Senin, 02 November 2015

skripsi siang bab 4

BAB IV
KONSEP RABBANI DALAM QS. ALI-IMRAN AYAT 79
DI TAFSIR AL-AZHAR KARYA HAMKA DAN KAITANNYA DENGAN SIFAT PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.  Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka
1.    QS. Ali-Imran Ayat 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Surat Ali-Imran, dinamai demikian karena didalamnya dikemukakan secara rinci kisah keluarga Imran, yaitu Isa, Yahya, Maryam dan ibu beliau. Sedang Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, Maryam as.[1]
Surat ini terdiri dari 200 ayat. Sekitar 80 ayat pertama berkaitan dengan kedatangan serombongan pendeta Kristen dari Najran (sebuah lembah di perbatasan Yaman dan Saudi Arabia) pada tahun IX H. mereka berdiskusi dengan Nabi di Masjid Madinah menyangkut Isa as. dalam kaitannya dengan keesaan Tuhan. Walaupun telah berlangsung beberapa hari, diskusi tidak mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Nabi Muhammad saw. mengajak mereka ber-“muhabalah” sebagaimana akan terbaca nanti.[2]
Dalam kesempatan kehadiran para pendeta itu ke Masjid Nabi di Madinah, mereka melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran agama Kristen yang mereka anut di dalam masjid. Nabi saw. yang melihat hal tersebut membiarkan mereka. Demikian diuraikan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, dan dikutip oleh Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Pemimpin Tertinggi al-Azhar, juga dalam tafsirnya.[3]
Nama surat ini banyak, antara lain surat al-Aman, al-Kanz, Thibah, tetapi yang populer adalah Ali-Imran. Tujuan utama surat Ali-Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang Tauhid keesaan Allah swt. dan penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak, yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur Allah Yang Maha Hidup dan Qayyum (Maha Mengetahui dan Mengelola segala sesuatu), sebagaimana terlihat dari peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Ali-Imran (keluarga Imran). Sebentar lagi surat ini akan menghidangkan kisah Maryam, Isa, Zakaria, dan lain-lain, yang melalui merekalah Allah swt menunjukkan keesaan kekuasaan, dan penguasaan-Nya atas alam raya, serta terlihat pula bagaimana keluarga itu-ayah, ibu dan anak, atau suami dan istri-tunduk patuh dan percaya kepada Allah Yang Maha Esa.
Tujuan ini sungguh pada tempatnya, karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan al-Baqarah menjelaskan secara rinci tuntunan-tuntunan agama. Kemudian surat Ali-Imran datang menekankansesuatu yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni Tauhid. Tanpa kehadiran Tauhid, maka pengamalan tuntunan lainnya tiada bernilai di sisi-Nya.[4]
2.    Asbab al-Nuzul
Diriwayatkan, bahwa ketika ulama-ulama Yahudi dan ulama-ulama Nasrani dari Najran berkumpul bersama di sisi Rasulullah, dan Rasulullah meminta mereka masuk Islam, Abu Rafi al-Quradi berkata: “Apakah engkau ingin agar kami menyembahmu sebagaimana kaum Nasrani menyembah Isa?”
Seorang Nasrani kemudian menimpali bertanya: “Apakah yang engkau mau, hai Muhammad?”
Jawab Rasulullah: “Saya berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah, atau menyuruh beribadah kepada selain Allah. Bukan untuk itu aku diutus oleh Allah, dan bukan untuk itu pula aku diperintah oleh Allah.” Berkaitan dengan peristiwa ini, maka turunlah ayat ini.
Diriwayatkan pula oleh Abdur Razaq dari Hasan: Ada berita yang sampai kepadaku bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasul: “Ya Muhammad, kami memberikan salam kepadamu seperti kami memberi salam kepada sesame kami, apakah tidak lebih baik kami bersujud kepadamu?”
Jawab Nabi: “Tidak, akan tetapi, muliakanlah Nabimu, dan penuhilah hak untuk yang mempunyai hak itu, karena tidak patut bersujud kepada selain Allah.” Dan berkenaan itu turunlah ayat ini.[5]
3.    Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka
a.    Biografi Hamka
Buya Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatra Barat pada 1908 M. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun ia lebih akrab dipanggil Hamka, yang merupakan singkatan dari namanya sendiri. Sebutan buya di depan namanya tak lain merupakan panggilan buat orang Minangkabau yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat dihormati. Sebutan buya merupakan saduran dari bahasa Arab, abi atau abuya.[6]
Ayahnya bernama Abdul Karim bin Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor Gerakan Islam (Reformasi) di Minangkabau sekembalinya dari Mekah pada 1906 M. Sementara ibunya bernama Siti Syafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui bahwa dia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Dia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut system matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana ibunya. Dia lahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara.
Hamka mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Darjah Dua (kelas dua). Ketika ayahnya medirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Hamka yang baru berusia 10 tahun segera pindah ke lembaga tersebut. Di situ, ia mempelajari bahasa Arab. Ia juga mendaras ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang disuh sejumlah ulama terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh Ahmad Rasyid, dan Syekh Ibrahim Musa.[7]
Hamka memulai pengabdian terhadap ilmu pnegetahuan dengan menjadi guru agama pada 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Selang dua tahun kemudian, 1929 M, ia juga menekuni profesi serupa di Padang Panjang. Karena karir intelektualnya yang cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M, ia dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rector juga pernah dikecapnya pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta.[8]
Hamka adalah sosok yang brilian. Kesuksesannya menuntut dan merangkul sekian banyak ilmu tak semata mengandalkan pendidikan formal. Ia malah sering belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik islam maupun barat, secara otodidak.
Dengan kecakapannya dalam berbahasa Arab, Hamka menelaah karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti, Mustafa al-Manfaluti, Abbas al-Aqqad, Husain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Mubarak. Karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman semisal Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti juga tak luput dari penelaahannya.[9]
Di jalur organisasi social kemasyarakatan, Hamka aktif di Muhammadiyah. Bahkan, ia turut membidani deklarasi berdirinya Muhammadiyah pada 1925 M. Karirnya pun cemerlang. Mulai 1928 M, ia menjadi ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Lalu, dua tahun kemudian menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Pada 1946 M, ia didaulat sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Jabatan Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah disandangnya pada 1953 M.[10]
Di jalur pilitik, ia terdaftar sebagai anggota Sarekat Islam pada 1925 M. Pada 1947 M, ia dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional sekaligus anggota Konstituante Masyumi. Namun ketika Masyumi dihapuskan oleh pemerintahan Soekarno pada 1960 M, ia dipenjara karena dituduh pro-Malaysia.[11]
Hamka memang sosok yang kaya dengan ilmu pengetahuan. Kiprahnya di dunia politik ternyata berbanding lurus dengan sepak terjang pengembangan ilmu pengetahuannya. Selain aktif di jalur keagamaan dan politik, ia juga menerjunkan diri sebagai seorang wartawan, penulis, dan editor. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Di tahun 1932 M, ia bergulat dengan dunia penyuntingan dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Ia pernah juga menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat,dan Gema Islam. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang, Pendiri sekolah  Tabligh School, yang  kemudian  diganti namanya menjadi Kulliyyatul Muballighin  (1934-1935). Pembicara konggres Muhammadiyah ke 19 di Bukittinggi (1930) dan konggres Muhammadiyah ke 20 (1931). Menjabat anggota  Syu Sangi Kai  atau Dewan Perwakilan Rakyat pada pemerintahan Jepang (1944). Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ.
Dengan bekal ketrampilan tulis-menulis, Hamka mampu menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Bawah Lindungan Ka’bah, Kenang-Kenangan Hidup, Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya, Khatib al-Ummah, Islam dan Adat, Kepentingan Melakoekan Tabligh, Bohong di Doenia, Agama dan Perempuan, Pedoman Moebaligh Islam, Hikmat Isra’ Mi’raj, Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revoloesi Fikiran, Dibandingkan Ombak Masjarakat, Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman, Revoloesi Agama, Sesoedah Naskah Renville, Falsafah Hidoep, Falsafah Ideologi Islam, Pelajaran Agama Islam, K.H.A. Dahlan, Perkembangan Tasawoef dari Abad ke Abad, Pandangan Hidup Muslim  dan Merantau ke Deli merupakan buah penanya di dunia sastra, dan masih banyak lagi karyanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Untuk bidang agama (tafsir), Tafsir al-Azhar merupakan karya yang mengharumkan namanya di jagat intelektual Islam Indonesia. Lebih terasa dramatis lagi ketika ia menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar ditulisnya di balik jeruji penjara.
Atas jasa dan pengabdiannya dalam dunia keilmuan, Hamka dikaruniai gelar kehormatan doctor honoris causa dari Universitas al-Azhar pada 1958 M, doctor honoris causa juga diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno juga diterimanya dari pemerintah Indonesia. Ia meninggal dunia pada 24 Juli 1981 M di Jakarta.[12]
b.   Sekilas Tentang Tafsir al-Azhar
Tiap-tiap tafsir al-Qur’an memberikan corak haluan daripada pribadi penafsirnya. Maka itu, dalam Tafsir al-Azhar ini akan dapatlah dibaca haluan penafsirnya.[13]
Tafsir al-Azhar diakui banyak kalangan sebagai karya monumental Hamka. Di dalamnya ia mencoba menghubungkan sejarah islam modern dengan studi al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional. Titik tekannya adalah menguak ajaran al-Qur’an dan menyesuaikannya dengan konteksnya dalam ranah keislaman.[14]
Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzab Salaf, yaitu Madzab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal akidah dan ibadah, semata-mata taslim artinya menyerah dengan tidak banyak Tanya lagi. Tetapi tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti, dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang. Meskipun penyimpangan yang jauh itu, bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mngeluarkan pendapat itu.[15]
Ketika menyusun tafsir ini, terbayanglah corak ragam dari murud-murid dan anggota jama’ah yang makmum dibelakangnya sebagai imam. Ada mahasiswa-mahasiswa yang tengah berstudi dan terdidik dalam keluarga islam. Ada sarjana-sarjana yang bertitel S.H., Insinyur, Dokter, dan Profesor. Ada pula perwira-perwira tinggi yang berpangkat Jendral dan Laksamana dan ada juga anak buah mereka yang masih berpangkat Letnan, Kapten, Mayor, dan para bawahan. Dan ada pula saudagar-saudagar besar, agen auto mobil dengan relasinya yang luas, importer dan eksportir kawakan disamping saudagar perantara. Dan ada juga pelayan-pelayan dan tukang, tukang pemeihara kebun dan pegawai negeri, disamping istri mereka masing-masing. Semuanya bersatu membentuk masyarakat yang beriman, dipadukan oleh jama’ah shalat Subuh, kasih-mengasihi, hormat-menghormati dan harga menghargai. Bersatu di dalam shaf  yang teratur, menghadapkan muka bersama, dengan khusyu’ kepada Ilahi.
Maka, seketika menyusun tafsir ini, wajah-wajah mereka itulah yang terbayang, sehingga penafsiran tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya semata-mata sesame ulama. Dan tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan. Sebab segala yang ita sebutkan di atas tadi, sebagai corak jama’ah sejati Islam, meskipun berbeda kedudukan, namun yang paling mulia diantara mereka ialah barang siapa yang paling takwa kepada Allah. Ketika penulis tafsir ini sunyi sepi seorang diri, baik dalam tahanan di Sukabumi, atau di Bungalow “Herlina” dan “Harjuna” di Puncak atau di Mess Brimob di Mega Mendung, atau sedang dirawat sambil ditahan di Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta Timur, wajah jama’ah tercinta itulah yang terbayang seketika menggoreskan pena di atas kertas.[16]
Karakteristik yang tampak dari Tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan Tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh) yang dapat dengan begitu kentalnya warna  setting  sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.
Di dalam hal yang mengenai pengetahuan umum, kerap kali penafsir meminta bantuan kepada ahlinya. Seketika mengupas soal-soal ilmu falak, pernah penafsir meminta bantuan ahli falak yang terkenal, putra dari ahli falak terkenal pula, yaitu saudara Sa’aduddin Jambek. Demikian pula dalam hal yang lain, penulis meminta bantuan ahlinya.[17]
Riwayat penafsir yang lemah pun kalau perlu kita salin juga, bukan untuk mempercayainya, melainkan untuk mnegujinya dengan akal. Dan apabila dibaca dengan seksama, akan bertemulah beberapa pendapat dari ulama-ulama Islam Indonesia sendiri, yang tidak terdapat dalam negeri Islam yang lain.
Berikut ini secara ringkas langkah-langkah taktis penafsiran yang terdapat dalam Tafsir al-Azhar: menuliskan teks al-Qur’an dengan lengkap, menerjemahkannya, kemudian member catatan penjelasan. Biasanya, ia menyajikan bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat-satu sampai lima ayat-dengan terjemahan bahasa iandonesia, kemudian menjelaskannya panjang lebar, bisa sampai 15  halaman. Karena itulah, Tafsir al-Azhar lumayan tebal, terdiri dari 15 jilid.[18]
c.    Penafsiran Hamka Tentang QS. Ali-Imran Ayat 79
Pada bab ini, penulis akan membahas secara khusus pandangan DR. Hamka tentang Konsep Rabbani dalam Pendidikan Islam.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS.3:79)

Di dalam ayat ini Rasul disuruh menyampaikan kepada manusia hakikat kesetiaan Nabi-Nabi, baik dari beliau sendiri, ataupun Nabi-Nabi yang dahulu daripadanya, termasuk Nabi Isa Almasih sendiri. Bahwasannya setelah mereka menerima tiga kemuliaan dari Tuhan, yaitu diturunkan kepada mereka kitab, dan diberi pula hokum untuk membedakan benar dan salah, adil atau tidak adil, dan dilengkapi semuanya itu dengan nubuwwat, lalu dia berlaku curang kepada amanat yang diturunkan Allah kepadanya itu. Sesudah dia berpengaruh diajarkannya pada manusia ajaran-ajaran yang bukan lagi menyembah Allah. Dibujuknya manusia supaya jangan menyembah berhala, tetapi lama-lama disuruhnya manusia itu menjadi hamba dari dirinya sendiri. Dalam ayat ini Nabi Muhammad saw. mengatakan yang demikian itu tidaklah pantas bagi seorang Rasul, bahkan pantang bagi seorang Rasul, sebab itu adalah penghianatan kepada tugas.
Ujung ayat ini menjelaskan lagi bahwa Nabi-Nabi hanya mengajak agar manusia berhubungan langsung dengan Allah. Nabi hanya sebagai penunjuk jalan, mengajarkan bagaimana cara manusia mendekati Allah dengan melakukan dzikir, sembahyang dan ibadat lain yang diajarkan oleh Allah sendiri dengan perantara Rasul itu. Nabi tidak menyuruh supaya pengikutnya itu menjadi budak-budak penyembah Nabi, teteapi menuntun agar manusia itu sendiri menjadi keluarga yang sangat dekat kepada Tuhan. Orang yang telah sangat dekat kepada Tuhan itu di dalam ayat ini disebut orang Rabbani. Yang di dalam ayat kita artikan “Orang-Orang ketuhanan”. Kalimat Rabbani ini berpokok dari rabb, yang berarati Tuhan Rabbul’Alamin, artinya Tuhan sarwa sekalian alam. Seperti kata Rohani berasal dari Roh, huruf Ya’ yang di belakang Ya nisbah: Ya’ yang membangsakan. Maka Rabbani artinya ialah orang yang dibangsakan dengan Tuhan.
Dan di dalam ayat ini pula ditegaskan bagaimana manusia dapat mencapai tingkat Rabbani itu: yaitu mana-mana orang yang telah mempelajarinya dan telah pandai, hendaklah ia mengajarkannya pula kepada orang lain, dan yang kedua hendaklah ia selalu mengkajinya atau mempelajarinya pula, mentelaah dan membahas, sampai dia kenal betul akan maksud Tuhan.
Artinya apa yang telah dapat diajarkan pada orang lain maka diajarkan pula pada orang lain. Dan mana yang belum dapat diajarkan pada orang lain, maka harus dipelajari dan dikaji pula. Agar dari hari ke hari martabat insane pengikut Rasul itu akan bartambah dekat kepada Tuhan, dan bertambah pula menjadi insane Rabbani.  
Lantaran itu, tidak ada seorang manusia yang menjadi Nabi, meraih dan membawa pengikutnya supaya menjadi hamba Tuhan, dan lama-lama lanjut menjadi orang ketuhanan, orang Rabbani. Mana yang belum dapat dipelajari maka pelajari terus, dan tuntun pula murid-murid supaya dia menjadi Rabbani pula. Hendaklah seorang Rabbani menjadi pencontoh Nabi pula, mengajak orang lain mendekati Allah, bukan memuji dirinya sendiri. Dari penjelasan ini dapat diambil pemahaman bahwa seorang yang sudah mencapai tingkat Rabbani itu bisa dikatakan sebagai seorang murabbi.    
Sebab itu, maka Ibnu Abbas menafsirkan Rabbani ialah orang-orang yang jadi Ulama dan Hukama, berpengetahuan lagi berfilsafat. Katanya pula dalam tafsir yang lain, Rabbani ialah Ulama dan Fuqaha, yaitu orang yang berpengetahuan dan mendalam fahamnya. Sebab itu maka orang Rabbani itu selama hidupnya ialah belajar dan mengajar, mengajar dan belajar lagi, sampai dia tahu rahasia mengapa diperintahkan. Sehingga boleh dikatakan bahwa perasaannya telah mendekati perasaan Allah.
Menurut Hamka, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi-Nabi hanya mengajak agar manusia berhubungan langsung kepada Allah. Nabi hanya sebagai petunjuk jalan, mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan dzikir, sembahyang dan ibadah lain yang diajarkan sendiri melalui Rasul itu,. Nabi tidak menyuruh su
paya pengikutnya menjadi budak-budak penyembah Nabi tetapi agar manusia itu menjdi keluarga yang sangat dekat dengan Tuhan. Orang yang sangat dekat dengan Tuhan itu disebut Rabbani.
Pendapat ini lebih menekankan agar manusia Rabbani menjadi teladan dalam hal ibadah yang berkaitan dengan Allah sebagai Tuhannya, baik itu yang dilakukan secara berjama’ah maupun secara individu. Kemudian disebutkan juga bahwa seorang Rabbani itu harus belajar dan mengajar, mengajar dan belajar lagi. Jika hal ini di kaitkan dengan dunia pendidikan, maka seorang pendidik itu haruslah tetap belajar, mengembangkan pengetahuannya, menambah wawasan pengetahuannya, dan juga harus mengajarkan ilmu yang telah didapatkan kepada peserta didiknya. Selain itu seorang pendidik juga harus menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya, harus bisa menjadi contoh dalam setiap tindakannya, entah itu dalam hal beribadah, atau dalam kehidupan sehari-hari.
d.   Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka
Untuk mengetahui konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Azhar karya Hamka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari Rabbani. Menurut Hamka Rabbani diartikan “Orang-Orang Ketuhanan”. Jika dilihat dari pengertian ini maka orang yang Rabbani itu sudah pasti selalu dekat dengan Allah.
Dapat dipahami bahwa seorang yang mengetahui dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an akan menjadi manusia yang Rabbani (dipancari sinar ketuhanan) dalam kehidupannya, sehingga orang tersebut akan selalu mempunyai sifat yang luhur sehingga akan menjadikan contoh bagi lingkungan disekitarnya dan bagi umat islam pada umumnya. Orang yang mempunyai sifat luhur tanpa dilandasi dengan nilai-nilai Rabbani tentunya tidak akn memperoleh keridlaan. Begitu pula orang yang dipancari dengan sinar ketuhanan dituntut untuk selalu mengembangkan sifat-sifat yang luhur yang ada dalam dirinya sesuai dengan tuntutan zaman, terutama yang berkaitan dengan moral, tatakrama, adab, dan sifat-sifat seseorang, sehingga orang tersebut akan menjadi uswah/teladan karena mendapat tuntutan untuk selalu berpegang teguh sesuai tuntutan Allah swt.
Nabi juga tidak menyuruh manusia menjadikan Malaikat sebagai Tuhan. Nabi tidak mungkin menyuruh manusia berbuat kufur sesudah mereka menyerahkan diri kepada Allah dan menerima ketuhanan-Nya. Dia datang untuk  menunjukkan mereka agama Allah, bukan untuk menyesatkan mereka,  dan untuk membimbing mereka kepada Islam, bukan kepada kekafiran.
Dalam firman Allah disebutkan:
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Artinya: “Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.(QS.3:146)”

Ayat ini menjelaskan kaum mukminin yang turut berperang dalam perang Uhud. Dalam hal ini terkandung pengertian  penyaringan  terhadap orang-orang yang benar- benar mencintai kebenaran. Sebab benturan-benturan yang keras itu merupakan ujian yang berat bagi akhlak, di dalamnya terdapat petunjuk bimbingan dan hiburan bagi kaum muslimin, agar mereka tumbuh berdasarkan sifat-sifat yang bisa mengantarkan diri mereka kepada keberhasilan  dan kemenangan dalam segala pekerjaan mereka.
Dalam ayat tersebut juga menceritakan para Nabi terdahulu melakukan peperangan. Mereka mempunyai kenyakinan, bahwa para Nabi adalah memberi petunjuk dan pendidik, bukan tuhan yang disembah. Para pengikut Nabi-nabi itu, sedikitpun tidak patah semangat tatkala  sebagaian mereka  terluka atau gugur  dalam peperangan, meskipun yang gugur itu adalah Nabi Mereka. Mereka telah telah mengerti, bahwa Nabi tidak lain  hanya sebagai utusan Allah swt. di samping memberi petunjuk  kepada umatnya.
Dari ayat tersebut jelas bahwa pendidik harus selalu mengembangkan tingkah laku dan kepribadian yang ada di dalam dirinya walaupun besar cobaannya. Sebagaimana Nabi telah berperang melawan orang-orang kafir dalam menegakkan kalimat Allah swt. dengan penuh kesabaran meskipun berat cobaannya. Pendidik  harus mengambil teladan dari peran ribbiyyun dan bersabar seperti kesabaran  seperti yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Oleh sebab itu pendidik dituntut untuk  mengetahui lebih dulu akibat baik yang pernah dialami umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw. Kemudian pendidik meniru sepak terjang orang-orang shiddiqien dan orang-orang yang bersabar dari kalangan mereka. Dengan demikian seorang pendidik akan menjadi contoh bagi peserta didiknya dalam hal sifat-sifatnya, dengan demikian pendidik selalu dituntut untuk selalu konsisten dalam segala hal yang berkaitan dengan moral, akhlak dan sifat.
Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka pendidik dituntut agar memiliki kamampuan yang memadai dalam melaksanakan  tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, baik yang menyangkut kemampuan membimbing maupun melatih peserta didik. Dengan kemampuan itu  pendidik membantu peserta didik secara lebih baik dalam mengembangkan aspek intelektual, emosional, sosial maupun moral spiritual.
Perlu disadari juga, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya semua hal yang peserta didik lihat, dengar dan rasakan merupakan pendidikan, maka pendidik harus berusaha memberikan pendidikan yang benar dan maksimal, baik dari tingkah laku, perkataan dan moral-spiritualnya. Karena tanpa disadari para peserta didik akan melihat serta mencontoh semua yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya khususnya pendidik atau guru. Pendidik atau guru dalam mengajarkan ilmu di dalam kelas misalnya, akan dilihat oleh semua peserta didik dari semua aspek, baik tingkah laku, sifat, sikap, maupun perkataannya.
Al-Ghozali dalam Mahmud, menurut pandangan pendidikannya, kedudukan pendidik atau guru sangat penting dalam mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada proses pengajaran tanpa adanya pendidik atau guru.  Beliau juga menekankan betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar.[19]
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami tiga unsur pokok dalam proses pendidikan, yaitu:  pertama,  menjaga kelestarian umat harus ada orang yang berilmu (pendidik), kedua, tidak ada artinya seorang pendidik tanpa mengajarkan ilmunya dan  ketiga, mengajar akan berarti bila dilandasi dengan hati yang ikhlas. Ikhlas menurut Ghozali suatu yang menyangkut nilai yaitu nilai Islam. Jadi, semua ilmu yang diajarkan guru harus mengandung nilai Islam dan nilai Islam tersebut harus dibentuk dan ditransfer oleh pendidik atau guru.
Nilai-nilai Islam yang diajarkan pendidik atau guru kepada peserta didik setidaknya berpedoman kepada al-Qur’an. Pendidik atau guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan al-Qur’an yang meliputi agama, sosial, serta sains dan teknologi. Dengan itu peserta didik mampu mengintegrasikan permasalahan kontemporer dengan al-Qur’an, baik masalah keagamaan, sosial, sains dan teknologi.
Dalam pandangan Islam, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya sekedar pengajaran atau suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya, melainkan pengajaran  yang berorientasi pada pembentukan spesialis peserta didik.[20] Oleh karena itu pendidik sebagai Pembina generasi muda harus senantiasa menampilkan sosok pribadi yang patut diteladani. Sebagai figur yang diteladani dengan kepribadiannya, maka seorang pendidik harus menjaga wibawa dan citranya di masyarakat dengan senantiasa didasari oleh ketaatan dan keteguhan terhadap norma-norma susila, moral, sosial dan agama, sehingga mampu mengembangkan dan membentuk kepribadian peserta didik dengan kualitas kepribadian yang tinggi.
Seorang pendidik bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas. Lebih dari itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlaq mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya serta menerima tanggung jawab profesinya sebagai amanat yang diberikan Allah kepadanya dan harus dilaksanakan dengan baik. Di samping memiliki keluasan ilmu pengetahuan, seorang pendidik dituntut memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan, ikhlas dan tidak pamrih, jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku berprinsip kuat dan disiplin.[21]
Pendidik yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat menjadi sosok pribadi yang memiliki sejumlah atribut kepribadian yang dapat menempatkannya sebagai panutan, teladan serta orang yang mempengaruhi secara positif terhadap anak didiknya. Sifat dan pribadinya harus mencerminkan pribadi yang luhur, sebagaimana halnya Rasulullah saw yang mampu menunjukkan dengan sempurna bahwa al-Qur’an sebagai jiwa dan akhlak beliau.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut Hamka yakni seorang pendidik itu harus selalu belajar dan belajar, setelah selesai belajar maka ia harus mengajarkan ilmunya pada orang lain. Selain itu seorang pendidik juga harus mencontoh para Nabi, artinya dalam segala tindakannya ia harus menjadikan Nabi sebagai tauladan, agar ia pun juga menjadi contoh atau teladan bagi peserta didiknya.

B.  Kaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka dengan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Untuk mengetahui keterkaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka dengan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam, maka perlu di ketahui terlebih dahulu bagaimana konsep Rabbani menurut DR. Hamka dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh pendidik dalam pendidikan islam.
Menurut Hamka konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 diantaranya, Rabbani itu sendiri diartikan sebagai Orang-Orang ketuhanan atau orang-orang yang sangat dekat dengan Tuhan, ditegaskan pula bagaimana manusia dapat mencapai tingkat Rabbani itu: yaitu mana-mana orang yang telah mempelajarinya dan telah pandai, hendaklah ia mengajarkannya pula kepada orang lain, dan yang kedua hendaklah ia selalu mengkajinya atau mempelajarinya pula, mentelaah dan membahas, sampai dia kenal betul akan maksud Tuhan.
Artinya apa yang telah dapat diajarkan pada orang lain maka diajarkan pula pada orang lain. Dan mana yang belum dapat diajarkan pada orang lain, maka harus dipelajari dan dikaji pula. Agar dari hari ke hari martabat insan pengikut Rasul itu akan bertambah dekat kepada Tuhan, dan bertambah pula menjadi insan Rabbani. Seorang Rabbani hendahnya menjadi pencontoh Nabi pula, mengajak orang lain mendekati Allah, bukan memuji dirinya sendiri.
Ibnu Abbas menafsirkan Rabbani ialah orang-orang yang jadi Ulama dan Hukama, berpengetahuan lagi berfilsafat. Katanya pula dalam tafsir yang lain, Rabbani ialah Ulama dan Fuqaha, yaitu orang yang berpengetahuan dan mendalam fahamnya. Sebab itu maka orang Rabbani itu selama hidupnya ialah belajar dan mengajar, mengajar dan belajar lagi, sampai dia tahu rahasia mengapa diperintahkan. Sehingga boleh dikatakan bahwa perasaannya telah mendekati perasaan Allah.   
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut Hamka, Jika disini diartikan sebagai pendidik, maka seorang pendidik harus belajar dan apabila sudah pandai maka dia harus mengajarkan ilmunya pada orang lain, agar seorang pendidik bisa mencapai tingkat Rabbani. Belajar dan lagi-lagi belajar, mengembangkan ilmu pengetahuannya, kemudian dia juga harus mencontoh Nabi pula. Baik dalam hal mengajar ataupun dalam sifat dan tingkah lakunya. Agar dia pun juga bisa menjadi contoh atau tauladan bagi semua peserta didiknya.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan islam diantaranya: pertama, Setiap pendidik harus memiliki sifat Rabbani Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya. Setiap materi yang dipelajarinya senantiasa menjadi tanda penguat kebesaran Allah sehingga dia merasakan kebesaran itu dalam setiap lintasan sejarah, dalam sunnah alam semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam semesta. Kedua, Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhoan Allah serta mewujudkan kebenaran. Ketiga, Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Keempat, Ketika menyampaikan ilmunyakepada peserta didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Kelima, Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan kepeda peserta didik, jika benar-benar dikuasai oleh seorang pendidik.  Keenam, Seorang pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. Artinya, dia tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini, dia harus menyikapi setiap peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rosulullah saw adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik. Disini dikatakan bahwa Rasulullah adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik. Jadi jelaslah bahwa selain belajar dan mengajar seorang pendidik harus jadi pencontoh para Nabi, agar seorang pendidik bisa menjadikan generasi-generasi Rabbani seperti yang dicita-citakan.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa antara konsep Rabbani menurut Hamka dengan sifat-sifat pendidik dalam pendidikan islam memiliki keterkaitan yaitu dapat dilihat dari konsep Rabbani menurut Hamka disebutkan bahwa seorang pendidik harus terus belajar dan belajar, kemudian mengajarkan kembali pada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan salah satu sifat pendidik yakni, Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Selain itu Hamka juga menyebutkan bahwa seorang pendidik juga harus menjadi pencontoh para Nabi, agar seorang pendidik juga bisa jadi contoh atau tauladan bagi peserta didiknya. 

 





[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 2, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 3.
[2] Ibid.,
[3] Ibid.
[4] Ibid., 3-4.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 626.
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 209.
[7] Ibid.
[8] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 210.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 211.
[12] Ibid., 212.
[13] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I (Jakarta: PT PUSTAKA PANJIMAS, 1982), 53.
[14] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 212.
[15] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I, 54.        
[16] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I, 55-56.
[17] Ibid.
[18]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 212.
[19] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam  (Bandung : Pustaka Setia, 2011), 246.
[20] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,  3.
[21] Samsul Nizar,  Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar