan menjadikan pendidiknya sebagai teladan.
e.
Seorang
pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya,
sebagaimana diserukan Allah kepada para pengikut rosul ini:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا
لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab,
hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia
berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)
Seorang pendidik harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni.
Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan kepeda peserta didik, jika benar-benar
dikuasai oleh seorang pendidik. Banyaknya kekeliruan yang dilakukan seorang
pendidik akan mengurangi kepercayaan peserta didik kepadanya sehingga peserta
didik merendahkan dan menyepelekan segala ilmu yang diberikan kepadanya.
Kekeliruan seorang pendidik dapat
menimbulkan keraguan dalam diri peserta didik. Maka, penambahan wawasan dan
pengetahuan bagi seorang pendidik merupakan hal yang penting sehingga dia dapat
meraih simpati dan minat peserta didiknya.
f.
Seorang
pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang
variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran. Artinya kepemilikan
ilmu pengetahuan saja tampaknya belum memadai peran seorang guru karena
bagaimanapun dia dituntut untuk mampu menyampaikan pengetahuannya kepada
peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kapasitas akal peserta didik.
Mengajar itu memerlukan pengalaman khusus, dan juga memerlukan latihan yang
baik.
g.
Seorang
pendidik harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya
sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai peserta didik. Jika dia
dituntut untuk keras, dia tidak boleh menampakkan kelunakannya, dan sebaliknya jika
dia dituntut untuk lembut, maka dia harus menjauhi kekerasan. Seorang pendidik
harus menunjukkan sikap kasih sayangnya kepada peserta didik, tanpa sikap
berlebihan sehingga sewaktu-waktu dia bisa bertoleran tanpa menjadikannya
generasi yang santai dan malas.
h.
Seorang
pendidik dituntut untuk mampu memahami psikologi anak, psikologi perkembangan,
dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan
memperlakukan peserta didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan
psikologinya.
i.
Seorang
pendidik dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu
memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap
peserta didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
j.
Seorang
pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya.
Artinya, dia tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini,
dia harus menyikapi setiap peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan
bakatnya. Rosulullah saw adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik.[17]
Selain itu ada sifat-sifat mendasar
yang membantu seseorang melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Sifat
kesempurnaan manusia memang hanya dimiliki oleh para rasul saja, namun manusia
bisa juga berupaya dengan segala kemampuan yang ada untuk meraih akhlak yang
baik dan sifat-sifat yang terpuji. Sifat-sifat yang diupayakan bisa dimiliki
oleh setiap pendidik agar meraih keberhasilan, diantaranya adalah : ketabahan
dan kesabaran, lemah lembut (ramah) dan tidak kasar, hati yang penyayang,
mengambil yang paling ringan dari dua hal selama hal itu tidak dosa, lunak dan
fleksibel, menjauhi sifat marah, bersikap seimbang (moderat) dan pertengahan,
membatasi diri dalam memberikan nasehat yang baik.[18]
6.
Jenis Pendidik dalam Pandangan Islam
Menurut
Prof. Dr. Moh. Athiyah Al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam, yaitu:
a.
Pendidik
kuttab
Pendidik kuttab yaitu, pendidik yang mengajarkan Al-Qur’an kepada
anak-anak di kuttab. Sebagian diantara mereka hanya berpengetahuan sekedar
pandai membaca, menulis, dan menghafalkan Al-qur’an semata. Sebagian dari
mereka mengajar untuk kepentingan duniawi atau mencari penghidupan saja,
sehingga kurang mendapat kehormatan dari masyarakat. Namun tidak kurang dari
mereka berilmu pengetahuan yang luas dan mengajar dengan ikhlas sehingga
mendapat kehormatan dan penghargaan yang mulia. Dianataranya seperti Al Hajaj,
Al-Kumait, Al-Khatib Atha ‘bin Abi Rabah.
b.
Pendidik
umum
Pendidik umum yaitu, pendidik yang pada umumnya mengajar di
lembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan islam
secara formal seperti madrasah-madrasah, pondok pesantren, pendidikan di
masjid, surau-surau, ataupun pendidikan informal seperti keluarga.
c.
Pendidik
khusus
Pendidikan khusus atau sering disebut muadib yaitu, pendidik
yang memberikan pelajaran khusus kepada seorang atau lebih dari seorang anak
pembesar, pemimpin Negara atau khalifah seperti pendidikan yang dilaksanakan di
rumah-rumah tertentu di istana. Dalam hal ini biasanya orang tua (ayah)
terdidik bersama-sama dengan pendidik memilih dan menentukan mata pelajaran
yang akan diajarkan kepada peserta didik. Pendidik khusus biasanya memberikan
pelajaran 4 jam atau lebih setiap hari dan ia tinggal bertahun-tahun di tempat
tersebut. Karena itu peserta didik dapat melanjutkan pelajarannya sampai ke
tingkat yang dikehendaki.[19]
Ditinjau dari segi status dan kaitannya dengan gaji yang mereka
terima ada 2 (dua) macam, yaitu:
1)
Guru
swasta, yaitu pendidik islam yang statuanya adalah swasta, artinya ia bukan
pegawai negeri yang menerima gaji dari pemerintah, melainkan ia bekerja.
Kadang-kadang ia menerima gaji dari yayasan pendidikan di tempat di mana ia
bekerja, tetapi banyak pula dari mereka yang tidak menerima gaji sepeser pun.
Ia bekerja di lembaga pendidikan islam ini hanya untuk mengharapkan ridho dan
pahala dari Allah SWT.
2)
Guru
negeri, yaitu pendidik islam yang statusnya sebagai pegawai negeri. Ia bekerja
dan menerima gaji dari pemerintah. Kadang-kadang ia bekerja di lembaga
pendidikan negeri tetapi ada pula di antara mereka yang di perbantukan di
lembaga-lembaga pendidikan swasta.[20]
Dalam konteks pendidikan islam “pendidik” sering disebut dengan ustadz,
muallim, murabbi, mursyid, muaddib, mudarris. Menurut peristilahan yang
dipakai dalam pendidikan dalam konteks islam, keenam istilah itu mempunyai
tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing.
a)
Ustadz, yaitu orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat
pada dirinya secara dedaktif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja,
serta continous improvement.
b)
Muallim, yaitu orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan
praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pegetahuan, internalisasi
serta implementasi (amaliah).
c)
Murabbi, yaitu orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu
berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam sekitarnya.
d)
Mursyid, yaitu orang yang mampu menjadi
model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.
e)
Muaddib,
yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
f)
Mudarris, yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung
jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.[21]
C. Pendidikan
Islam
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Kata pendidikan yang dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah
dengan kata kerja rabba.[22] Meskipun
kata tarbiyah tidak digunakan dalam leksiologi Al-Qur’an, ada beberapa
kata yang sebangun dengan kata itu, yaitu ar-rabb, rabbayani, murabbi,
ribbiyyun, dan rabbani. Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi
mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha memperbaiki, yang
maha pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan.
Tarbiyah juga diartikan
dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani)
pada peserta didik agar ia memiliki sifat dan semangat yang tinggi dalam
memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti
dan kepribadian yang luhur.[23]
Selain itu, dalam surat Ali Imran ayat 79 disebutkan istilah rabbanniyyin
dan ribbiyyin. Dalam hadits Nabi SAW, digunakan istilah rabbaniyyin
dan rabbani sebagaimana tercantum dalam hadits yang artinya: “jadilah
kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan.
Seseorang disebut rabbani jika ia telah mendidik manusia dengan ilmu
pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju yang paling tinggi”. (H.R.
Bukhari dari Ibn Abbas)
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan
me-, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi
latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda yang berarti proses perubahan
sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan yaitu pendewasaan
diri melalui pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan islam sendiri merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai
sifat, penegas, dan pemberi ciri khas pada kata pendidikan. Dengan demikian,
pengertian pendidikan islam berarti pendidikan yang secara khas memiliki ciri
islami, yang dengan ciri khas itu, ia membedakan dirinya dengan model
pendidikan lainnya.
Menurut Ahmad D. Marimba mengartikan bahwa pendidikan islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan islam. Maksud
kepribadian utama adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang sesuai
dengan nilai-nilai islam.[24]
2.
Unsur-Unsur Pokok Pendidikan Islam
a.
Proses
transinternalisasi. Upaya dalam pendidikan islam dilakukan secara bertahap,
berjenjang, terencana, terstruktur, sistemik, dan terus-menerus dengan cara
transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai islam pada peserta
didik.
b.
Pengetahuan
dan Nilai Islam. Materi yang diberikan kepada peserta didik adalah ilmu
pengetahuan dan nilai islam, yaitu pengetahuan dan nilai yang diturunkan dari
Tuhan (Ilahiyah). Atau materi yang memiliki criteria epistemology dan aksiologi
islam, sehingga output pendidikan memiliki ‘wajah-wajah’ islam dalam setiap
tindak tanduknya. Pengetahuan dan nilai islam sebagimana yang di isyaratkan
dalam QS. Al-Fushilat ayat 53, terdapat 3 (tiga) objek, yaitu objek afaqi, yang berkaitan dengan alam fisik
(baik di langit atau di bumi); objek anfusi
yang berkaitan dengan alam psikis (kejiwaan atau bathiniah); dan objek haqqi atau qur’ani, yang berkaitan dengan system nilai untuk mengarahkan
kehidupan spiritual manusia.
c.
Kepada
peserta didik. Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai objek dan
subjek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan dan
mengaktualisasikan potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasi
dalam pengembangan dan aktualisasi itu. Dikatakan objek karena ia menjadi
sasaran dan transformasi ilmu pengetahuan dan nilai islam, agar ilmu dan nilai
itu tetap lestari dari geerasi ke generasi berikutnya.
d.
Melalui
upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan
pengembangan potensinya. Tugas pokok pendidikan adalah memberikan pengajaran,
pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensi peserta
didik agar terbentuk dan berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa
mengabaikan potensi dasarnya.
e.
Guna
mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan akhir
pendidikan islam adalah terciptanya insan kamil (manusia sempurna), yaitu
manusia yang mampu menyelaraskan dan memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat, dan
kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Orientasi pendidikan islam tidak
hanya memenuhi hajat hidup jangka pendek, seperti pemenuhan kebutuhan duniawi,
tetapi juga memenuhi hajat hidup jangka panjang seperti pemenuhan kebutuhan di
akhirat kelak.[25]
3.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan isla mengandung tiga aspek nilai yang semestinya
direalisasikan dalam melaksanakan suatu metode dalam pendidikan islam, yaitu:
a.
Membentuk
peserta didik menjadi hamba Allah yang menghambakan diri kepada-Nya semata.
b.
Bernilai
edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an.
c.
Berkaitan
dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang disebut
dengan pahala dan siksaan.[26]
[1] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, tt), 136.
[2] Adib Bisri dan
Munawwir AF, Kamus Indonesia-Arab Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999), 230.
[3] Al-Qur’an
dan Tafsirnya: Edisi yang disempurnakan
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 542.
[4] Ahmad Munir, Tafsir
Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan (STAIN Ponorogo
Press, 2007), 35.
[5]Hadrat Mirza
Thahir Ahmad Khalifatul Masih IV, Terj. Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, Al-qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat (Jakarta: Yayasan
Wisma Damai, 2007), 259.
[6]Ahmad Mustafa
al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Semarang: TOHA PUTRA, 1993), 349.
[7] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 625.
[8] Salima A.
Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim (Yogyakarta: Pro-U Media, 2007), 324-327.
[9] Yusuf
al-Qardhawi, Madkhal li Ma’rifah al-Islam
Sistem Pengetahuan Islam (Jakarta:
RESTU ILAHI, 2004), 209-213.
[10] Ahmad Izzan
dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, Studi
Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan
(Pamulang Tanggerang Selatan Banten: Pustaka Aufa Media, 2012), 132.
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam
(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 74-75.
[12] Undang-undang
SISDIKNAS 2003 UU RI No. 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 point 5 dan 6
[13] Muhammad
‘Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip
Dasar Pendidikan (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003), 158-159.
[14] Ahmad Izzan
dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, …..
138-139
[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam
(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 76.
[16] Hasan Basri
dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan
Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 93.
[17] Abdurrahman
an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170-175.
[18] Muhammad
Suwaid Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak
Bersama Nabi, Panduan Lengkap
Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf, Terj. Salafuddin Abu
Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2006), 40-46.
[19] Nur Uhbiyati
dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam
(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1997), 78.
[21] Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (online), http://difarepositories.uin-suka.ac.id/13/2/ilmu%20pendidikan%20islam%20(2).htm, diakses
tangal 21 oktober 2015.
[22] Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT
RINEKA CIPTA, 2009), 4
[23] Muhammad
Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam
(Yogyakarta:Teras, 2011), 16.
[24] Beni Ahmad
Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu
Pendidikan Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009), 38-42.
[25] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana,
2008), 28-29.
[26] Ahmad Izzan
dan Saehudin, Tafsir Pendidikan, …..
146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar