BAB III
KONSEP RABBANI
DALAM QS. ALI-IMRAN AYAT 79
DI TAFSIR AL-MISHBA<H
KARYA M. QURAISH SHIHAB DAN KAITANNYA DENGAN SIFAT PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di
Tafsir al-Mishba<h Karya M. Quraish Shihab
1. QS. Ali-Imran Ayat 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ
اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ
عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah".
Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya.” (QS.3:79)
Surat Ali-Imran,
dinamai demikian karena didalamnya dikemukakan secara rinci kisah keluarga
Imran, yaitu Isa, Yahya, Maryam dan ibu beliau. Sedang Imran adalah ayah dari
ibu Nabi Isa, Maryam as.[1]
Surat ini terdiri dari 200 ayat. Sekitar 80 ayat
pertama berkaitan dengan kedatangan serombongan pendeta Kristen dari Najran
(sebuah lembah di perbatasan Yaman dan Saudi Arabia) pada tahun IX H. mereka
berdiskusi dengan Nabi di Masjid Madinah menyangkut Isa as. dalam kaitannya
dengan keesaan Tuhan. Walaupun telah berlangsung beberapa hari, diskusi tidak
mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Nabi Muhammad saw. mengajak mereka
ber-“muhabalah” sebagaimana akan terbaca nanti.[2]
Dalam kesempatan kehadiran para pendeta itu ke
Masjid Nabi di Madinah, mereka melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran agama
Kristen yang mereka anut di dalam masjid. Nabi saw. yang melihat hal tersebut
membiarkan mereka. Demikian diuraikan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, dan
dikutip oleh Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Pemimpin Tertinggi al-Azhar,
juga dalam tafsirnya.[3]
Nama surat ini banyak, antara lain surat al-Aman, al-Kanz, Thibah, tetapi yang
populer adalah Ali-Imran. Tujuan
utama surat Ali-Imran (keluarga
Imran) adalah pembuktian tentang Tauhid keesaan Allah swt. dan penegasan bahwa
dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak, yang terlepas dari nilai-nilai
Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Hukum-hukum alam yang
melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur Allah Yang
Maha Hidup dan Qayyum (Maha
Mengetahui dan Mengelola segala sesuatu), sebagaimana terlihat dari
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Ali-Imran
(keluarga Imran). Sebentar lagi surat ini akan menghidangkan kisah Maryam, Isa,
Zakaria, dan lain-lain, yang melalui merekalah Allah swt menunjukkan keesaan
kekuasaan, dan penguasaan-Nya atas alam raya, serta terlihat pula bagaimana
keluarga itu-ayah, ibu dan anak, atau suami dan istri-tunduk patuh dan percaya
kepada Allah Yang Maha Esa.
Tujuan ini sungguh pada tempatnya, karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama
merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan al-Baqarah menjelaskan secara rinci tuntunan-tuntunan agama.
Kemudian surat Ali-Imran datang
menekankan sesuatu yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni
Tauhid. Tanpa kehadiran Tauhid, maka pengamalan tuntunan lainnya tiada bernilai
di sisi-Nya.[4]
2. Asbab al-Nuzul
Diriwayatkan, bahwa ketika ulama-ulama Yahudi dan
ulama-ulama Nasrani dari Najran berkumpul bersama di sisi Rasulullah, dan
Rasulullah meminta mereka masuk Islam, Abu Rafi al-Quradi berkata: “Apakah engkau ingin agar kami menyembahmu
sebagaimana kaum Nasrani menyembah Isa?”
Seorang Nasrani kemudian menimpali bertanya: “Apakah yang engkau mau, hai Muhammad?”
Jawab Rasulullah: “Saya berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah, atau
menyuruh beribadah kepada selain Allah. Bukan untuk itu aku diutus oleh Allah,
dan bukan untuk itu pula aku diperintah oleh Allah.” Berkaitan dengan
peristiwa ini, maka turunlah ayat ini.
Diriwayatkan pula oleh Abdur Razaq dari Hasan: Ada
berita yang sampai kepadaku bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasul: “Ya Muhammad, kami memberikan salam kepadamu
seperti kami memberi salam kepada sesame kami, apakah tidak lebih baik kami
bersujud kepadamu?”
Jawab Nabi: “Tidak,
akan tetapi, muliakanlah Nabimu, dan penuhilah hak untuk yang mempunyai hak
itu, karena tidak patut bersujud kepada selain Allah.” Dan berkenaan itu
turunlah ayat ini.[5]
3. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 Di
Tafsir al-
mishba<h Karya M. Quraish Shihab
a. Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944
M di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia putra dari Abdurrahman Shihab, seorang guru
besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin serta
tercatat sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di
Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan dasar di Ujungpandang, ia digembleng
ayahnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1958 M, ia berangkat ke Kairo, Mesir,
atas bantuan beasiswa dari pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas II
Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967 M, pendidikan srata
satu diselesaikan di Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan
Tafsir-Hadits. Pada tahun 1969 M, gelar M.A diraihnya di Universitas yang sama.
Quraish Shihab sempat kembali ke Indonesia, namun
tidak lama, karena pada tahun 1980 M ia kembali lagi ke Universitas al-Azhar
untuk menempuh program doctoral. Hanya dua tahun, 1982 M, waktu yang
dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan srata tiga itu. Walaupun
begitu, nilai akademiknya terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan
tingkat I. Walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang
meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1984 M, ia kembali ke Indonesia dan
mengajarkan ilmunya di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah. Di luar kampus, ia dipercaya menduduki beberapa jabatan penting,
antara lain, Ketua MUI Pusat (sejak 1984 M), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an
Departemen Agama (sejak 1989 M), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
(sejak 1989 M), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VIII (1998 M).
Meski disibukkan dengan berbagai aktivitas akademik
dan non-akademik, ia masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang
produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita, ia mengasuh rubric “Tafsir
al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar
Ulama.[6]
Karena Muhammad Quraish Shihab dianggap sebagai
peulis yang produktif, maka beliau menulis buku-buku yang telah beredar secara
luas. Di antara karya beliau tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1984)
2)
Filsafat Hukum Islam (1987)
3)
Mahkota Tuntutan Ilahi: Tafsir Surah al-Baqarah (1988)
4)
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(1992)
5)
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994)
6)
Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994)
7)
Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat (1995)
8)
Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Gaib (1997)
9)
Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu (1997)
10) Hidangan Ilahi: Ayat-Ayat Tahlil (1997)
11) Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan
Mu’amalah (1999)
12) Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, dan Keserasian
Al-Qur’an (2000)[7]
b. Sekilas Tentang Tafsir al-mishba<h
Tafsir al-Mishba<h adalah salah satu karya M. Quraish Shihab, yang mulai ditulis untuk
pertama kalinya di Kairo Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’al-Awwal 1420 H/18 Juni
1999 M, selama kurang lebih 4 tahun hingga selesai pada hari Jum’at 8 Rajab
1423 H bertepatan dengan 5 September 2003 di Jakarta. Tafsir al-Mishba<h merupakan karya ilmiah M. Quraish Shihab yang
berawal dari anjuran teman-temannya saat berada di Mesir sebagai Duta Besar dan
Berkuasa Penuh. Meskipun awal penulisan tafsir ini di Mesir, akan tetapi tafsir
ini lebh khusus ditujukan untuk masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat
dari bahasa yang diguakan M. Quraish Shihab adalah bahasa Indonesia.
Awalnya ia enggan untuk merealisasikan ide penulisan
tafsir ini. Namun, iklim ilmiah yang sangat subur yang ia temukan di al-Azhar
Mesir mendorongnya mewujudkan ide penulisan tafsir ini. Di samping itu,
pendorong niat itu berasal surat pembaca dalam berbagai topik yang
diterimannya, yang sungguh menggugah hati dan membulatkan tekadnya untuk
menyusun Tafsir al-Mishba<h.[8]
Dari segi penamaannya, Tafsir
al- Mishba<h berarti “lampu, pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna
kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya al-Qur’an. M. Quraish
Shihab menciptakan al-Qur’an agar semakin “membumi” dan mudah dipahami.
Pada mulanya, tafsir ini ditulis secara sederhana,
bahkan tidak lebih dari tiga volume, namun karena kenikmatan ruhani yang
dirasakan oleh penulisnya bersama Al-Qur’an, membuat karya ini mencapai lima
belas volume. Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur’an dan
menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan harapan dan kebutuhan pembacanya. Para
pakar Al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan
pesan-pesan Al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan metode Maudu’I atau tematik. Metode ini dinilai
dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan
menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Ia lahir setelah para
pakar menyadari bahwa metode yang diterapkan sebelumnya sangat menyita waktu
bahkan menghidangkan aneka informasi yang tidak selalu dibutuhkan oleh
pembacanya. Karena banyaknya tema yang dikandung oleh kitab suci umat Islam
itu, maka tentu saja pengenalan menyeluruh tidak mungkin terpenuhi, paling
tidak, hanya pada tema-tema yang dibahas itu.[9]
Tafsir al-Mishba<h termasuk tafsir yang menggunakan metode analitis,[10] yang
berbentuk tafsir bi al-ra’y, yakni
metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang di tafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
dari mufassirnya. Penerapan metode ini adalah dengan menguraikan makna yang
dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan
urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang
turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya
(munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat
yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi Saw, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir
lainnya.[11]
Corak yang ada dalam Tafsir al-Mishba<h adalah adabi ijtima’i. Hal ini sebagaimana yang telah diteliti
oleh Mahbub Junaidi bahwa ketika menganalisis mufradat, M. Quraish Shihab tidak
hanya menganalisis secara kebahasaan biasa. Analisisnya sangat mendetail,
sehingga seolah membuat pembaca merasa menemukan makna baru yang belum dibaca
sebelumnya.
Dalam menafsirkan, M. Quraish Shihab lebih dominan
menggunakan rasio. Rasio di sini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, rasio yang
lebih dekat dengan rasa (dzauq) kebahasaannya. Rasio ini digunakan ketika ia
menganalisis makna dari kosakata tertentu dari suatu ayat. Ketika menganalisis
makna kosa kata, seringkali ia sendiri yang memilih makna yang paling tepat.
Artinya, dalam hal ini rasa (dzauq) kebahasaannya sangat berpengaruh dalam
pemaknaan kosa kata tersebut. Meskipun pemilihan ini lebih berdasarkan
dzauq-nya, ia tetap berusaha merasionalisasikan pilihannya tersebut.
Kedua, rasio
murni, yaitu rasio yang digunakan dalam berpendapat yang didasarkan pada
logika. Bagi M. Quraish Shihab, menafsirkan al-Qur’an dengan rasio dibenarkan,
asalkan bisa dipertanggungjawabkan.
Tafsir al-Mishba<h merupakan kitab tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan
kemasyarakatan. Sedangkana corak penafsirannya menitik beratkan pada penjelasan
al-Qur’an dalam ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dan ada upaya penonjolan fungsi
turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.
Tafsir al-Mishba<h menghidangkan uraian dengan gaya dan penekanan yang berbeda, yakni
tafsir ini barusaha menghidangkan bahasan setiap surat pada apa yang dinamai
tujuan surat, atau tema pokok surat. Pada tema itulah berkisar uraian
ayat-ayatnya. Jika mampu memperkenalkan tema-tema pokok itu, maka secara umum
dapat memperkenalkan pula pesan utama setiap surat, dan dengan memperkenalkan
ke 114 surat, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.[12]
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan
penulisnya. Boleh jadi, kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari
al-Qur’an, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya walau
telah mengkaji terjemahnya. Maka, dengan menjelaskan tema pokok surat-surat
al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat
itu akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat
setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang
melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang.[13]
Untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh
suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan
kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an, seringkali
memerlukan penyisipan-penyisipan kata atau kalimat, namun
penyisipan-penyisipan itu bukan
merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an. Tafsir al-Mishba<h ini memiliki cara penulisan tafsir yang unik,
seperti yang disebut, yakni memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan
sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan Italic Letter (tulisan miring), dan
sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal. Di samping itu, dengan
menampilkan penafsiran atau kesan-kesan tertentu untuk ayat-ayat tertentu, sama
sekali bukan berarti memilah-milah al-Qur’an, yakni menganggap penting yang
satu dan menganggap kurang penting yang lainnya, tetapi semata-mata karena yang
demikian itulah kesan atau informasi dari curah pikir yang diperoleh M. Quraish
Shihab. Tafsir al-Mishba<h ini juga bukan semata-mata sepenuhnya hasil
ijtihad M. Quraish Shihab, namun disertai dengan pandangan-pandangan ulama
terdahulu dan kontemporer yang banyak dinukil, khususnya pandangan pakar tafsir
Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I, yang karya
tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis Tafsir al-Mishba<h ini, M. Quraish Shihab.[14]
c. Penafsiran M.Quraish Shihab Tentang QS. Ali-Imran
Ayat 79
Pada bab ini, penulis akan membahas secara khusus
pandangan M. Quraish Shihab tentang Konsep Rabbani
dalam Pendidikan Islam. Yang mana Konsep Rabbani
ini dalam al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat, namun penulis hanya
mengambil salah satu dari ayat tersebut, yakni surat ali-Imran ayat 79, sebagai
berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ
اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ
عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah".
Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani ,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya.” (QS.3:79)
Di dalam ayat yang lalu sudah diterangkan
kebohongan orang-orang Yahudi yang sengaja dilakukannya terhadap Allah yaitu
menyatakan sesuatu dari Allah, padahal bukan dari pada-Nya. Kemudian di dalam
ayat ini Allah menegaskan lagi tuduhan orang-orang Yahudi terhadap Nabi-Nabi,
bahwa Nabi-Nabi menghendaki agar mereka disembah oleh manusia. Tuduhan ini
dibantah dengan ayat ini.[15]
Setelah penjelasan tentang kebenaran yang
disembunyikan oleh Bani Israil dan hal-hal yang barkaitan dengannya selesai
diuraikan dalam ayat-ayat yang lalu, dan berakhir pada penegasan bahwa mereka
tidak segan-segan berbohong terhadap Allah, dan ini juga berarti berbohong atas
nama nabi dan rasul karena tidak ada informasi pasti dari Allah kecuali melalui
mereka, maka di sini ditegaskan bahwa bagi seorang nabi pun hal tersebut tidak
wajar. Bahwa yang di nafikan oleh ayat ini adalah penyembahan kepada selain
Allah, sangat pada tempatnya. Oleh karena apapun yang disampaikan oleh nabi
atas nama Allah adalah ibadah, baik dalam pengertian yang khusus, yakni ibadah
murni, maupun dalam pengertian yang umum, yakni segala aktivitas yang dilakukan
dengan motivasi mengikuti rasul dan mendekatkan diri kepada Allah. Tidak wajar dan tidak dapat tergambar
dalam benak, betapapun keadaannya bagi
seseorang manusia, siapa pun dia dan betapa pun tinggi kedudukannya, baik
Muhammad saw. maupun Isa dan lain selain mereka, yang Allah berikan kapadanya Kitab dan hikmah yang digunakannya
menetapkan putusan hokum. Hikmah adalah
ilmu amaliyah dan amal ilmiyah, dan kenabian,
yakni informasi yang diyakini bersumber dari Allah, yang disampaikan kepada
orang-orang tertentu pilihan-Nya, yang mengandung ajakan untuk mengesakan-Nya.
Tidak wajar bagi seseorang yang memperoleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong kepada
manusia, “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Selanjutnya mereka juga
tidak akan diam dalam mengajak mereka kepada kebaikan atau mencegah keburukan.
Tidak! Tetapi dia akan mengajak dan
terus mengajak, antara lain akan berkata: “Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, yang berpegang teguh, serta mengamalkan
nilai-nilai Ilahi, karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu terus menerus mempelajarinya.”
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa tidaklah pantas
bagi seorang manusia yang telah diberikan Kitab, Hukum dan Kenabian, kemudian
ia menyuruh manusia untuk menyembahnya. Tetapi hendaklah ia mengajak dan menyuruh
mereka menjadi orang-orang yang rabbani
serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi.
Kata rabbani
terambil dari kata rab yang memiliki
aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri,
maka yang di maksud tidak lain kecuali Allah SWT. Kalau bermaksud menisbahkan
sesuatu, maka biasanya kata itu di tambah dengan huruf ya’, seperti kata insan menjadi
insani dan rab menjadi rabbani.[16]
Para pemuka Yahudi dan Nasrani yang di anugerahi
kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas,
gerak dan langkah, niat dan ucapan, kesemuanya berjalan dengan nilai-nilai yang
dipesankan oleh Allah SWT yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu. Dari
penjelasan ini dapat diambil pemahaman bahwa seorang yang telah mencapai
tingkat rabbani itu bisa dikatakan sebagai seorang murabbi.
Kata Tadrusu<n digunakan dalam arti meneliti sesuatu guna diambil
manfaatnya. Dalam konteks teks -baik suci maupun selainnya- ia adalah membahas,
mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Seorang rabbani
harus terus menerus mengajar, itu karena manusia tidak pernah luput dari
kekurangan. Di sisi lain seorang rabbani
bertugas terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firmam-firman
Allah sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali semakin
banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Untuk
itu, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti dan membahas. Kemudian
yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula,
sehingga yang mengajar dan meneliti bertemu dalam satu lingkaran yang tidak
terputus kecuali dengan terputusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang.[17]
Dilihat dari uraian diatas dapat dipahami bahwa konsep
rabbani menurut M. Quraish Shihab,
adalah seseorang yang memiliki konsep rabbani
hendaknya terus menerus belajar, mengajar dan belajar lagi. Jadi bagi
seorang pendidik, sudah seyogyanya selalu mengembangkan pengetahuannya,
menambah wawasannya, kemudian mengajarkan apa yang telah diperolehnya kepada
semua peserta didiknya dengan adil.
Dalam ayat ini terdapat ungkapan ku<nu< rabba<niyyi<na
bi<ma kuntum tu’allimu<na al-kita<b wa bi<ma kuntum tadrusu<n (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan
ajakan atau dakwah nabi terdahulu terhadap umatnya agar mereka menjadi rabbani, yaitu orang yang sempurna ilmu
dan takwanya kepada Allah swt. dimana kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan
efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini
artinya belajar dalam bentuk kesempuranaan iman dan takwa.[18]
Maka dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ayat
ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar, pertama konsep belajar seperti terlihat
dalam istilah tadrusu<n. Dan kedua
tujuan belajar dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”. Para nabi telah mengajar umatnya dan umat pun telah
mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan para nabi tersebut. Maka umat
diharapkan menjadi insan rabbani.[19]
Sudah seharusnya, setelah seseorang mencari ilmu,
kemudian ia mengajarkannya pada orang lain. Karena, zakat ilmu yang diajarkan
oleh Allah adalah mengajarkannya sehingga dengan demikian akan terbentuk
komunitas yang rabbani.[20]
Ada ungkapan yang perlu diperhatikan dari ulama
Salaf, “Sesungguhnya yang bisa disebut sebagai rabbani adalah seorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dan
mengajarkannya.”Diriwayatkan al-Masih a.s. berkata, “Barang siapa berilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya, ia adalah orang
yang diagungkan di kerajaan langit”.[21]
Dijelaskan pula bahwa
para Rabbaniyyun adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi demi
mendekatkan diri kepada Allah, atau para cendekiawan, orang-orang bijaksana
serta pemuka-pemuka masyarakat dan pendeta-pendeta yang paham seluk beluk
agama. Mereka ini diperintahkan oleh Allah secara langsung kepada Nabi dan
melalui para nabi kepada para umatnya agar memelihara kita Allah, yakni menegakkan
hokum-hukum dan melaksanakan petunjuk-petunjuk yang dikandungnya dan juga karena mereka
manjadi saksi-saksi bahwa kandungannya penuh kebenaran dan juga menjadi saksi-saksi dalam
arti mereka member perhatian penuh dan tidak pernah lengah terhadap kandungan dan penerapan
dan petunjukNya.[22]
Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan dapat
simpulkan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang ajakan untuk belajar dan
perintah untuk mengajarkan kembali ilmu yang telah didapatkannya. Dan jika di
kaitkan dengan dunia pendidikan, disini dapat diambil kesimpulan bahwa seorang
pendidik itu harus memiliki sifat rabbani,
yakni dengan selalu mengembangkan pengetahuannya, harus selalu belajar dan
belajar, selain dia belajar dia juga harus mengajarkannya pada orang lain, menjaga
tingkah lakunya, karena seorang pendidik itu mempunyai tugas atau tanggungjawab
menjadikan peserta didiknya menjadi insan yang rabbani.
d. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di
Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
Untuk
mengetahui konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir
al-Mishbah karya M.Quraish Shihab perlu diketahui lebih dahulu pengertian
dari Rabbani itu sendiri. Menurut M.Quraish Shihab Rabbani diartikan pendidik atau pelindung. Dari pengertian itu
dapat di jelaskan bahwa seorang pendidik itu memiliki konsep, yang mana
konsepnya itu akan membantu dan menambah keberhasilan pendidik dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
Menurut
M.Quraish Shihab seorang Rabbani atau seorang pendidik itu harus selalu
belajar dan belajar. Setelah belajar dia pun dituntut untuk mengajarkan ilmu
yang telah diperolehnya kepada orang lain, khususnya pada semua peserta
didiknya. Karena ilmu itu tidak ada batasnya. Walaupun seorang pendidik tadi
sudah pandai tapi ia harus tetap belajar lagi, meneliti lagi dan mengkaji lagi
ilmu-ilmu yang lain. Agar pengetahuan yang dimiliki seorang p seorang pendidik
itu selalu baru, dan terus bertambah. Dalam QS. Ali-Imran ayat 79
diatas dijelaskan bahwa tidak ada seseorang yang diberi Allah al-Kitab, Hikmat (
pemahaman dan pengetahuan tentang Kitab dan rahasianya) serta Kenabian, yang
menyuruh ummatnya untuk menyembah dirinya,
menjadikan sebagai sembahan. Tapi para nabi itu menyuruh mereka untuk menjadi Rabbani, hal
ini karena mereka telah mengajarkan Al-Kitab pada orang lain dan telah membaca
serta mempelajarinya sendiri. Di dalam sebuah hadits Nabi disebutkan:
وَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدُ اللهَ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ وَإِنَّمَا العِلْمَ بِتَعَلُّمِ. وَقَالَ إِبْنُ عَبَّاسٍ: كُوْنُوْا
رَبَّانِيِّيْنَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ. وَيُقَالُ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِيْ
يُرَبَّى النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ. أخرجه ابن أبي عاصم (فتح
الباري: 1
, (67
Artinya:”Nabi bersabda, siapa yang dikehendaki Allah pada kebaikan, Ia menjadikannya
Faqih (faham), dan hanyalah ilmu itu (diperoleh) dengan belajar. Ibnu Abbas berkata, jadilah kamu orang Rabbani yang sabar murah
hati dan yang faqih. Dan dikatakan Rabbani itu yang suka mendidik manusia mulai dari yang kecil lalu pada yang besar.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim. (Fath al-Bari : I, 67 ).
Secara konteks hadits di atas berkenaan dengan perintah menjadi Insan rabbani, Insan
rabbani di sini ialah orang yang mendidik manusia, memberi santapan pada mereka
dengan ilmu pengetahuan, mulai dari masalah yang kecil/mudah difahami kemudian
berpindah kepada masalah yang besar yang sulit dipahami.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan Rabbani dalam Ali Imran 79, antara lain
dimaksudkan, orang yang membaca, mempelajari Kitab dengan
memahami isi dan kandungannya ( دراسة
الكتاب ), kemudian mengamalkan, serta mengajarkannya
kepada manusia ( تعليم
الكتاب ) dengan metoda induktif / mulai dari yang
kecil kemudian pada yang besar, selanjutnya Ia menjadi أهل
التربيّة / مربّي pendidik.
Tersirat dalam ayat di atas, kita diperintah menjadi insan Rabbani, artinya diperintah untuk menyiapkan generasi pelanjut yang selalu belajar, haus
ilmu pengetahuan, hingga Ia menjadi pengajar / معلّم yang
selanjutnya menjadi pendidik / مربّي .
Menurut Indra Djati Sidi, dalam bahasa al-Qur’an, dimensi hidup
ketuhanan ini juga disebut rabbaniyah atau
ribbiyyah. Dan apabila dicoba merinci
apa saja wujud nyata atau substansi jiwa ketuhanan itu, maka kita dapatkan
nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan pada jiwa
sebagai penyempurna dari konsep rabbani
yang telah disebutkan diatas, baik nilai iman, islam, ikhsan, taqwa, ikhlas,
tawakal, syukur dan sabar. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang
sesungguhnya akan menjadi inti kegiatan pendidikan.[23]
Diantara konsep rabbani itu
yang paling mendasar yang harus dipegangi oleh pendidik adalah:
Pertama, Iman: merupakan dasar dalam pribadi seseorang serta sikap
batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup kita hanya percaya
kepada adanya Tuhan, malainkan harus mneingkatkan menjadi sikap mempercayai
kepada adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya. Dengan sikap iman yang
melekat dalam hati tidak akan menyekutukan-Nya terhadap sesuatu apapun.
Kedua, Islam: merupakan kelanjutan dari adanya iman yang melekat
pada jiwa seseorang, maka setiap pasrah kepada-Nya (yang merupakan makna asal
perkataan Arab “Islam”), dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan
tentu mengandung hikmah kebaikan, yang tidak mungkin diketahui seluruh wujudnya
oleh kita yang dlaif. Sikap taat
tidak abash (dan tidak diterima oleh Tuhan) kecuali bila berupa sikap pasrah
(Islam) kepada-Nya. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam, seorang akan
terpacu semangatnya untuk selalu mendapatkan perlindungan dan rahmat, dan
menganggap bahwa islam adalah agama yang selalu mengajarkan kepada kebaikan dan
rahmat bagi pengikutnya.
Ketiga, Ihsan: kesadaran yang sedalam-sedalamnya bahwa Allah
senantiasa hadir atau berada bersama kita di manapun kita berada. Bertalian
dengan hal ini, dan karena menginsafi bahwa Allah selalu mnegawasi kita, maka
kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan segala sesuatu dengan
sebaik mungkin dan penuh dengan tanggungjawab, tidak setengah-tengah dan tidak
dengan sikap sekedarnya. Dengan adanya kehadiaran Allah dalam kehidupan, maka
seseorang akan malu kalau tidak bisa mengembangkan potensi yang telah
dimilikinya.
Keempat, Taqwa: adalah sikap yang sadar penuh bahwa selalu
mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridlai oleh
Allah, dengan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai-Nya. Sikap taqwa
harus selalu dijaga dalam mengembangkan potensi dan dalam kondisi apapun
sehingga akan mencapai derajat sebagai orang yang muttaqin.
Kelima, Ikhlas: adalah sikap murni dalam tingkah laku dan
perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah, dan bebas dari pamrih lahir
dan batin, tertutup maupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu
mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan kaya lahirnya, baik pribadi
maupun social. Dengan sikap ikhlas pula, manusia tidak akn menganggap bahwa
segala sesuatu itu harus diukur dengan materiil. Dengan dasar keikhlasan
seseorang akan menerima segala apa adanya yang telah diberikan Allah swt.
Keenam, Tawakal: adalah sikap senantiasa bersandar kepada Allah
swt setelah berusaha semaksmal mungkin (berikhtiar), kemudian meyerahkan segala
sesuatu yang telah diperbuat dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan
bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik. Karena
kita “mempercayai” atau “menaruh kepercayaan” kepada Allah swt, maka tawakal
adalah suatu kemestian.
Ketujuh, Syukur: adalah sikap penuh rasa terima kasih dan
penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang
dianugerahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis
kepada hidup ini dan pandangan senantiasa penghargaan kepada Allah. Karena itu
sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap syukur kepada diri
sendiri, karena manfaat besar kejiaan akan kembali kepada yang bersangkutan.
Syukur merupakan cara yang terbaik dari ungkapan terima kasih dan penghargaan
kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Dengan ucapan syukur
inilah, seseorang akan lebih mengetahui betapa kuasanya Allah serta batapa
banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Kedelapan, Shabr (Sabar): adalah sikap tabah menghadapi segala
kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis, segala cobaan
yang berasal dari Allah harus dianggap sebagai ujian dan rahasia Allah yang
harus diterima dengan lapang dada serta mneganggap hal itu adalah yang terbaik
yang diberikan-Nya. Karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua
berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin
yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah swt.[24]
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut M.
Quraish Shihab adalah sebagai seorang pendidik maka dia harus belajar dan terus
belajar, setelah dia selesai belajar maka dia harus mengajarkannya kembali
kepada orang lain. Artinya dia harus selalu menambah wawasan pengetahuannya.
B. Kaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran
ayat 79 di Tafsir al-Mishba<h Karya M. Quraish Shihab dengan Sifat
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Untuk
mengetahui keterkaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir
al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dengan Sifat Pendidik dalam
Pendidikan Islam, maka perlu di ketahui terlebih dahulu bagaimana konsep Rabbani
menurut M. Quraish Shihab dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh
pendidik dalam pendidikan islam.
Menurut
M. Quraish Shihab konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 diantaranya, Para pemuka Yahudi dan Nasrani yang
di anugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas,
gerak dan langkah, niat dan ucapan, kesemuanya berjalan dengan nilai-nilai yang
dipesankan oleh Allah SWT yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.
Seorang rabbani
harus terus menerus mengajar, itu karena manusia tidak pernah luput dari
kekurangan. Di sisi lain seorang rabbani
bertugas terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena
firmam-firman Allah sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali
semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama.
Untuk itu, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti dan membahas.
Kemudian yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan
pula, sehingga yang mengajar dan meneliti bertemu dalam satu lingkaran yang
tidak terputus kecuali dengan terputusnya lingkaran, yakni dengan kematian
seseorang.[25]
Jika
disini diartikan sebagai pendidik, maka seorang pendidik dituntut untuk terus
menerus belajar dan setelah dia selesai belajar dia harus ,mengajarkannya pada
orang lain, khususnya kepada peserta didiknya. Dalam hal ini berarti dia harus
meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya. Hal ini sesuai dengan fungsi
seorang pendidik, yakni fungsi pengajaran: artinya seorang pendidik berfungsi
sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar
mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.[26]
Sedangkan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan islam
diantaranya: pertama, Setiap pendidik harus memiliki sifat Rabbani Jika
seorang pendidik telah bersifat rabbani,
seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai
generasi rabbani yang memandang jejak
keagungan-Nya. Setiap materi yang dipelajarinya senantiasa menjadi tanda
penguat kebesaran Allah sehingga dia merasakan kebesaran itu dalam setiap
lintasan sejarah, dalam sunnah alam semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam
semesta. Kedua, Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya,
aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan
keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhoan Allah
serta mewujudkan kebenaran. Ketiga, Seorang pendidik hendaknya mengajarkan
ilmunya dengan sabar. Keempat, Ketika menyampaikan ilmunya kepada peserta
didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia
ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Kelima, Seorang pendidik harus senantiasa
meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang pendidik harus
memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan
kepeda peserta didik, jika benar-benar dikuasai oleh seorang pendidik. Keenam, Seorang pendidik dituntut memiliki
sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. Artinya, dia tidak berpihak atau
mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini, dia harus menyikapi setiap
peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rosulullah saw adalah
teladan yang baik untuk seorang pendidik.[27]
Dilihat
dari penjelasan diatas, jelas bahwa ada keterkaitan antara konsep Rabbani dengan
sifat-sifat pendidik dalam pendidikan islam. Hal ini dapat dilihat dari konsep Rabbani
menurut M. Quraish Shihab disebutkan bahwa seorang pendidik harus terus
belajar dan belajar, kemudian mengajarkan kembali pada orang lain. Pendapat ini
sesuai dengan salah satu sifat pendidik yakni, Seorang pendidik harus
senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus
memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an. Vol. 2, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 3.
[2]
Ibid.
[3] Ibid.
[5] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 626.
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an
(Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 236-238.
[7]
Ibid., 238.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al- mishba<h: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol.
15, Cet. V (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 645.
[9] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati,
2000), vii.
[10] Nashrudin Bidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis terhadap
Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip, Cet.
I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68.
[11] Ibid., 68-69
[12] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I, ix.
[13]
Ibid.
[15] Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan , Jilid I
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 542.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Vol. 2
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), 125.
[18] Kadar M. Yusuf, Tafsir
Tarbawi: Pesan-Pesan al-Qur’an Tentang Pendidikan Cet. I (Jakarta:
Amzah, 2013), 42.
[20] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an
Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
Irfan Salim & Sochimien (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 264.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Vol. 3
(Ciputat: Lentera Hati, 2001), 97-98.
[23] Suntawi, “Konsep Rabbani dalam
al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 79 dan pengembangannya dalam Peningkatan
Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam,” (Skripsi, IAIN Walisongo, Semarang,
2005), 28.
[25]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), 126.
[26] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170.
[27] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170-175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar