BAB IV
KONSEP RABBANI
DALAM QS. ALI-IMRAN AYAT 79
DI TAFSIR AL-AZHAR
KARYA HAMKA DAN KAITANNYA DENGAN SIFAT PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di
Tafsir al-Azhar Karya Hamka
1. QS. Ali-Imran Ayat 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ
اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ
عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah".
Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani ,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya.” (QS.3:79)
Surat Ali-Imran,
dinamai demikian karena didalamnya dikemukakan secara rinci kisah keluarga
Imran, yaitu Isa, Yahya, Maryam dan ibu beliau. Sedang Imran adalah ayah dari
ibu Nabi Isa, Maryam as.[1]
Surat ini terdiri dari 200 ayat. Sekitar 80 ayat
pertama berkaitan dengan kedatangan serombongan pendeta Kristen dari Najran
(sebuah lembah di perbatasan Yaman dan Saudi Arabia) pada tahun IX H. mereka
berdiskusi dengan Nabi di Masjid Madinah menyangkut Isa as. dalam kaitannya
dengan keesaan Tuhan. Walaupun telah berlangsung beberapa hari, diskusi tidak
mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Nabi Muhammad saw. mengajak mereka
ber-“muhabalah” sebagaimana akan terbaca nanti.[2]
Dalam kesempatan kehadiran para pendeta itu ke
Masjid Nabi di Madinah, mereka melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran agama
Kristen yang mereka anut di dalam masjid. Nabi saw. yang melihat hal tersebut
membiarkan mereka. Demikian diuraikan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, dan
dikutip oleh Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Pemimpin Tertinggi al-Azhar,
juga dalam tafsirnya.[3]
Nama surat ini banyak, antara lain surat al-Aman, al-Kanz, Thibah, tetapi yang
populer adalah Ali-Imran. Tujuan
utama surat Ali-Imran (keluarga
Imran) adalah pembuktian tentang Tauhid keesaan Allah swt. dan penegasan bahwa
dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak, yang terlepas dari nilai-nilai
Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Hukum-hukum alam yang
melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur Allah Yang
Maha Hidup dan Qayyum (Maha
Mengetahui dan Mengelola segala sesuatu), sebagaimana terlihat dari
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Ali-Imran
(keluarga Imran). Sebentar lagi surat ini akan menghidangkan kisah Maryam, Isa,
Zakaria, dan lain-lain, yang melalui merekalah Allah swt menunjukkan keesaan
kekuasaan, dan penguasaan-Nya atas alam raya, serta terlihat pula bagaimana
keluarga itu-ayah, ibu dan anak, atau suami dan istri-tunduk patuh dan percaya kepada
Allah Yang Maha Esa.
Tujuan ini sungguh pada tempatnya, karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama
merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan al-Baqarah menjelaskan secara rinci tuntunan-tuntunan agama.
Kemudian surat Ali-Imran datang menekankansesuatu
yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni Tauhid. Tanpa
kehadiran Tauhid, maka pengamalan tuntunan lainnya tiada bernilai di sisi-Nya.[4]
2. Asbab al-Nuzul
Diriwayatkan, bahwa ketika ulama-ulama Yahudi dan
ulama-ulama Nasrani dari Najran berkumpul bersama di sisi Rasulullah, dan
Rasulullah meminta mereka masuk Islam, Abu Rafi al-Quradi berkata: “Apakah engkau ingin agar kami menyembahmu
sebagaimana kaum Nasrani menyembah Isa?”
Seorang Nasrani kemudian menimpali bertanya: “Apakah yang engkau mau, hai Muhammad?”
Jawab Rasulullah: “Saya berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah, atau
menyuruh beribadah kepada selain Allah. Bukan untuk itu aku diutus oleh Allah,
dan bukan untuk itu pula aku diperintah oleh Allah.” Berkaitan dengan
peristiwa ini, maka turunlah ayat ini.
Diriwayatkan pula oleh Abdur Razaq dari Hasan: Ada
berita yang sampai kepadaku bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasul: “Ya Muhammad, kami memberikan salam kepadamu
seperti kami memberi salam kepada sesame kami, apakah tidak lebih baik kami
bersujud kepadamu?”
Jawab Nabi: “Tidak,
akan tetapi, muliakanlah Nabimu, dan penuhilah hak untuk yang mempunyai hak
itu, karena tidak patut bersujud kepada selain Allah.” Dan berkenaan itu
turunlah ayat ini.[5]
3. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di
Tafsir al-Azhar Karya Hamka
a. Biografi Hamka
Buya Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau,
Sumatra Barat pada 1908 M. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Namun ia lebih akrab dipanggil Hamka, yang merupakan singkatan dari
namanya sendiri. Sebutan buya di depan namanya tak lain merupakan panggilan
buat orang Minangkabau yang berarti ayah kami atau seseorang yang sangat
dihormati. Sebutan buya merupakan saduran dari bahasa Arab, abi atau abuya.[6]
Ayahnya bernama Abdul Karim bin Amrullah yang juga
dikenal sebagai Haji Rasul. Sang ayah adalah pelopor Gerakan Islam (Reformasi)
di Minangkabau sekembalinya dari Mekah pada 1906 M. Sementara ibunya bernama
Siti Syafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat
diketahui bahwa dia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki
hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII
dan awal abad XIX. Dia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut system matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia
berasal dari suku Tanjung, sebagaimana ibunya. Dia lahir sebagai anak pertama
dari tujuh bersaudara.
Hamka mengawali pendidikan di Sekolah Dasar
Maninjau hingga Darjah Dua (kelas dua). Ketika ayahnya medirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang, Hamka yang baru berusia 10 tahun segera pindah ke
lembaga tersebut. Di situ, ia mempelajari bahasa Arab. Ia juga mendaras
ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang disuh sejumlah ulama terkenal seperti
Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh Ahmad Rasyid, dan
Syekh Ibrahim Musa.[7]
Hamka memulai pengabdian terhadap ilmu pnegetahuan
dengan menjadi guru agama pada 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
Selang dua tahun kemudian, 1929 M, ia juga menekuni profesi serupa di Padang
Panjang. Karena karir intelektualnya yang cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M,
ia dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rector juga pernah
dikecapnya pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta.[8]
Hamka adalah sosok yang brilian. Kesuksesannya
menuntut dan merangkul sekian banyak ilmu tak semata mengandalkan pendidikan formal.
Ia malah sering belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik islam maupun barat, secara
otodidak.
Dengan kecakapannya dalam berbahasa Arab, Hamka
menelaah karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti, Mustafa
al-Manfaluti, Abbas al-Aqqad, Husain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Mubarak.
Karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman semisal Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre
Loti juga tak luput dari penelaahannya.[9]
Di jalur organisasi social kemasyarakatan, Hamka
aktif di Muhammadiyah. Bahkan, ia turut membidani deklarasi berdirinya
Muhammadiyah pada 1925 M. Karirnya pun cemerlang. Mulai 1928 M, ia menjadi
ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Lalu, dua tahun kemudian menjadi
konsul Muhammadiyah di Makassar. Pada 1946 M, ia didaulat sebagai Ketua Majelis
Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Jabatan Penasihat Pimpinan Pusat
Muhammadiyah disandangnya pada 1953 M.[10]
Di jalur pilitik, ia terdaftar sebagai anggota
Sarekat Islam pada 1925 M. Pada 1947 M, ia dilantik sebagai ketua Barisan
Pertahanan Nasional sekaligus anggota Konstituante Masyumi. Namun ketika
Masyumi dihapuskan oleh pemerintahan Soekarno pada 1960 M, ia dipenjara karena
dituduh pro-Malaysia.[11]
Hamka memang sosok yang kaya dengan ilmu
pengetahuan. Kiprahnya di dunia politik ternyata berbanding lurus dengan sepak
terjang pengembangan ilmu pengetahuannya. Selain aktif di jalur keagamaan dan
politik, ia juga menerjunkan diri sebagai seorang wartawan, penulis, dan
editor. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah kabar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam,
Bintang Islam, dan Seruan
Muhammadiyah.
Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Di tahun 1932 M, ia
bergulat dengan dunia penyuntingan dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Ia pernah juga menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat,dan
Gema Islam. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di
Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang, Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian
diganti namanya menjadi Kulliyyatul Muballighin (1934-1935). Pembicara konggres
Muhammadiyah ke 19 di Bukittinggi (1930) dan konggres Muhammadiyah ke 20
(1931). Menjabat anggota Syu Sangi
Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada
pemerintahan Jepang (1944). Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim,
Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ.
Dengan bekal ketrampilan tulis-menulis, Hamka mampu
menghasilkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra (novel dan cerpen). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Bawah
Lindungan Ka’bah, Kenang-Kenangan
Hidup, Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya, Khatib
al-Ummah, Islam dan Adat, Kepentingan Melakoekan Tabligh, Bohong di Doenia, Agama dan Perempuan, Pedoman
Moebaligh Islam, Hikmat Isra’ Mi’raj, Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revoloesi Fikiran, Dibandingkan
Ombak Masjarakat, Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman, Revoloesi Agama, Sesoedah Naskah
Renville, Falsafah Hidoep, Falsafah Ideologi Islam, Pelajaran Agama Islam,
K.H.A. Dahlan,
Perkembangan Tasawoef dari Abad ke Abad, Pandangan Hidup Muslim dan Merantau ke Deli merupakan
buah penanya di dunia sastra, dan masih banyak lagi karyanya yang tidak bisa
disebutkan satu per satu. Untuk bidang agama (tafsir), Tafsir al-Azhar merupakan
karya yang mengharumkan namanya di jagat intelektual Islam Indonesia. Lebih
terasa dramatis lagi ketika ia menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar ditulisnya di balik jeruji penjara.
Atas jasa dan pengabdiannya dalam dunia keilmuan,
Hamka dikaruniai gelar kehormatan doctor
honoris causa dari Universitas al-Azhar pada 1958 M, doctor honoris causa juga diperolehnya dari Universitas Kebangsaan
Malaysia pada 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno juga diterimanya
dari pemerintah Indonesia. Ia meninggal dunia pada 24 Juli 1981 M di Jakarta.[12]
b. Sekilas Tentang Tafsir al-Azhar
Tiap-tiap tafsir al-Qur’an memberikan corak haluan
daripada pribadi penafsirnya. Maka itu, dalam Tafsir al-Azhar ini akan dapatlah dibaca haluan penafsirnya.[13]
Tafsir al-Azhar diakui banyak kalangan sebagai karya monumental Hamka. Di dalamnya ia
mencoba menghubungkan sejarah islam modern dengan studi al-Qur’an dan berusaha
melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional. Titik tekannya adalah
menguak ajaran al-Qur’an dan menyesuaikannya dengan konteksnya dalam ranah
keislaman.[14]
Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzab
Salaf, yaitu Madzab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang
mengikuti jejak beliau. Dalam hal akidah dan ibadah, semata-mata taslim artinya
menyerah dengan tidak banyak Tanya lagi. Tetapi tidaklah semata-mata taqlid
kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada
kebenaran untuk diikuti, dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang. Meskipun
penyimpangan yang jauh itu, bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang
mngeluarkan pendapat itu.[15]
Ketika menyusun tafsir ini, terbayanglah corak
ragam dari murud-murid dan anggota jama’ah yang makmum dibelakangnya sebagai
imam. Ada mahasiswa-mahasiswa yang tengah berstudi dan terdidik dalam keluarga
islam. Ada sarjana-sarjana yang bertitel S.H., Insinyur, Dokter, dan Profesor.
Ada pula perwira-perwira tinggi yang berpangkat Jendral dan Laksamana dan ada
juga anak buah mereka yang masih berpangkat Letnan, Kapten, Mayor, dan para
bawahan. Dan ada pula saudagar-saudagar besar, agen auto mobil dengan relasinya
yang luas, importer dan eksportir kawakan disamping saudagar perantara. Dan ada
juga pelayan-pelayan dan tukang, tukang pemeihara kebun dan pegawai negeri,
disamping istri mereka masing-masing. Semuanya bersatu membentuk masyarakat
yang beriman, dipadukan oleh jama’ah shalat Subuh, kasih-mengasihi,
hormat-menghormati dan harga menghargai. Bersatu di dalam shaf yang teratur,
menghadapkan muka bersama, dengan khusyu’ kepada Ilahi.
Maka, seketika menyusun tafsir ini, wajah-wajah
mereka itulah yang terbayang, sehingga penafsiran tidak terlalu tinggi
mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya semata-mata sesame ulama.
Dan tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan. Sebab segala yang ita sebutkan
di atas tadi, sebagai corak jama’ah sejati Islam, meskipun berbeda kedudukan,
namun yang paling mulia diantara mereka ialah barang siapa yang paling takwa
kepada Allah. Ketika penulis tafsir ini sunyi sepi seorang diri, baik dalam
tahanan di Sukabumi, atau di Bungalow “Herlina” dan “Harjuna” di Puncak atau di
Mess Brimob di Mega Mendung, atau sedang dirawat sambil ditahan di Rumah Sakit
Persahabatan di Rawamangun Jakarta Timur, wajah jama’ah tercinta itulah yang
terbayang seketika menggoreskan pena di atas kertas.[16]
Karakteristik yang tampak dari Tafsir al-Azhar
ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial
kemasyarakatan Tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh) yang dapat dengan
begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh
Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.
Di dalam hal yang mengenai pengetahuan umum, kerap
kali penafsir meminta bantuan kepada ahlinya. Seketika mengupas soal-soal ilmu
falak, pernah penafsir meminta bantuan ahli falak yang terkenal, putra dari
ahli falak terkenal pula, yaitu saudara Sa’aduddin Jambek. Demikian pula dalam
hal yang lain, penulis meminta bantuan ahlinya.[17]
Riwayat penafsir yang lemah pun kalau perlu kita
salin juga, bukan untuk mempercayainya, melainkan untuk mnegujinya dengan akal.
Dan apabila dibaca dengan seksama, akan bertemulah beberapa pendapat dari
ulama-ulama Islam Indonesia sendiri, yang tidak terdapat dalam negeri Islam
yang lain.
Berikut ini secara ringkas langkah-langkah taktis
penafsiran yang terdapat dalam Tafsir
al-Azhar: menuliskan teks al-Qur’an dengan lengkap, menerjemahkannya,
kemudian member catatan penjelasan. Biasanya, ia menyajikan bagian-bagian
pendek yang terdiri dari beberapa ayat-satu sampai lima ayat-dengan terjemahan
bahasa iandonesia, kemudian menjelaskannya panjang lebar, bisa sampai 15 halaman. Karena itulah, Tafsir al-Azhar lumayan tebal, terdiri dari 15 jilid.[18]
c. Penafsiran Hamka Tentang QS. Ali-Imran Ayat 79
Pada bab ini, penulis akan membahas secara khusus
pandangan DR. Hamka tentang Konsep Rabbani
dalam Pendidikan Islam.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ
اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ
عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah".
Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(QS.3:79)
Di dalam ayat ini Rasul disuruh menyampaikan kepada
manusia hakikat kesetiaan Nabi-Nabi, baik dari beliau sendiri, ataupun
Nabi-Nabi yang dahulu daripadanya, termasuk Nabi Isa Almasih sendiri.
Bahwasannya setelah mereka menerima tiga kemuliaan dari Tuhan, yaitu diturunkan
kepada mereka kitab, dan diberi pula hokum untuk membedakan benar
dan salah, adil atau tidak adil, dan dilengkapi semuanya itu dengan nubuwwat,
lalu dia berlaku curang kepada amanat yang diturunkan Allah kepadanya itu.
Sesudah dia berpengaruh diajarkannya pada manusia ajaran-ajaran yang bukan lagi
menyembah Allah. Dibujuknya manusia supaya jangan menyembah berhala, tetapi
lama-lama disuruhnya manusia itu menjadi hamba dari dirinya sendiri. Dalam ayat
ini Nabi Muhammad saw. mengatakan yang demikian itu tidaklah pantas bagi
seorang Rasul, bahkan pantang bagi seorang Rasul, sebab itu adalah penghianatan
kepada tugas.
Ujung ayat ini menjelaskan lagi bahwa Nabi-Nabi
hanya mengajak agar manusia berhubungan langsung dengan Allah. Nabi hanya
sebagai penunjuk jalan, mengajarkan bagaimana cara manusia mendekati Allah
dengan melakukan dzikir, sembahyang dan ibadat lain yang diajarkan oleh Allah
sendiri dengan perantara Rasul itu. Nabi tidak menyuruh supaya pengikutnya itu
menjadi budak-budak penyembah Nabi, teteapi menuntun agar manusia itu sendiri
menjadi keluarga yang sangat dekat kepada Tuhan. Orang yang telah sangat dekat
kepada Tuhan itu di dalam ayat ini disebut orang Rabbani. Yang di dalam
ayat kita artikan “Orang-Orang ketuhanan”. Kalimat Rabbani ini berpokok
dari rabb, yang berarati Tuhan Rabbul’Alamin, artinya Tuhan sarwa
sekalian alam. Seperti kata Rohani berasal dari Roh, huruf Ya’
yang di belakang Ya nisbah: Ya’ yang membangsakan. Maka Rabbani
artinya ialah orang yang dibangsakan dengan Tuhan.
Dan di dalam ayat ini pula ditegaskan bagaimana
manusia dapat mencapai tingkat Rabbani itu: yaitu mana-mana orang yang
telah mempelajarinya dan telah pandai, hendaklah ia mengajarkannya pula kepada
orang lain, dan yang kedua hendaklah ia selalu mengkajinya atau mempelajarinya
pula, mentelaah dan membahas, sampai dia kenal betul akan maksud Tuhan.
Artinya apa yang telah dapat diajarkan pada orang
lain maka diajarkan pula pada orang lain. Dan mana yang belum dapat diajarkan
pada orang lain, maka harus dipelajari dan dikaji pula. Agar dari hari ke hari
martabat insane pengikut Rasul itu akan bartambah dekat kepada Tuhan, dan
bertambah pula menjadi insane Rabbani.
Lantaran itu, tidak ada seorang manusia yang
menjadi Nabi, meraih dan membawa pengikutnya supaya menjadi hamba Tuhan, dan
lama-lama lanjut menjadi orang ketuhanan, orang Rabbani. Mana yang belum
dapat dipelajari maka pelajari terus, dan tuntun pula murid-murid supaya dia
menjadi Rabbani pula. Hendaklah seorang Rabbani menjadi pencontoh
Nabi pula, mengajak orang lain mendekati Allah, bukan memuji dirinya sendiri.
Dari penjelasan ini dapat diambil pemahaman bahwa seorang yang sudah mencapai
tingkat Rabbani itu bisa dikatakan sebagai seorang murabbi.
Sebab itu, maka Ibnu Abbas menafsirkan Rabbani
ialah orang-orang yang jadi Ulama dan Hukama, berpengetahuan lagi berfilsafat.
Katanya pula dalam tafsir yang lain, Rabbani ialah Ulama dan Fuqaha,
yaitu orang yang berpengetahuan dan mendalam fahamnya. Sebab itu maka orang Rabbani
itu selama hidupnya ialah belajar dan mengajar, mengajar dan belajar lagi,
sampai dia tahu rahasia mengapa diperintahkan. Sehingga boleh dikatakan bahwa
perasaannya telah mendekati perasaan Allah.
Menurut Hamka, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi-Nabi
hanya mengajak agar manusia berhubungan langsung kepada Allah. Nabi hanya
sebagai petunjuk jalan, mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada
Allah dengan melakukan dzikir, sembahyang dan ibadah lain yang diajarkan
sendiri melalui Rasul itu,. Nabi tidak menyuruh su
paya pengikutnya menjadi budak-budak penyembah Nabi
tetapi agar manusia itu menjdi keluarga yang sangat dekat dengan Tuhan. Orang
yang sangat dekat dengan Tuhan itu disebut Rabbani.
Pendapat ini lebih menekankan agar manusia Rabbani
menjadi teladan dalam hal ibadah yang berkaitan dengan Allah sebagai Tuhannya,
baik itu yang dilakukan secara berjama’ah maupun secara individu. Kemudian
disebutkan juga bahwa seorang Rabbani itu harus belajar dan mengajar,
mengajar dan belajar lagi. Jika hal ini di kaitkan dengan dunia pendidikan,
maka seorang pendidik itu haruslah tetap belajar, mengembangkan pengetahuannya,
menambah wawasan pengetahuannya, dan juga harus mengajarkan ilmu yang telah
didapatkan kepada peserta didiknya. Selain itu seorang pendidik juga harus
menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya, harus bisa menjadi contoh dalam
setiap tindakannya, entah itu dalam hal beribadah, atau dalam kehidupan
sehari-hari.
d. Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran Ayat 79 di
Tafsir al-Azhar Karya Hamka
Untuk
mengetahui konsep Rabbani dalam
QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir al-Azhar karya Hamka perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian dari Rabbani. Menurut Hamka Rabbani diartikan
“Orang-Orang Ketuhanan”. Jika dilihat dari pengertian ini maka orang yang Rabbani
itu sudah pasti selalu dekat dengan Allah.
Dapat
dipahami bahwa seorang yang mengetahui dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an
akan menjadi manusia yang Rabbani (dipancari sinar ketuhanan) dalam
kehidupannya, sehingga orang tersebut akan selalu mempunyai sifat yang luhur
sehingga akan menjadikan contoh bagi lingkungan disekitarnya dan bagi umat
islam pada umumnya. Orang yang mempunyai sifat luhur tanpa dilandasi dengan
nilai-nilai Rabbani tentunya tidak akn memperoleh keridlaan. Begitu pula
orang yang dipancari dengan sinar ketuhanan dituntut untuk selalu mengembangkan
sifat-sifat yang luhur yang ada dalam dirinya sesuai dengan tuntutan zaman,
terutama yang berkaitan dengan moral, tatakrama, adab, dan sifat-sifat
seseorang, sehingga orang tersebut akan menjadi uswah/teladan karena
mendapat tuntutan untuk selalu berpegang teguh sesuai tuntutan Allah swt.
Nabi
juga tidak menyuruh manusia menjadikan Malaikat sebagai Tuhan.
Nabi tidak mungkin menyuruh manusia berbuat kufur sesudah mereka menyerahkan
diri kepada Allah dan menerima ketuhanan-Nya. Dia datang untuk menunjukkan mereka agama Allah, bukan untuk
menyesatkan mereka, dan untuk membimbing
mereka kepada Islam, bukan kepada kekafiran.
Dalam
firman Allah disebutkan:
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ
كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ
وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dan
berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.(QS.3:146)”
Ayat
ini menjelaskan kaum mukminin yang turut berperang dalam perang Uhud. Dalam hal
ini terkandung pengertian
penyaringan terhadap orang-orang
yang benar- benar mencintai kebenaran. Sebab benturan-benturan yang keras itu merupakan
ujian yang berat bagi akhlak, di dalamnya terdapat petunjuk bimbingan dan
hiburan bagi kaum muslimin, agar mereka tumbuh berdasarkan sifat-sifat yang
bisa mengantarkan diri mereka kepada keberhasilan dan kemenangan dalam segala pekerjaan mereka.
Dalam
ayat tersebut juga menceritakan para Nabi terdahulu melakukan peperangan.
Mereka mempunyai kenyakinan, bahwa para Nabi adalah memberi petunjuk dan
pendidik, bukan tuhan yang disembah. Para pengikut Nabi-nabi itu, sedikitpun
tidak patah semangat tatkala sebagaian
mereka terluka atau gugur dalam peperangan, meskipun yang gugur itu
adalah Nabi Mereka. Mereka telah telah mengerti, bahwa Nabi tidak
lain hanya sebagai utusan Allah swt. di
samping memberi petunjuk kepada umatnya.
Dari
ayat tersebut jelas bahwa pendidik harus selalu mengembangkan tingkah laku dan
kepribadian yang ada di dalam dirinya walaupun besar cobaannya. Sebagaimana
Nabi telah berperang melawan orang-orang kafir dalam menegakkan kalimat Allah
swt. dengan penuh kesabaran meskipun berat cobaannya. Pendidik harus mengambil teladan dari peran ribbiyyun
dan bersabar seperti kesabaran seperti
yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Oleh sebab itu pendidik dituntut
untuk mengetahui lebih dulu akibat baik
yang pernah dialami umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw. Kemudian pendidik
meniru sepak terjang orang-orang shiddiqien dan orang-orang yang
bersabar dari kalangan mereka. Dengan demikian seorang pendidik akan menjadi
contoh bagi peserta didiknya dalam hal sifat-sifatnya, dengan demikian pendidik
selalu dituntut untuk selalu konsisten dalam segala hal yang berkaitan dengan
moral, akhlak dan sifat.
Mengingat
pentingnya peran pendidikan, maka pendidik dituntut agar memiliki kamampuan
yang memadai dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, baik yang menyangkut kemampuan
membimbing maupun melatih peserta didik. Dengan kemampuan itu pendidik membantu peserta didik secara lebih
baik dalam mengembangkan aspek intelektual, emosional, sosial maupun moral
spiritual.
Perlu
disadari juga, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya semua hal yang
peserta didik lihat, dengar dan rasakan merupakan pendidikan, maka pendidik
harus berusaha memberikan pendidikan yang benar dan maksimal, baik dari tingkah
laku, perkataan dan moral-spiritualnya. Karena tanpa disadari para peserta
didik akan melihat serta mencontoh semua yang dilakukan oleh orang-orang
disekelilingnya khususnya pendidik atau guru. Pendidik atau guru dalam
mengajarkan ilmu di dalam kelas misalnya, akan dilihat oleh semua peserta didik
dari semua aspek, baik tingkah laku, sifat, sikap, maupun perkataannya.
Al-Ghozali
dalam Mahmud, menurut pandangan pendidikannya, kedudukan pendidik atau guru
sangat penting dalam mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada proses pengajaran
tanpa adanya pendidik atau guru. Beliau
juga menekankan betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar.[19]
Dari
pernyataan tersebut, dapat dipahami tiga unsur pokok dalam proses pendidikan,
yaitu: pertama, menjaga kelestarian umat harus ada orang yang
berilmu (pendidik), kedua, tidak ada artinya seorang pendidik tanpa mengajarkan
ilmunya dan ketiga, mengajar akan
berarti bila dilandasi dengan hati yang ikhlas. Ikhlas menurut Ghozali suatu
yang menyangkut nilai yaitu nilai Islam. Jadi, semua ilmu yang diajarkan guru
harus mengandung nilai Islam dan nilai Islam tersebut harus dibentuk dan
ditransfer oleh pendidik atau guru.
Nilai-nilai
Islam yang diajarkan pendidik atau guru kepada peserta didik setidaknya
berpedoman kepada al-Qur’an. Pendidik atau guru harus mampu mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dengan al-Qur’an yang meliputi agama, sosial, serta sains dan
teknologi. Dengan itu peserta didik mampu mengintegrasikan permasalahan
kontemporer dengan al-Qur’an, baik masalah keagamaan, sosial, sains dan
teknologi.
Dalam
pandangan Islam, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat besar,
bukan hanya sekedar pengajaran atau suatu proses transfer ilmu belaka, bukan
transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang
dicakupnya, melainkan pengajaran yang
berorientasi pada pembentukan spesialis peserta didik.[20]
Oleh karena itu pendidik sebagai Pembina generasi muda harus senantiasa
menampilkan sosok pribadi yang patut diteladani. Sebagai figur yang diteladani
dengan kepribadiannya, maka seorang pendidik harus menjaga wibawa dan citranya
di masyarakat dengan senantiasa didasari oleh ketaatan dan keteguhan terhadap
norma-norma susila, moral, sosial dan agama, sehingga mampu mengembangkan dan
membentuk kepribadian peserta didik dengan kualitas kepribadian yang tinggi.
Seorang
pendidik bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas. Lebih dari itu, mereka
hendaknya seorang yang beriman, berakhlaq mulia, sungguh-sungguh dalam
melaksanakan tugas profesinya serta menerima tanggung jawab profesinya sebagai
amanat yang diberikan Allah kepadanya dan harus dilaksanakan dengan baik. Di
samping memiliki keluasan ilmu pengetahuan, seorang pendidik dituntut memiliki
sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan, ikhlas dan tidak pamrih, jujur dan
dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku berprinsip kuat dan
disiplin.[21]
Pendidik
yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan Islam, diharapkan
dapat menjadi sosok pribadi yang memiliki sejumlah atribut kepribadian yang
dapat menempatkannya sebagai panutan, teladan serta orang yang mempengaruhi secara
positif terhadap anak didiknya. Sifat dan pribadinya harus mencerminkan pribadi
yang luhur, sebagaimana halnya Rasulullah saw yang mampu menunjukkan dengan
sempurna bahwa al-Qur’an sebagai jiwa dan akhlak beliau.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut Hamka yakni seorang
pendidik itu harus selalu belajar dan belajar, setelah selesai belajar maka ia
harus mengajarkan ilmunya pada orang lain. Selain itu seorang pendidik juga
harus mencontoh para Nabi, artinya dalam segala tindakannya ia harus menjadikan
Nabi sebagai tauladan, agar ia pun juga menjadi contoh atau teladan bagi
peserta didiknya.
B. Kaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran
ayat 79 di Tafsir al-Azhar Karya Hamka dengan Sifat Pendidik dalam
Pendidikan Islam
Untuk
mengetahui keterkaitan Konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 di Tafsir
al-Azhar Karya Hamka dengan Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam,
maka perlu di ketahui terlebih dahulu bagaimana konsep Rabbani menurut
DR. Hamka dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh pendidik dalam
pendidikan islam.
Menurut
Hamka konsep Rabbani dalam QS. Ali-Imran ayat 79 diantaranya, Rabbani
itu sendiri diartikan sebagai Orang-Orang ketuhanan atau orang-orang yang sangat dekat dengan Tuhan,
ditegaskan pula bagaimana manusia dapat mencapai tingkat Rabbani itu:
yaitu mana-mana orang yang telah mempelajarinya dan telah pandai, hendaklah ia
mengajarkannya pula kepada orang lain, dan yang kedua hendaklah ia selalu
mengkajinya atau mempelajarinya pula, mentelaah dan membahas, sampai dia kenal
betul akan maksud Tuhan.
Artinya apa yang telah dapat diajarkan pada orang
lain maka diajarkan pula pada orang lain. Dan mana yang belum dapat diajarkan
pada orang lain, maka harus dipelajari dan dikaji pula. Agar dari hari ke hari
martabat insan pengikut Rasul itu akan bertambah dekat kepada Tuhan, dan
bertambah pula menjadi insan Rabbani. Seorang Rabbani hendahnya
menjadi pencontoh Nabi pula, mengajak orang lain mendekati Allah, bukan
memuji dirinya sendiri.
Ibnu Abbas menafsirkan Rabbani ialah orang-orang
yang jadi Ulama dan Hukama, berpengetahuan lagi berfilsafat. Katanya pula dalam
tafsir yang lain, Rabbani ialah Ulama dan Fuqaha, yaitu orang yang
berpengetahuan dan mendalam fahamnya. Sebab itu maka orang Rabbani itu
selama hidupnya ialah belajar dan mengajar, mengajar dan belajar lagi, sampai
dia tahu rahasia mengapa diperintahkan. Sehingga boleh dikatakan bahwa
perasaannya telah mendekati perasaan Allah.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa konsep Rabbani menurut Hamka, Jika disini
diartikan sebagai pendidik, maka seorang pendidik harus belajar dan apabila
sudah pandai maka dia harus mengajarkan ilmunya pada orang lain, agar seorang
pendidik bisa mencapai tingkat Rabbani. Belajar dan lagi-lagi belajar,
mengembangkan ilmu pengetahuannya, kemudian dia juga harus mencontoh Nabi pula.
Baik dalam hal mengajar ataupun dalam sifat dan tingkah lakunya. Agar dia pun
juga bisa menjadi contoh atau tauladan bagi semua peserta didiknya.
Sedangkan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam pendidikan islam
diantaranya: pertama, Setiap pendidik harus memiliki sifat Rabbani Jika
seorang pendidik telah bersifat rabbani,
seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan peserta didiknya sebagai
generasi rabbani yang memandang jejak
keagungan-Nya. Setiap materi yang dipelajarinya senantiasa menjadi tanda
penguat kebesaran Allah sehingga dia merasakan kebesaran itu dalam setiap
lintasan sejarah, dalam sunnah alam semesta, atau dalam kaidah-kaidah alam
semesta. Kedua, Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan.
Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan
keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhoan Allah
serta mewujudkan kebenaran. Ketiga, Seorang pendidik hendaknya mengajarkan
ilmunya dengan sabar. Keempat, Ketika menyampaikan ilmunyakepada peserta didik,
seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia
ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Kelima, Seorang pendidik harus senantiasa
meningkatkan wawasan pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus memiliki
ilmu pengetahuan yang mumpuni. Bagaimanapun, ilmu itu akan terpahamkan kepeda
peserta didik, jika benar-benar dikuasai oleh seorang pendidik. Keenam, Seorang pendidik dituntut memiliki
sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. Artinya, dia tidak berpihak atau
mengutamakan kelompok tertentu. Dalam hal ini, dia harus menyikapi setiap
peserta didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya. Rosulullah saw adalah
teladan yang baik untuk seorang pendidik. Disini dikatakan bahwa Rasulullah
adalah teladan yang baik untuk seorang pendidik. Jadi jelaslah bahwa selain
belajar dan mengajar seorang pendidik harus jadi pencontoh para Nabi, agar
seorang pendidik bisa menjadikan generasi-generasi Rabbani seperti yang
dicita-citakan.
Dari
penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa antara konsep Rabbani
menurut Hamka dengan sifat-sifat pendidik dalam pendidikan islam memiliki
keterkaitan yaitu dapat dilihat dari konsep Rabbani menurut Hamka
disebutkan bahwa seorang pendidik harus terus belajar dan belajar, kemudian
mengajarkan kembali pada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan salah satu
sifat pendidik yakni, Seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan
pengetahuan, dan kajiannya. Seorang guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang
mumpuni. Selain itu Hamka juga menyebutkan bahwa seorang pendidik juga harus
menjadi pencontoh para Nabi, agar seorang pendidik juga bisa jadi contoh atau
tauladan bagi peserta didiknya.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an. Vol. 2, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 3.
[2]
Ibid.,
[3] Ibid.,
[5] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nuur (Semarang: PT. PUSTAKA PUTRA, 2000), 626.
[6] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an
(Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 209.
[7]
Ibid.
[8] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 210.
[9]
Ibid.
[10] Ibid.
[11] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 211.
[12] Ibid., 212.
[13] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I (Jakarta: PT PUSTAKA PANJIMAS, 1982), 53.
[14] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 212.
[15] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I, 54.
[16] Hamka, Tafsir al-Azhar , Juz I, 55-56.
[17] Ibid.
[18]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, 212.
[19] Mahmud, Pemikiran Pendidikan
Islam (Bandung : Pustaka Setia,
2011), 246.
[20] Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 3.
[21] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan
Pemikiran HAMKA
Tentang
Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar