Senin, 02 November 2015

skripsi siang bab 3

BAB III
KONSEP RABBANI DALAM QS. ALI-IMRAN AYAT 79
DI TAFSIR AL-MISHBA<H KARYA M. QURAISH SHIHAB DAN KAITANNYA DENGAN SIFAT PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.  Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Mishba<h Karya M. Quraish Shihab
1.    QS. Ali-Imran Ayat 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Surat Ali-Imran, dinamai demikian karena didalamnya dikemukakan secara rinci kisah keluarga Imran, yaitu Isa, Yahya, Maryam dan ibu beliau. Sedang Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, Maryam as.[1]
Surat ini terdiri dari 200 ayat. Sekitar 80 ayat pertama berkaitan dengan kedatangan serombongan pendeta Kristen dari Najran (sebuah lembah di perbatasan Yaman dan Saudi Arabia) pada tahun IX H. mereka berdiskusi dengan Nabi di Masjid Madinah menyangkut Isa as. dalam kaitannya dengan keesaan Tuhan. Walaupun telah berlangsung beberapa hari, diskusi tidak mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Nabi Muhammad saw. mengajak mereka ber-“muhabalah” sebagaimana akan terbaca nanti.[2]
Dalam kesempatan kehadiran para pendeta itu ke Masjid Nabi di Madinah, mereka melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran agama Kristen yang mereka anut di dalam masjid. Nabi saw. yang melihat hal tersebut membiarkan mereka. Demikian diuraikan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, dan dikutip oleh Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Pemimpin Tertinggi al-Azhar, juga dalam tafsirnya.[3]
Nama surat ini banyak, antara lain surat al-Aman, al-Kanz, Thibah, tetapi yang populer adalah Ali-Imran. Tujuan utama surat Ali-Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang Tauhid keesaan Allah swt. dan penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak, yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur Allah Yang Maha Hidup dan Qayyum (Maha Mengetahui dan Mengelola segala sesuatu), sebagaimana terlihat dari peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Ali-Imran (keluarga Imran). Sebentar lagi surat ini akan menghidangkan kisah Maryam, Isa, Zakaria, dan lain-lain, yang melalui merekalah Allah swt menunjukkan keesaan kekuasaan, dan penguasaan-Nya atas alam raya, serta terlihat pula bagaimana keluarga itu-ayah, ibu dan anak, atau suami dan istri-tunduk patuh dan percaya kepada Allah Yang Maha Esa.
Tujuan ini sungguh pada tempatnya, karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan al-Baqarah menjelaskan secara rinci tuntunan-tuntunan agama. Kemudian surat Ali-Imran datang menekankan sesuatu yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni Tauhid. Tanpa kehadiran Tauhid, maka pengamalan tuntunan lainnya tiada bernilai di sisi-Nya.[4]
2.    Asbab al-Nuzul
Diriwayatkan, bahwa ketika ulama-ulama Yahudi dan ulama-ulama Nasrani dari Najran berkumpul bersama di sisi Rasulullah, dan Rasulullah meminta mereka masuk Islam, Abu Rafi al-Quradi berkata: “Apakah engkau ingin agar kami menyembahmu sebagaimana kaum Nasrani menyembah Isa?”
Seorang Nasrani kemudian menimpali bertanya: “Apakah yang engkau mau, hai Muhammad?”
Jawab Rasulullah: “Saya berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah, atau menyuruh beribadah kepada selain Allah. Bukan untuk itu aku diutus oleh Allah, dan bukan untuk itu pula aku diperintah oleh Allah.” Berkaitan dengan peristiwa ini, maka turunlah ayat ini.
Diriwayatkan pula oleh Abdur Razaq dari Hasan: Ada berita yang sampai kepadaku bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasul: “Ya Muhammad, kami memberikan salam kepadamu seperti kami memberi salam kepada sesame kami, apakah tidak lebih baik kami bersujud kepadamu?”
Jawab Nabi: “Tidak, akan tetapi, muliakanlah Nabimu, dan penuhilah hak untuk yang mempunyai hak itu, karena tidak patut bersujud kepada selain Allah.” Dan berkenaan itu turunlah ayat ini.[5]
3.    Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 Di Tafsir al- mishba<h Karya M. Quraish Shihab
a.    Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944 M di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia putra dari Abdurrahman Shihab, seorang guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin serta tercatat sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan dasar di Ujungpandang, ia digembleng ayahnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1958 M, ia berangkat ke Kairo, Mesir, atas bantuan beasiswa dari pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967 M, pendidikan srata satu diselesaikan di Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadits. Pada tahun 1969 M, gelar M.A diraihnya di Universitas yang sama.
Quraish Shihab sempat kembali ke Indonesia, namun tidak lama, karena pada tahun 1980 M ia kembali lagi ke Universitas al-Azhar untuk menempuh program doctoral. Hanya dua tahun, 1982 M, waktu yang dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan srata tiga itu. Walaupun begitu, nilai akademiknya terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan tingkat I. Walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1984 M, ia kembali ke Indonesia dan mengajarkan ilmunya di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Di luar kampus, ia dipercaya menduduki beberapa jabatan penting, antara lain, Ketua MUI Pusat (sejak 1984 M), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989 M), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989 M), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VIII (1998 M).
Meski disibukkan dengan berbagai aktivitas akademik dan non-akademik, ia masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita, ia mengasuh rubric “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.[6]
Karena Muhammad Quraish Shihab dianggap sebagai peulis yang produktif, maka beliau menulis buku-buku yang telah beredar secara luas. Di antara karya beliau tersebut adalah sebagai berikut:
1)        Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1984)
2)        Filsafat Hukum Islam (1987)
3)        Mahkota Tuntutan Ilahi: Tafsir Surah al-Baqarah (1988)
4)        Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992) 
5)        Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994)
6)        Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994)
7)        Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat (1995)
8)        Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1997)
9)        Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997)
10)    Hidangan Ilahi: Ayat-Ayat Tahlil (1997)
11)    Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Mu’amalah (1999)
12)    Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-Qur’an (2000)[7]
b.   Sekilas Tentang Tafsir al-mishba<h
Tafsir al-Mishba<h adalah salah satu karya M. Quraish Shihab, yang mulai ditulis untuk pertama kalinya di Kairo Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’al-Awwal 1420 H/18 Juni 1999 M, selama kurang lebih 4 tahun hingga selesai pada hari Jum’at 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September 2003 di Jakarta. Tafsir al-Mishba<h merupakan karya ilmiah M. Quraish Shihab yang berawal dari anjuran teman-temannya saat berada di Mesir sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh. Meskipun awal penulisan tafsir ini di Mesir, akan tetapi tafsir ini lebh khusus ditujukan untuk masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari bahasa yang diguakan M. Quraish Shihab adalah bahasa Indonesia.   
Awalnya ia enggan untuk merealisasikan ide penulisan tafsir ini. Namun, iklim ilmiah yang sangat subur yang ia temukan di al-Azhar Mesir mendorongnya mewujudkan ide penulisan tafsir ini. Di samping itu, pendorong niat itu berasal surat pembaca dalam berbagai topik yang diterimannya, yang sungguh menggugah hati dan membulatkan tekadnya untuk menyusun Tafsir al-Mishba<h.[8]
Dari segi penamaannya, Tafsir al- Mishba<h berarti “lampu, pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya al-Qur’an. M. Quraish Shihab menciptakan al-Qur’an agar semakin “membumi” dan mudah dipahami.
Pada mulanya, tafsir ini ditulis secara sederhana, bahkan tidak lebih dari tiga volume, namun karena kenikmatan ruhani yang dirasakan oleh penulisnya bersama Al-Qur’an, membuat karya ini mencapai lima belas volume. Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan harapan dan kebutuhan pembacanya. Para pakar Al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan Al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan metode Maudu’I atau tematik. Metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Ia lahir setelah para pakar menyadari bahwa metode yang diterapkan sebelumnya sangat menyita waktu bahkan menghidangkan aneka informasi yang tidak selalu dibutuhkan oleh pembacanya. Karena banyaknya tema yang dikandung oleh kitab suci umat Islam itu, maka tentu saja pengenalan menyeluruh tidak mungkin terpenuhi, paling tidak, hanya pada tema-tema yang dibahas itu.[9]
Tafsir al-Mishba<h termasuk tafsir yang menggunakan metode analitis,[10] yang berbentuk tafsir bi al-ra’y, yakni metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang di tafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassirnya. Penerapan metode ini adalah dengan menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut  berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi Saw, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya.[11]
Corak yang ada dalam Tafsir al-Mishba<h adalah adabi ijtima’i. Hal ini sebagaimana yang telah diteliti oleh Mahbub Junaidi bahwa ketika menganalisis mufradat, M. Quraish Shihab tidak hanya menganalisis secara kebahasaan biasa. Analisisnya sangat mendetail, sehingga seolah membuat pembaca merasa menemukan makna baru yang belum dibaca sebelumnya.
Dalam menafsirkan, M. Quraish Shihab lebih dominan menggunakan rasio. Rasio di sini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, rasio yang lebih dekat dengan rasa (dzauq) kebahasaannya. Rasio ini digunakan ketika ia menganalisis makna dari kosakata tertentu dari suatu ayat. Ketika menganalisis makna kosa kata, seringkali ia sendiri yang memilih makna yang paling tepat. Artinya, dalam hal ini rasa (dzauq) kebahasaannya sangat berpengaruh dalam pemaknaan kosa kata tersebut. Meskipun pemilihan ini lebih berdasarkan dzauq-nya, ia tetap berusaha merasionalisasikan pilihannya tersebut.
 Kedua, rasio murni, yaitu rasio yang digunakan dalam berpendapat yang didasarkan pada logika. Bagi M. Quraish Shihab, menafsirkan al-Qur’an dengan rasio dibenarkan, asalkan bisa dipertanggungjawabkan.
Tafsir al-Mishba<h merupakan kitab tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan. Sedangkana corak penafsirannya menitik beratkan pada penjelasan al-Qur’an dalam ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dan ada upaya penonjolan fungsi turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.
Tafsir al-Mishba<h menghidangkan uraian dengan gaya dan penekanan yang berbeda, yakni tafsir ini barusaha menghidangkan bahasan setiap surat pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika mampu memperkenalkan tema-tema pokok itu, maka secara umum dapat memperkenalkan pula pesan utama setiap surat, dan dengan memperkenalkan ke 114 surat, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.[12]
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan penulisnya. Boleh jadi, kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya walau telah mengkaji terjemahnya. Maka, dengan menjelaskan tema pokok surat-surat al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat itu akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang.[13]
Untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an, seringkali memerlukan penyisipan-penyisipan kata atau kalimat, namun penyisipan-penyisipan  itu bukan merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an. Tafsir al-Mishba<h ini memiliki cara penulisan tafsir yang unik, seperti yang disebut, yakni memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan Italic Letter (tulisan miring), dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal. Di samping itu, dengan menampilkan penafsiran atau kesan-kesan tertentu untuk ayat-ayat tertentu, sama sekali bukan berarti memilah-milah al-Qur’an, yakni menganggap penting yang satu dan menganggap kurang penting yang lainnya, tetapi semata-mata karena yang demikian itulah kesan atau informasi dari curah pikir yang diperoleh M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishba<h ini juga bukan semata-mata sepenuhnya hasil ijtihad M. Quraish Shihab, namun disertai dengan pandangan-pandangan ulama terdahulu dan kontemporer yang banyak dinukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I, yang  karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis Tafsir al-Mishba<h ini, M. Quraish Shihab.[14]     
c.    Penafsiran M.Quraish Shihab Tentang QS. Ali-Imran Ayat 79
Pada bab ini, penulis akan membahas secara khusus pandangan M. Quraish Shihab tentang Konsep Rabbani dalam Pendidikan Islam. Yang mana Konsep Rabbani ini dalam al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat, namun penulis hanya mengambil salah satu dari ayat tersebut, yakni surat ali-Imran ayat 79, sebagai berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Di dalam ayat yang lalu sudah diterangkan kebohongan orang-orang Yahudi yang sengaja dilakukannya terhadap Allah yaitu menyatakan sesuatu dari Allah, padahal bukan dari pada-Nya. Kemudian di dalam ayat ini Allah menegaskan lagi tuduhan orang-orang Yahudi terhadap Nabi-Nabi, bahwa Nabi-Nabi menghendaki agar mereka disembah oleh manusia. Tuduhan ini dibantah dengan ayat ini.[15]
Setelah penjelasan tentang kebenaran yang disembunyikan oleh Bani Israil dan hal-hal yang barkaitan dengannya selesai diuraikan dalam ayat-ayat yang lalu, dan berakhir pada penegasan bahwa mereka tidak segan-segan berbohong terhadap Allah, dan ini juga berarti berbohong atas nama nabi dan rasul karena tidak ada informasi pasti dari Allah kecuali melalui mereka, maka di sini ditegaskan bahwa bagi seorang nabi pun hal tersebut tidak wajar. Bahwa yang di nafikan oleh ayat ini adalah penyembahan kepada selain Allah, sangat pada tempatnya. Oleh karena apapun yang disampaikan oleh nabi atas nama Allah adalah ibadah, baik dalam pengertian yang khusus, yakni ibadah murni, maupun dalam pengertian yang umum, yakni segala aktivitas yang dilakukan dengan motivasi mengikuti rasul dan mendekatkan diri kepada Allah. Tidak wajar dan tidak dapat tergambar dalam benak, betapapun keadaannya bagi seseorang manusia, siapa pun dia dan betapa pun tinggi kedudukannya, baik Muhammad saw. maupun Isa dan lain selain mereka, yang Allah berikan kapadanya Kitab dan hikmah yang digunakannya menetapkan putusan hokum. Hikmah adalah ilmu amaliyah dan amal ilmiyah, dan kenabian, yakni informasi yang diyakini bersumber dari Allah, yang disampaikan kepada orang-orang tertentu pilihan-Nya, yang mengandung ajakan untuk mengesakan-Nya. Tidak wajar bagi seseorang yang memperoleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Selanjutnya mereka juga tidak akan diam dalam mengajak mereka kepada kebaikan atau mencegah keburukan. Tidak! Tetapi dia akan mengajak dan terus mengajak, antara lain akan berkata: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, yang berpegang teguh, serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu terus menerus mempelajarinya.”
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa tidaklah pantas bagi seorang manusia yang telah diberikan Kitab, Hukum dan Kenabian, kemudian ia menyuruh manusia untuk menyembahnya. Tetapi hendaklah ia mengajak dan menyuruh mereka menjadi orang-orang yang rabbani serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi.
Kata rabbani terambil dari kata rab yang memiliki aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri, maka yang di maksud tidak lain kecuali Allah SWT. Kalau bermaksud menisbahkan sesuatu, maka biasanya kata itu di tambah dengan huruf ya’, seperti kata insan menjadi insani dan rab menjadi rabbani.[16]
Para pemuka Yahudi dan Nasrani yang di anugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, kesemuanya berjalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah SWT yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu. Dari penjelasan ini dapat diambil pemahaman bahwa seorang yang telah mencapai tingkat rabbani itu bisa dikatakan sebagai seorang murabbi.
Kata Tadrusu<n digunakan dalam arti meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam konteks teks -baik suci maupun selainnya- ia adalah membahas, mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Seorang rabbani harus terus menerus mengajar, itu karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Di sisi lain seorang rabbani bertugas terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firmam-firman Allah sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Untuk itu, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti dan membahas. Kemudian yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula, sehingga yang mengajar dan meneliti bertemu dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan terputusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang.[17]
Dilihat dari uraian diatas dapat dipahami bahwa konsep rabbani menurut M. Quraish Shihab, adalah seseorang yang memiliki konsep rabbani hendaknya terus menerus belajar, mengajar dan belajar lagi. Jadi bagi seorang pendidik, sudah seyogyanya selalu mengembangkan pengetahuannya, menambah wawasannya, kemudian mengajarkan apa yang telah diperolehnya kepada semua peserta didiknya dengan adil. 
Dalam ayat ini terdapat ungkapan ku<nu< rabba<niyyi<na bi<ma kuntum tu’allimu<na al-kita<b wa bi<ma kuntum tadrusu<n (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan ajakan atau dakwah nabi terdahulu terhadap umatnya agar mereka menjadi rabbani, yaitu orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah swt. dimana kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini artinya belajar dalam bentuk kesempuranaan iman dan takwa.[18]
Maka dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar, pertama konsep belajar seperti terlihat dalam istilah tadrusu<n. Dan kedua tujuan belajar dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”. Para nabi telah mengajar umatnya dan umat pun telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan para nabi tersebut. Maka umat diharapkan menjadi insan rabbani.[19]
Sudah seharusnya, setelah seseorang mencari ilmu, kemudian ia mengajarkannya pada orang lain. Karena, zakat ilmu yang diajarkan oleh Allah adalah mengajarkannya sehingga dengan demikian akan terbentuk komunitas yang rabbani.[20]
Ada ungkapan yang perlu diperhatikan dari ulama Salaf, “Sesungguhnya yang bisa disebut sebagai rabbani adalah seorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.”Diriwayatkan al-Masih a.s. berkata, “Barang siapa berilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya, ia adalah orang yang diagungkan di kerajaan langit”.[21]
Dijelaskan pula bahwa para Rabbaniyyun adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi demi mendekatkan diri kepada Allah, atau para cendekiawan, orang-orang bijaksana serta pemuka-pemuka masyarakat dan pendeta-pendeta yang paham seluk beluk agama. Mereka ini diperintahkan oleh Allah secara langsung kepada Nabi dan melalui para nabi kepada para umatnya agar memelihara kita Allah, yakni menegakkan hokum-hukum dan melaksanakan petunjuk-petunjuk yang dikandungnya dan juga karena mereka manjadi saksi-saksi bahwa kandungannya penuh kebenaran dan juga menjadi saksi-saksi dalam arti mereka member perhatian penuh dan tidak pernah lengah terhadap kandungan dan penerapan dan petunjukNya.[22]
Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan dapat simpulkan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang ajakan untuk belajar dan perintah untuk mengajarkan kembali ilmu yang telah didapatkannya. Dan jika di kaitkan dengan dunia pendidikan, disini dapat diambil kesimpulan bahwa seorang pendidik itu harus memiliki sifat rabbani, yakni dengan selalu mengembangkan pengetahuannya, harus selalu belajar dan belajar, selain dia belajar dia juga harus mengajarkannya pada orang lain, menjaga tingkah lakunya, karena seorang pendidik itu mempunyai tugas atau tanggungjawab menjadikan peserta didiknya menjadi insan yang rabbani.


d.   Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
Untuk mengetahui konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Mishbah karya M.Quraish Shihab perlu diketahui lebih dahulu pengertian dari Rabbani itu sendiri. Menurut M.Quraish Shihab Rabbani diartikan  pendidik atau pelindung. Dari pengertian itu dapat di jelaskan bahwa seorang pendidik itu memiliki konsep, yang mana konsepnya itu akan membantu dan menambah keberhasilan pendidik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
Menurut M.Quraish Shihab seorang Rabbani atau seorang pendidik itu harus selalu belajar dan belajar. Setelah belajar dia pun dituntut untuk mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain, khususnya pada semua peserta didiknya. Karena ilmu itu tidak ada batasnya. Walaupun seorang pendidik tadi sudah pandai tapi ia harus tetap belajar lagi, meneliti lagi dan mengkaji lagi ilmu-ilmu yang lain. Agar pengetahuan yang dimiliki seorang p seorang pendidik itu selalu baru, dan terus bertambah. Dalam  QS. Ali-Imran ayat 79 diatas dijelaskan  bahwa tidak ada seseorang yang diberi Allah al-Kitab, Hikmat ( pemahaman dan pengetahuan tentang Kitab dan rahasianya) serta Kenabian, yang menyuruh ummatnya untuk menyembah dirinya, menjadikan sebagai sembahan. Tapi para nabi itu menyuruh mereka untuk menjadi Rabbani, hal ini karena mereka telah mengajarkan Al-Kitab pada orang lain dan telah membaca serta mempelajarinya sendiri. Di dalam sebuah hadits Nabi disebutkan:
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدُ اللهَ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ وَإِنَّمَا العِلْمَ بِتَعَلُّمِ. وَقَالَ إِبْنُ عَبَّاسٍ: كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ. وَيُقَالُ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِيْ يُرَبَّى النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ. أخرجه ابن أبي عاصم (فتح الباري:  1 , (67
Artinya:”Nabi bersabda, siapa yang dikehendaki Allah pada kebaikan, Ia menjadikannya Faqih (faham), dan hanyalah ilmu itu (diperoleh) dengan belajar. Ibnu Abbas berkata, jadilah kamu orang Rabbani yang sabar murah hati dan yang faqih. Dan dikatakan Rabbani itu yang suka mendidik manusia mulai dari yang kecil lalu pada yang besar.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim. (Fath al-Bari : I, 67 ).

Secara konteks hadits di atas berkenaan dengan perintah menjadi Insan rabbani, Insan rabbani di sini ialah orang yang mendidik manusia, memberi santapan pada mereka dengan ilmu pengetahuan, mulai dari masalah yang kecil/mudah difahami kemudian berpindah kepada masalah yang besar yang sulit dipahami.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan Rabbani dalam Ali Imran 79, antara lain dimaksudkan, orang yang membaca, mempelajari Kitab dengan memahami isi dan kandungannya ( دراسة الكتاب ), kemudian mengamalkan, serta mengajarkannya kepada manusia ( تعليم الكتاب ) dengan metoda induktif / mulai dari yang kecil kemudian pada yang besar, selanjutnya Ia menjadi أهل التربيّة / مربّي pendidik.
Tersirat dalam ayat di atas, kita diperintah menjadi insan Rabbani, artinya diperintah untuk menyiapkan generasi pelanjut yang selalu belajar, haus ilmu pengetahuan, hingga Ia menjadi pengajar / معلّم yang selanjutnya menjadi pendidik / مربّي .
Menurut Indra Djati Sidi, dalam bahasa al-Qur’an, dimensi hidup ketuhanan ini juga disebut rabbaniyah atau ribbiyyah. Dan apabila dicoba merinci apa saja wujud nyata atau substansi jiwa ketuhanan itu, maka kita dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan pada jiwa sebagai penyempurna dari konsep rabbani yang telah disebutkan diatas, baik nilai iman, islam, ikhsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti kegiatan pendidikan.[23]
Diantara konsep rabbani itu yang paling mendasar yang harus dipegangi oleh pendidik adalah:
Pertama, Iman: merupakan dasar dalam pribadi seseorang serta sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup kita hanya percaya kepada adanya Tuhan, malainkan harus mneingkatkan menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya. Dengan sikap iman yang melekat dalam hati tidak akan menyekutukan-Nya terhadap sesuatu apapun.
Kedua, Islam: merupakan kelanjutan dari adanya iman yang melekat pada jiwa seseorang, maka setiap pasrah kepada-Nya (yang merupakan makna asal perkataan Arab “Islam”), dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang tidak mungkin diketahui seluruh wujudnya oleh kita yang dlaif. Sikap taat tidak abash (dan tidak diterima oleh Tuhan) kecuali bila berupa sikap pasrah (Islam) kepada-Nya. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam, seorang akan terpacu semangatnya untuk selalu mendapatkan perlindungan dan rahmat, dan menganggap bahwa islam adalah agama yang selalu mengajarkan kepada kebaikan dan rahmat bagi pengikutnya.       
Ketiga, Ihsan: kesadaran yang sedalam-sedalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita di manapun kita berada. Bertalian dengan hal ini, dan karena menginsafi bahwa Allah selalu mnegawasi kita, maka kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan segala sesuatu dengan sebaik mungkin dan penuh dengan tanggungjawab, tidak setengah-tengah dan tidak dengan sikap sekedarnya. Dengan adanya kehadiaran Allah dalam kehidupan, maka seseorang akan malu kalau tidak bisa mengembangkan potensi yang telah dimilikinya. 
Keempat, Taqwa: adalah sikap yang sadar penuh bahwa selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridlai oleh Allah, dengan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai-Nya. Sikap taqwa harus selalu dijaga dalam mengembangkan potensi dan dalam kondisi apapun sehingga akan mencapai derajat sebagai orang yang muttaqin.
Kelima, Ikhlas: adalah sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah, dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan kaya lahirnya, baik pribadi maupun social. Dengan sikap ikhlas pula, manusia tidak akn menganggap bahwa segala sesuatu itu harus diukur dengan materiil. Dengan dasar keikhlasan seseorang akan menerima segala apa adanya yang telah diberikan Allah swt.
Keenam, Tawakal: adalah sikap senantiasa bersandar kepada Allah swt setelah berusaha semaksmal mungkin (berikhtiar), kemudian meyerahkan segala sesuatu yang telah diperbuat dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik. Karena kita “mempercayai” atau “menaruh kepercayaan” kepada Allah swt, maka tawakal adalah suatu kemestian.
Ketujuh, Syukur: adalah sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa penghargaan kepada Allah. Karena itu sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap syukur kepada diri sendiri, karena manfaat besar kejiaan akan kembali kepada yang bersangkutan. Syukur merupakan cara yang terbaik dari ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Dengan ucapan syukur inilah, seseorang akan lebih mengetahui betapa kuasanya Allah serta batapa banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Kedelapan, Shabr (Sabar): adalah sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis, segala cobaan yang berasal dari Allah harus dianggap sebagai ujian dan rahasia Allah yang harus diterima dengan lapang dada serta mneganggap hal itu adalah yang terbaik yang diberikan-Nya. Karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah swt.[24]  
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut M. Quraish Shihab adalah sebagai seorang pendidik maka dia harus belajar dan terus belajar, setelah dia selesai belajar maka dia harus mengajarkannya kembali kepada orang lain. Artinya dia harus selalu menambah wawasan pengetahuannya.

B.  Kaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Mishba<h Karya M. Quraish Shihab dengan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Untuk mengetahui keterkaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dengan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam, maka perlu di ketahui terlebih dahulu bagaimana konsep Rabbani menurut M. Quraish Shihab dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh pendidik dalam pendidikan islam.
Menurut M. Quraish Shihab konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 diantaranya, Para pemuka Yahudi dan Nasrani yang di anugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, kesemuanya berjalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah SWT yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.
Seorang rabbani harus terus menerus mengajar, itu karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Di sisi lain seorang rabbani bertugas terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firmam-firman Allah sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Untuk itu, seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti dan membahas. Kemudian yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula, sehingga yang mengajar dan meneliti bertemu dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan terputusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang.[25]
Jika disini diartikan sebagai pendidik, maka seorang pendidik dituntut untuk terus menerus belajar dan setelah dia selesai belajar dia harus ,mengajarkannya pada orang lain, khususnya kepada peserta didiknya. Dalam hal ini berarti dia harus meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya. Hal ini sesuai dengan fungsi seorang pendidik, yakni fungsi pengajaran: artinya seorang pendidik berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.[26]
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan islam diantaranya: pertama, Setiap pendidik harus memiliki sifat Rabbani Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya. Setiap materi yang dipelajarinya senantiasa menjadi tanda penguat kebesaran Allah sehingga dia merasakan kebesaran itu dalam setiap lintasan sejarah, dalam sunnah alam semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam semesta. Kedua, Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhoan Allah serta mewujudkan kebenaran. Ketiga, Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Keempat, Ketika menyampaikan ilmunya kepada peserta didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Kelima, Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang pendidik harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan kepeda peserta didik, jika benar-benar dikuasai oleh seorang pendidik.  Keenam, Seorang pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. Artinya, dia tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini, dia harus menyikapi setiap peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rosulullah saw adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik.[27]
Dilihat dari penjelasan diatas, jelas bahwa ada keterkaitan antara konsep Rabbani dengan sifat-sifat pendidik dalam pendidikan islam. Hal ini dapat dilihat dari konsep Rabbani menurut M. Quraish Shihab disebutkan bahwa seorang pendidik harus terus belajar dan belajar, kemudian mengajarkan kembali pada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan salah satu sifat pendidik yakni, Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni.
                                            





[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 2, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 3.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 3-4.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 626.
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 236-238.
[7] Ibid., 238.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al- mishba<h: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 15, Cet. V (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 645.
[9] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vii.
[10] Nashrudin Bidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis terhadap Ayat-Ayat  yang Beredaksi Mirip, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68.
[11] Ibid., 68-69
[12] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I, ix.
[13] Ibid.
[14] Ibid., x-xii
[15] Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan , Jilid I (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 542.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2000),  125.
[17] Ibid., 126
[18] Kadar  M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan al-Qur’an Tentang Pendidikan Cet. I  (Jakarta: Amzah, 2013), 42.
[19] Ibid., 43.
[20] Yusuf  Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 264.
[21] Ibid., 265.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3 (Ciputat: Lentera Hati, 2001),  97-98.
[23] Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 79 dan pengembangannya dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam,” (Skripsi, IAIN Walisongo, Semarang, 2005), 28.
[24]Ibid., 28-30.
[25]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 126.
[26] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170.
[27] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170-175.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar