BAB
III
KEPEMIMPINAN
RATU BALQIS DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
A.
Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari
1944 M di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia putra dari Abdurrahman Shihab, seorang
guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin serta
tercatat sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di
Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan dasar di Ujungpandang, ia digembleng
ayahnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1958 M, ia berangkat ke Kairo,
Mesir, atas bantuan beasiswa dari pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di
kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967 M, pendidikan
srata satu diselesaikan di Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan
Tafsir-Hadits. Pada tahun 1969 M, gelar M.A diraihnya di Universitas yang sama.
Quraish Shihab sempat kembali ke Indonesia,
namun tidak lama, karena pada tahun 1980 M ia kembali lagi ke Universitas
al-Azhar untuk menempuh program doktoral. Hanya dua tahun, 1982 M, waktu yang
dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan srata tiga itu. Walaupun
begitu, nilai akademiknya terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan
tingkat I. Walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang
meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1984 M, ia kembali ke Indonesia dan
mengajarkan ilmunya di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah. Di luar kampus, ia dipercaya menduduki beberapa jabatan penting,
antara lain, Ketua MUI Pusat (sejak 1984 M), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an
Departemen Agama (sejak 1989 M), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
(sejak 1989 M), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VIII (1998 M).
Meski disibukkan dengan berbagai
aktivitas akademik dan non-akademik, ia masih sempat menulis. Bahkan ia
termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis
buku. Di harian Pelita, ia mengasuh
rubric “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah
Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.[1]
Karena Muhammad Quraish Shihab
dianggap sebagai penulis yang produktif, maka beliau menulis buku-buku yang
telah beredar secara luas. Diantara karya beliau tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1984)
2.
Filsafat Hukum Islam (1987)
3.
Mahkota Tuntutan Ilahi: Tafsir Surah al-Baqarah (1988)
4.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (1992)
5.
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994)
6.
Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994)
7.
Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat (1995)
8.
Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1997)
9.
Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas
Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997)
10.
Hidangan Ilahi: Ayat-Ayat Tahlil (1997)
11.
Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah
dan Mu’amalah (1999)
B.
Profil Tafsir Al-Mishbah
Tafsir al-Misbah adalah salah satu karya M. Quraish
Shihab, yang mulai ditulis untuk pertama kalinya di Kairo Mesir pada hari
Jum’at 4 Rabi’al-Awwal 1420 H/18 Juni 1999 M, selama kurang lebih 4 tahun
hingga selesai pada hari Jum’at 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September
2003 di Jakarta. Tafsir al-Misbah
merupakan karya ilmiah M. Quraish Shihab yang berawal dari anjuran
teman-temannya saat berada di Mesir sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh.
Awalnya ia enggan untuk merealisasikan ide penulisan tafsir ini. Namun, iklim
ilmiah yang sangat subur yang ia temukan di al-Azhar Mesir mendorongnya
mewujudkan ide penulisan tafsir ini. Di samping itu, pendorong niat itu berasal
surat pembaca dalam berbagai topik yang diterimannya, yang sungguh menggugah
hati dan membulatkan tekadnya untuk menyusun Tafsir al-Misbah.[3]
Pada mulanya, tafsir ini ditulis secara
sederhana, bahkan tidak lebih dari tiga volume, namun karena kenikmatan ruhani
yang dirasakan oleh penulisnya bersama Al-Qur’an, membuat karya ini mencapai
lima belas volume. Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur’an
dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan harapan dan kebutuhan pembacanya.
Para pakar Al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara
menghidangkan pesan-pesan Al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan
menggunakan metode Maudu’i atau
tematik. Metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an
secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Ia
lahir setelah para pakar menyadari bahwa metode yang diterapkan sebelumnya
sangat menyita waktu bahkan menghidangkan aneka informasi yang tidak selalu
dibutuhkan oleh pembacanya. Karena banyaknya tema yang dikandung oleh kitab
suci umat Islam itu, maka tentu saja pengenalan menyeluruh tidak mungkin
terpenuhi, paling tidak, hanya pada tema-tema yang dibahas itu.[4]
Tafsir al-Misbah termasuk tafsir yang menggunakan
metode analitis,[5] yang berbentuk tafsir bi al-ra’y, yakni metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan memaparkan barbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassirnya. Penerapan metode ini adalah
dengan menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut
menyangkut berbagai aspek yang dikandung
ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun
sesudahnya (munasabat), dan tidak
ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran
ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi Saw, sahabat, maupun para
tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya.[6]
Tafsir al-Misbah menghidangkan uraian dengan gaya
dan penekanan yang berbeda, yakni tafsir ini barusaha menghidangkan bahasan
setiap surat pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Pada
tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika mampu memperkenalkan tema-tema
pokok itu, maka secara umum dapat memperkenalkan pula pesan utama setiap surat,
dan dengan memperkenalkan ke 114 surat, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat
dan mudah.[7]
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan
penulisnya. Boleh jadi, kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari
al-Qur’an, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya walau
telah mengkaji terjemahnya. Maka, dengan menjelaskan tema pokok surat-surat
al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat
itu akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat
setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang
melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang.[8]
Untuk memperjelas makna-makna yang dikandung
oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan
kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an, seringkali memerlukan
penyisipan-penyisipan kata atau kalimat, namun penyisipan-penyisipan itu bukan merupakan bagian dari kata atau
kalimat yang digunakan al-Qur’an. Tafsir
al-Misbah ini memiliki cara penulisan tafsir yang unik, seperti yang
disebut, yakni memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan atau
tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan Italic Letter (tulisan miring), dan sisipan atau tafsirnya dengan
tulisan normal. Di samping itu, dengan menampilkan penafsiran atau kesan-kesan
tertentu untuk ayat-ayat tertentu, sama sekali bukan berarti memilah-milah
al-Qur’an, yakni menganggap penting yang satu dan menganggap kurang penting
yang lainnya, tetapi semata-mata karena yang demikian itulah kesan atau
informasi dari curah pikir yang diperoleh M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah ini juga bukan semata-mata sepenuhnya hasil
ijtihad M. Quraish Shihab, namun disertai dengan pandangan-pandangan ulama
terdahulu dan kontemporer yang banyak dinukil, khususnya pandangan pakar tafsir
Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i, yang karya
tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis Tafsir al-Misbah ini, M. Quraish Shihab.[9]
C.
Kepemimpinan Ratu Balqis dalam Tafsir Al-Mishbah Surat Al-Naml ayat
22-44
Kisah
tentang kepemimpinan Ratu Balqis dimulai dari laporan burung hud-hud kepada
Nabi Sulaiman as. yang tergambar dalam Q.S Surat Al-Naml ayat 22-44.
Ayat 22-23
فَمَكَثَ
غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ
بِنَبَإٍ يَقِينٍ٢٢ إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ
شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ ٢٣
Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud),
lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Dalam
Tafsir al-Mishbah pada ayat 21 menggambarkan Nabi Sulaiman as. mencari
burung Hud-hud dan mengancam bahkan bersumpah untuk menyiksa atau membunuhnya,
kemudian pada ayat ke 22 maka tidak lama kemudian setelah Nabi Sulaiman
as. bersumpah itu datanglah Hud-hud lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui
pengetahuan yang menyeluruh tentang sesuatu yang engkau belum mengetahuinya;
dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ yang berlokasi di Yaman suatu
berita penting yang meyakinkan yakni yang pasti benar. Sesungguhnya aku
menemukan seorang wanita (yang konon bernama Balqis putri Shurahil) yang
memerintah mereka yakni penduduk negeri Saba’ itu, dan dia dianugerahi
segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.[10]
Saba’ dalam prasasti-prasasti Arab bagian selatan
meliputi nama kaum, kerajaan dan wilayah. Kaum Saba’ dikenal sebagai
pedagang-pedagang besar, mengarungi sahara jauh sampai ke luar daerah mereka
sendiri.[11]
Saba’ adalah satu kerajaan di Yaman, Arab Selatan pada abad VIII SM.
Terkenal dengan peradabannya yang tinggi. Salah satu penguasanya adalah Ratu
Balqis yang semasa dengan Nabi Sulaiman as. Negeri Yaman dikenal juga dengan
nama “al-‘Arab al-Sa’idah / Negeri Arab yang Bahagia”. Al-Qur’an
melukiskannya sebagai Baldah al-T}ayyi>b
wa Rabb al Ghafu>r. Lokasinya yang strategis menghubungkan negeri ini dengan dataran India,
Ethiopia, Somalia, Suriah dan Irak.[12]
Ucapan hud-hud
أَحَطتُ
بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
“aku telah mengetahui sesuatu yang engkau
belum mengetahuinya”, mengisyaratkan kepada Nabi Sulaiman as. bahwa betapapun beliau
dianugerahi kekuasaan yang demikian besar, tetapi itu bukan berarti bahwa
segala kekuasaan atau pengetahuan telah beliau miliki. Masih banyak yang lain
yang tersembunyi dan yang boleh jadi diketahui oleh siapa yang lebih rendah
kedudukannya. Ini adalah pelajaran berharga buat setiap orang agar tidak merasa
mengetahui segalanya atau enggan bertanya apalagi kepada bawahannya.[13]
Kalimat:
أُوتِيَتْ
مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“dia dianugerahi segala sesuatu”
Dia dianugerahi segala sesuatu
bukan dalam pengertian umum, tetapi dianugerahi segala sesuatu yang
dapat menjadikan kekuasaannya langgeng, kuat dan besar. Misalnya tanah yang
subur, penduduk yang taat, kekuatan bersenjata yang tangguh, serta pemerintahan
yang stabil.[14]
Kalimat
عَرْشٌ
عَظِيمٌ
“singgasana yang besar”
Singgasana yang besar secara khusus disebut di sini,
karena singgasana mencerminkan kehebatan kerajaan.[15]
Oleh al-T}abari, Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta
kerajaan yang sangat adidaya/super power (laha>
‘arsh al ‘az}i>m) dan tidak pernah ada kata laha> ‘arsh al ‘az}i>m dalam ayat yang lain yang berkisar tentang
kerajaan.[16]
Ratu Balqis dilukiskan sebagai penguasa yang mampu
membawa rakyatnya kepada kesejahteraan jasmani dan rohani sehingga negeri Saba’
dikenal memiliki tanah yang subur dan penduduknya mampu mengolah kekayaan
buminya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hasil pertaniannya melimpah
dan memiliki jaringan perdagangan yang luas sehingga rakyat merasakan
kesejahteraan dan kemakmuran.[17]
Walaupun Q.S Al-Naml ayat 23 benar-benar menyebutkan
bahwa Balqis adalah “seorang perempuan” yang memerintah (barang kali sebagai
keanehan), namun hal ini tidak lebih merupakan sebuah kutipan pernyataan dari
Hud-hud yang telah mengamatinya. Di luar identifikasi atas dirinya sebagai
perempuan, tidak pernah disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan,
pembatasan atau pengkhususan terhadapnya sebagai seorang perempuan yang
memimpin.[18]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 22-23
tersebut menggambarkan burung hud-hud yang melaporkan kepada Nabi Sulaiman As.
bahwa ada seorang perempuan yang menjadi pemimpin negara yang mempunyai
singgasana yang besar dan dianugerahi segala sesuatu yang dapat menjadikan
kekuasaannya langgeng dan kuat serta mampu membawa penduduknya kepada
kesejahteraan.
Ayat 24-26
وَجَدتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ
مِن دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ
فَهُمْ لَا يَهْتَدُون٢٤َ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُون٢٥َ
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيم٢٦ِ
“Aku mendapati dia dan
kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka
memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan
(Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah
Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada
Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai' Arsy yang besar."
Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat-ayat
tersebut adalah setelah menguraikan kehebatan kerajaan Saba’ dari segi
material, kini sang Hud-hud menguraikan kelemahannya dari segi spiritual,
karena itu sekali lagi ia mengulangi kata aku menemukannya yakni aku
menemukan sang ratu itu, dan kaumnya semua penduduk kerajaan Saba’ menyembah
matahari, yakni mempertuhannya selain Allah Yang Maha Esa; dan
setan telah memperindah untuk mereka perbuatan-perbuatan mereka yakni
penyembahan matahari dan bintang-bintang, sehingga mereka menganggapnya baik
dan benar lalu menghalangi mereka dari jalan Allah padahal tiada
kebahagiaan kecuali dengan menelusuri jalan-Nya, sehingga dengan
demikian mereka tidak mendapat hidayah menuju kebahagiaan, bahkan mereka
terus menerus dalam kesesatan. Setan memperindah hal-hal tersebut agar
mereka tidak sujud dan patuh dalam melaksanakan tuntunan Allah
padahal Dialah Yang senantiasa mengeluarkan apa saja yang
tersembunyi di langit seperti benda-benda angkasa yang dari saat ke saat
diperlihatkan Allah sehingga diketahui wujudnya setelah tadinya tidak
diketahui. Demikian juga hujan dan mengeluarkan pula apa yang
tersembunyi dan terpendam di bumi seperti air, minyak, barang-barang
tambang dan lain-lain, dan Yang senantiasa mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Itulah Allah, tiada Tuhan
Pemilik, Pengendali dan Pengatur alam raya yang berhak disembah kecuali Dia,
Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung yang sama sekali tidak dapat dibandingkan
dengan singgasana siapa pun dan di mana pun.[19]
Berita tentang kepemimpinan Ratu Balqis ini merupakan
berita yang sangat penting dan cukup untuk menjadi syafaat bagi Hud-hud di
hadapan Sulaiman, mengingat asas dari kerajaannya adalah jihad, menyeru manusia
kepada jalan Allah dan mengajak mereka sujud hanya kepada-Nya.[20]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam ayat
24-26 tersebut masih menggambarkan tentang laporan burung hud tentang perempuan
yang menjadi pemimpin, yaitu Ratu Balqis. Burung hud-hud mengatakan bahwa Ratu
dan penduduknya menyembah matahari dan setanlah yang menjadikan mereka
menganggap bahwa apa yang mereka sembah itu telah benar.
Ayat 27-28
قَالَ
سَنَنظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ٢٧ اذْهَب بِّكِتَابِي هَذَا
فَأَلْقِهْ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ٢٨
Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa
kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa)
suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka,
lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan."
Terhadap ayat 27-28 tersebut, M. Quraish Shihab
memberikan penafsiran bahwa ketika mendengar keterangan burung Hud-hud, Nabi
Sulaiman as. tidak langsung mengambil keputusan untuk membenarkan atau
mempersalahkannya. Namun demikian beliau bersegera mengambil langkah apalagi
laporan Hud-hud berkaitan dengan keyakinan batil dari satu masyarakat. Di sisi
lain, masyarakat itu di bawah satu kekuasaan yang tangguh dan berada tidak jauh
dari lokasi pemerintahan Nabi Sulaiman as., yang ketika itu berada di Palestina.
Karena itu dalam rangka menguji kebenaran Hud-hud sambil mengetahui lebih
banyak tentang masyarakat tersebut dia berkata: “Akan kami lihat yakni
selidiki dan pikirkan dengan matang, apakah engkau wahai Hud-hud telah
berkata benar tentang kaum Saba’ itu, ataukah engkau termasuk
salah satu dari kelompok para pendusta. Pergilah dengan membawa suratku
ini ke negeri yang engkau laporkan itu, lalu begitu engkau sampai jatuhkanlah
surat itu kepada mereka, kemudian setelah itu berpalinglah
dari mereka menuju satu tempat terlindung tetapi tidak jauh dari mereka
sehingga engkau dapat mengetahui pembicaraan mereka, lalu perhatikanlah apa
yang mereka diskusikan menyangkut isi surat yang engkau sampaikan itu.”[21]
Ketika burung hud-hud menghadirkan berita penting dari
negeri saba, juga tentang penyembahan mereka terhadap matahari, Sulaiman ingin
mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Karena itu, dia menulis sepucuk surat yang
ditujukan kepada Ratu Balqis, surat itu dimulai dengan basmalah, nama
dan diakhiri ajakan masuk ke dalam agama yang benar, dia menjanjikan adzab yang
pedih jika Ratu Balqis dan rakyatnya menolak. Selanjutnya, Nabi Sulaiman
memerintahkan burung hud-hud untuk mengantarkan surat itu dengan cara melemparkannya
tepat ke dalam istana Ratu Balqis, setelah itu ia bersembunyi sambil menunggu
respon mereka terhadap surat itu.[22]
Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis tersebut
didiktekan kepada Asaf ibn Barakhiyah, dan disegel dengan aroma minyak yang
sangat harum, kemudian burung hud-hud membawanya ke istana sang ratu. Masuk
melalui jendela yang terbuka menuju ruang pribadinya sedang dia dalam keadaan
tidur. Hud-hud melemparkan surat itu tepat mengenai dadanya dan kemudian dengan
“sopan” terbang kembali dan hinggap di daun jendela menyaksikan semua peristiwa
untuk dilaporkan pada majikannya.[23]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 27-28
tersebut menceritakan bahwa Nabi Sulaiman as. tidak serta merta percaya
terhadap perkataan burung hud-hud akan tetapi Nabi Sulaiman menguji kebenaran
ucapan burung hud-hud dengan memerintahkannya untuk kembali ke negeri Saba’
untuk mengirimkan surat kemudian memperhatikan apa yang didiskusikan oleh Ratu
dan pemuka pemerintahannya.
Ayat 29-31
قَالَتْ يَا أَيُّهَا المَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ
إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ٢٩ إِنَّهُ
مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ٣٠ أَلَّا
تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ٣١
Berkatalah ia (Balqis): "Hai
pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang
mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya:
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang".
Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku
sebagai orang-orang yang berserah diri".
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat-ayat tersebut adalah, setelah menguraikan penugasan Nabi Sulaiman
as. kepada Hud-hud untuk mengantar surat beliau ke negeri Saba’ yang ketika itu
menyembah matahari, sang Hud-hud pun berangkat dan tiba di sana, serta langsung
melemparkan surat itu kepada Sang Ratu yang juga langsung membacanya, lalu
mengumpulkan para pejabat teras dan penasihat-penasihatnya. Dia berkata
kepada mereka: “hai para pemuka pemerintahan, sesungguhnya telah
dijatuhkan kepadaku dengan cara yang luar biasa sebuah surat yang mulia.
Sesungguhnya ia yakni surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya ia Bismilla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Bahwa janganlah
kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dengan enggan memenuhi
ajaranku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri karena
aku tidak melakukan sesuatu kecuali demi karena Allah sebagai Tuhan Penguasa
alam raya lagi satu-satunya Yang berhak disembah.[24]
Nabi
Sulaiman pada ayat yang lalu memerintahkan Hud-hud untuk menjatuhkan suratnya
kepada penduduk Saba’ atau para pemuka masyarakatnya. Ini dipahami dari ucapan
Nabi Sulaiman as. yang bertitah: “lalu jatuhkanlah kepada mereka”.
Sedang di sini yang dinyatakan oleh sang ratu bahwa dia yang menerima surat,
lalu surat itu dia bacakan atau sampaikan kepada para pemuka masyarakatnya.
Nah, apakah itu berarti bahwa sang Hud-hud tidak melaksanakan secara sempurna
perintah Nabi Sulaiman as? Tidak! Dia telah melaksanakannya dengan baik, karena
sang ratu adalah pemimpin kaumnya yang akan menyampaikan kepada para pemuka
masyarakatnya. Bahwa Nabi Sulaiman as. menyebut kata “mereka” karena
perhatian beliau bukan tertuju kepada sang Ratu atau kerajaannya, tetapi
tertuju kepada masyarakat yang menyembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa.[25]
Firman-Nya: Sesungguhnya
ia Bismilla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m, dipahami oleh banyak ulama dalam arti: Sesungguhnya ia yakni
isinya adalah Bismilla>h
al-Rah}ma>n al-Rah}i>m dan bahwa janganlah kamu berlaku sombong.[26]
Menurut M.
Quraish Shihab terjemahan kalimat basmalah seperti yang sudah popular
itu kurang jelas, khususnya kalimat “pengasih” dan penyayang”. Dua kata ini
sulit dibedakan maknanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kasih”
diartikan sebagai “perasaan sayang”, sementara kata “sayang” diartikan, antara
lain sebagai “kasihan”.[27]
Menurut M.
Quraish Shihab, terjemahan yang tepat dari kata al-Rah}ma>n al-Rah}i>m adalah “Yang melimpahkan kasih lagi Maha Pengasih”, atau “Yang
melimpahkan kasih di dunia bagi seluruh makhluk dan kasih di akhirat bagi yang
taat”.[28]
Penyebutan al-Rah}i>m setelah al-Rah}ma>n sebagaimana halnya dalam Q.S al-fa>tih}ah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah,
apapun bentuknya, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu yang
mengandung pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih
sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.[29]
Ketika
seseorang membaca al-Rah}ma>n dan al-Rah}i>m maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh
rahmat dan kasih sayang, dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar
keluar dalam bentuk perbuatan.[30]
Ayat-ayat di
atas dapat juga berarti “sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat
yang mulia.” Kemuliaan itu disebabkan karena sesungguhnya ia
bersumber dari raja yang amat agung yaitu Sulaiman dan di samping
itu sesungguhnya ia dimulai dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
atau diperatasnamakan Tuhan yang Rah}ma>n dan Rah}i>m. Kesimpulannya adalah janganlah berlaku
sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri.[31]
Ada juga
yang berpendapat bahwa penyifatan surat tersebut dengan kata kari>m/mulia karena secara lahiriah dia telah memenuhi sifat-sifat
terpuji yang sesuai tata cara surat menyurat.[32] Kata al-Kari>m terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’
dan mi>m, yang
mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai obyeknya.[33]
Surat tersebut tulisannya
sangat indah, sampulnya sangat rapi, isinya sangat singkat dan jelas dan
pembawanya yakni seekor burung sangat menakjubkan, apalagi caranya menyampaikan
pun sangat terhormat, serta hal-hal lahiriah yang menyertainya. Tetapi
sementara ulama menolak pendapat yang menyatakan sang Ratu mengetahui
pembawanya adalah burung. Ini, karena ketika Ratu menyampaikan kepada para
pemuka dan penasihatnya, dia tidak menyebut siapa yang menyampaikannya. Ia
menyampaikan kata yang berbentuk pasif “telah dijatuhkan kepadaku”.
Namun boleh jadi juga penggunaan bentuk tersebut, karena pada masa itu, burung
memang telah sering kali digunakan untuk mengantar surat-surat dan sangat
popular di kalangan masyarakat sehingga tidak perlu disebut.[34]
Bisa jadi
juga pujian tentang surat itu bersumber dari pengetahuan sang Ratu menyangkut
Nabi dan raja Sulaiman as. yang tentu popularitasnya telah tersebar ke mana-mana.
Disamping itu, isi surat tersebut sangat singkat, dan kandungannya lebih banyak
berkaitan dengan sifat Tuhan al-Rah}ma>n dan al-Rah}i>m yang diagungkan oleh Nabi Sulaiman as.,
bahkan tidak mustahil mereka pun mengagungkan-Nya, walau secara yang salah. Di
sisi lain, permintaan Nabi Sulaiman as. agar mereka tidak angkuh dan datang
kepada beliau menyerahkan diri, lebih banyak bertujuan untuk menunjukkan
kepatuhan bukan kepada beliau sebagai raja, tetapi kepada Allah seru sekalian
alam. Agaknya inilah salah satu sebab yang menjadikan sang Ratu menolak usul
para pemuka dan para penasihatnya, sebagaimana akan terbaca pada ayat berikut.[35]
Ratu Balqis
merupakan sosok penguasa yang sangat arif dan bijaksana. Hal ini dapat dilihat
dari penilaiannya terhadap surat Nabi Sulaiman yang mengajaknya untuk menyembah
Allah semata, berserah diri kepada-Nya, dan tidak sombong, sebagai surat mulia.
Memang, at}-T{aba>t}aba’i> misalnya, mengatakan bahwa Balqis bersikap demikian,
karena surat tersebut datang dari Nabi Sulaiman yang sudah dikenal
kekuasaannya, dan karena dalam surat itu disebut “nama Allah”, kendatipun
Balqis saat itu belum beriman. Akan tetapi menurut Sayyi>d Qut}b, Balqis menyebut surat itu sebagai surat mulia untuk
menghindari permusuhan dan perselisihan, meskipun tidak dengan terus terang.[36]
Dari uraian
di atas dapat dipahami bahwa ayat 29-31 menjelaskan, setelah ratu Balqis menerima
surat dari Nabi Sulaiman, dia mengatakan kepada pembesar-pembesarnya tentang
isi surat tersebut. Ratu mengatakan bahwa surat tersebut surat mulia
dikarenakan surat itu bersumber dari raja yang agung atau bisa jadi karena
surat itu secara lahiriah telah memenuhi sifat-sifat terpuji yang sesuai tata
cara menyurat atau karena untuk menghindari permusuhan. Isi surat tersebut
yaitu supaya ratu tidak sombong dan mau datang kepada Nabi Sulaiman sebagai
orang-orang yang berserah diri, bukan berserah diri kepada Nabi Sulaiman akan
tetapi berserah diri kepada Allah swt.
Ayat 32-33
قَالَتْ
يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى
تَشْهَدُونِ٣٢ قَالُوا نَحْنُ أُوْلُوا قُوَّةٍ وَأُولُوا بَأْسٍ شَدِيدٍ
وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ ٣٣
Berkatalah dia (Balqis): "Hai para
pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".
Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan
(juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada
di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat 32-33 tersebut adalah, setelah sang Ratu menyampaikan isi surat,
sumber dan cara penerimaannya, dia berkata: “hai para pemuka
pemerintahan , berilah aku pertimbangan dalam urusanku yang amat penting
ini aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan negara sekecil apapun, sebelum
kamu menyaksikan yakni berada dalam majelis ini, apalagi menyangkut
persoalan besar yang sedang kita hadapi ini. Sulaiman sang raja itu meminta
kita datang untuk tunduk patuh kepadanya. Mereka menjawab: “kita adalah bangsa
penyandang kekuatan fisik dan militer dan juga pemilik
ketangkasan dan keberanian yang kukuh dalam peperangan, namun
demikian, soal ini kami pulangkan kepada pandanganmu sedang keputusan akhir
terpulang kepadamu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan
dan kami semua siap melaksanakan putusanmu.”[37]
Ratu Balqis
memerintah secara bijaksana dan demokratis. Oleh karena itu, ia mendapatkan
dukungan dari para pembesar dan rakyatnya. Walaupun mampu membuat keputusan
tentang persoalan penting, ia tidak lupa berrmusyawarah terlebih dahulu dengan
para pembesar negeri itu. Misalnya, sewaktu akan menjawab surat Nabi Sulaiman
yang menyangkut soal perubahan keyakinan dan kelangsungan eksistensi negeri
Saba’, Ratu Balqis meminta pendapat para pembesar negeri tersebut.[38]
Keterangan
di atas memberikan pelajaran, meski Balqis memegang kekuasaan yang besar, ia
tetap demokratis. Ia memberikan kesempatan para pembantunya untuk memberikan
saran.[39]
Kepercayaan
para pembesar negeri itu untuk menyerahkan keputusan akhir di tangan Ratu
Balqis didasarkan pada keyakinan mereka, bahwa keputusan yang akan diambil ratu
mereka adalah keputusan yang terbaik bagi rakyat dan negeri Saba’.[40]
Dari uraian
di atas dapat dipahami bahwa ayat 32 tersebut menjelaskan bahwa setelah Ratu
menerima surat dan menyampaikan isinya, dia memusyawarahkan dengan para pemuka
pemerintahan apa yang akan dilakukan setelah menerima surat tersebut. Ratu
Balqis dalam pemerintahannya selalu memusyawarahkan persoalan dengan para
pemuka pemerintahan. Hal ini sebagaimana yang di katakan ratu Balqis dalam ayat
32 “aku tidak
pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”
Sementara
dalam ayat 33 dijelaskan bahwa para pemuka pemerintahan ratu Balqis menyarankan
untuk berperang karena mereka merasa memiliki kekuatan dan memiliki keberanian
dalam berperang, namun mereka tetap mengembalikan keputusan akhir kepada sang
ratu.
Ayat 34-35
قالَتْ
إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ
أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ٣٤ وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِم بِهَدِيَّةٍ
فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ ٣٥
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja
apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka
perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
(membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh
utusan-utusan itu".
Penafsiran
al-Mishbah terhadap ayat 34-35 tersebut adalah sesudah mempertimbangkan segala
segi, dan memperhatikan pula isi surat dan cara penyampaiannya, sang ratu tidak
cenderung berperang sebagaimana terkesan dari jawaban para penasihatnya. Dia
berkata: “sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri untuk
menyerang dan menguasainya, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
yang mulia dari penduduknya hina dan rakyat jelatanya menjadi sangat
menderita; dan demikian pulalah yang akan mereka yakni Sulaiman dan
tentaranya perbuat jika mereka menyerang dan kita kalah dalam
peperangan.”[41]
Setelah
mengingatkan tentang bahaya perang dan akibat-akibatnya, sang ratu melanjutkan
bahwa: “sesungguhnya aku akan menjawab suratnya dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka yakni Sulaiman dan juga pembesar
negara itu dengan membawa hadiah untuk masing-masing guna menunjukkan
keinginan kita berhubungan baik, dan selanjutnya aku akan menunggu
apa yakni laporan yang akan dibawa kembali oleh para utusan yang
kita utus membawa hadiah-hadiah itu.” Dengan demikian kita mengulur waktu
melihat tanggapan Sulaiman dan berpikir lebih jauh tentang langkah yang akan
kita ambil, apakah kita memerangi mereka atau kita berdamai.[42]
Setelah para
pembesar kerajaan memberikan pandangan tentang kekuatan dan keberanian yang
menunjukkan kecenderungan berperang, Balqis mengisyaratkan ketidaksetujuannya,
dengan menjelaskan akibat yang akan datang apabila terjadi peperangan. Balqis
menyadari bahwa peperangan akan mendatangkan banyak malapetaka. Karena itu, dia
berupaya mencari solusi terbaik, yaitu mengirimkan utusan yang membawa hadiah
kepada Nabi Sulaiman. Keputusan ini mencerminkan kepribadian perempuan yang
tidak menyukai peperangan, kekerasan dan lebih memilih menggunakan tipu daya
dan cara-cara halus sebelum menggelar kekuatan senjata.[43]
Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan
bentuk dan gambaran hadiah secara detail, tetapi disebutkan beberapa cirinya
saja. Dan, yang jelas bahwa hadiah itu sangat mahal. Ada beberapa analisa
mengapa Ratu Balqis mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman;
1.
Menunjukkan
bahwa Ratu Balqis seorang wanita yang bijak, dengan mengirimkan hadiah kepada
Nabi Sulaiman, ia ingin mempertahankan dan melanggengkan kerajaannya.
2.
Ratu
Balqis telah mendengar tentang Sulaiman dan kekuatannya, dan tindakan apa yang
telah diambilnya untuk orang-orang yang memeranginya. Sehingga, Ratu Balqis
ingin mengetahui seberapa banyak peluang untuk bekerjasama dengan Sulaiman,
juga untuk mengetahui jumlah pasukan yang dimilikinya.[44]
Beberapa orang menafsirkan keputusan
Ratu Balqis yang cenderung memilih untuk mengirimkan hadiah ketimbang
memperlihatkan kekuataan yang kasar sebagai politik feminim. Nur Jannah Ismail
memandang bahwa Ratu Balqis memiliki pengetahuan politik damai sekaligus
pengetahuan spiritual mengenai pesan unik Nabi Sulaiman, dan hal itu
menunjukkan dia memiliki kemampuan yang independen untuk memerintah secara
bijaksana dan diatur dengan baik untuk masalah-masalah spiritual.[45]
Penafsiran
al-Mishbah terhadap ayat 34 maupun penjelasan pendukung di atas memberikan
pengertian bahwa Ratu Balqis menolak usulan dari para pemuka pemerintahan,
karena peperangan akan membinasakan dan menjadikan penduduk hina apabila kalah
dalam peperangan. Kemudian dalam ayat 35 ratu mengemukakan pendapatnya bahwa
dia akan mengirim utusan untuk mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman dan para
pembesarnya untuk menunjukkan keinginan berhubungan baik sambil menunggu apa
yang akan dilaporkan oleh utusan-utusan tersebut.
Ayat 36-37
فَلَمَّا
جَاء سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ
مِّمَّا آتَاكُم بَلْ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ٣٦ ارْجِعْ إِلَيْهِمْ
فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَّا قِبَلَ لَهُم بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُم
مِّنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ٣٧
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman,
Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa
yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya
kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka
sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa
melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan
terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina".
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat 36-37 tersebut adalah setelah ayat yang lalu menguraikan
keputusan sang Ratu untuk mengirim hadiah kepada nabi Sulaiman as. dan para
pembesar kerajaannya. Ayat ini bagaikan menyatakan: Maka sang Ratu menjawab
surat Sulaiman dan mengirim utusan membawa hadiah-hadiah yang sangat banyak,
berharga dan menarik. Maka tatkala rombongan utusan itu sampai kepada
Sulaiman, dia berkata kepada mereka; “apakah patut kamu mendukung
aku dengan harta? Sungguh tidak patut! Ketahuilah bahwa aku tidak menyurati
meminta kamu semua datang dan berserah diri kepadaku karena mengharap harta,
tetapi tujuanku adalah ketaatan kepada Allah. Sungguh aku tidak membutuhkan
harta kamu karena apa yang dianugerahkan Allah kepadaku seperti
kenabian, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan harta benda lebih baik dari pada
apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu karena kamu hanya memliliki
kekuasaan terbatas lebih-lebih lagi karena kamu tidak memperoleh hidayah-Nya; tetapi
kamu akibat keterbatasan pengetahuan kamu tentang makna hidup dengan
hadiah yang kamu persembahkan kepadaku itu telah merasa bangga
dan menduga bahwa hadiah kamu adalah sesuatu yang sangat berharga, padahal ia
tidak demikian dalam pandanganku.[46]
Selanjutnya
Nabi Sulaiman as memerintahkan kepada pimpinan rombongan kerajaan Saba’ itu
bahwa: “kembalilah kepada mereka yakni kepada ratu dan siapapun yang
taat kepadanya. Sungguh, kami bersumpah bahwa kami akan mendatangi
mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa menghadapi dan
membendung-nya sehingga kami akan mengalahkan mereka, dan pasti kami
akan mengusir mereka darinya yakni dari negeri Saba’ tempat kediaman mereka
dengan tunduk patuh karena kekalahan mereka dan dalam keadaan mereka
terhina menjadi tawanan-tawanan perang. Ini bila mereka tidak datang dan
patuh kepada kami.”[47]
Nabi
Sulaiman menolak pemberian itu dan menyatakan ia tidak membutuhkannya karena
Allah telah memberinya kedudukan yang mulia, baik secara keduniawian maupun
spiritual.[48]
Berdasarkan
penafsiran di atas dapat dipahami bahwa ayat 36-37 menjelaskan bahwa setelah
utusan dari Ratu Balqis sampai kepada Nabi Sulaiman dan menyampaikan hadiahnya,
Nabi Sulaiman menolak dan mengatakan bahwa apa yang diberikan Allah kepada Nabi
Sulaiman itu lebih baik dari yang diberikan kepada ratu dan supaya mereka
pulang kepada ratu agar mereka (ratu dan rakyatnya) taat kepada Allah, jika
tidak maka Nabi Sulaiman dan bala tentaranya akan mendatangi kerajaan Ratu
Balqis dan menjadikannya hina karena tak mampu melawan Nabi Sulaiman dan bala
tentaranya.
Ayat38-39
قَالَ
يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَن يَأْتُونِي
مُسْلِمِينَ٣٨ قَالَ عِفْريتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن
تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ٣٩
Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar,
siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".
Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu
dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat
dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat
dipercaya".
Al-Qur’an
tidak menjelaskan apa yang terjadi setelah penolakan hadiah sang Ratu. Yang
pasti adalah rombongan itu kembali melaporkan pengalamannya kepada ratu.
Sementara riwayat menyatakan bahwa ratu Saba’ menyadari bahaya yang mengancam,
maka dia mengirim surat untuk menyampaikan kedatangannya. Ia kemudian berangkat
dengan ribuan pengikutnya setelah terlebih dahulu menutup rapat istananya dan
menyimpan sedemikian rupa singgasananya yang dinilai oleh burung Hud-hud sangat istimewa.[49]
Apapun yang
terjadi, yang jelas ayat di atas hanya menginformasikan bahwa Nabi Sulaiman as
menginginkan agar singgasana itu diangkut ke istananya di Palestina dan tiba di
tempat sebelum tibanya sang ratu. Di hadapan seluruh stafnya Nabi Sulaiman
bertitah. Dia berkata: “Hai para pemuka masyarakat kerajaanku, siapakah
di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku
yakni ke tempat ini, sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri dan menyerah?” Berkata ‘Ifrit yakni yang sangat cerdik
dan kuat dari jenis jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa-nya
sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu untuk pulang beristirahat; sesungguhnya
aku untuknya yakni untuk melaksanakan tugas itu benar-benar kuat
membawanya lagi tepercaya sehingga tidak akan kekurangan sedikit pun
dari apa yang kubawa itu.[50]
Berdasarkan
penafsiran diatas dapat dipahami bahwa ayat ayat 38-39 tersebut menjelaskan
bahwa Nabi Sulaiman ingin menghadirkan singgasana Ratu Balqis di istananya
dengan menanyakan kepada pembesar-pembesarnya siapa yang sanggup membawa
singgasana itu ke istana Nabi Sulaiman. Jin Ifrit mengatakan bahwa dia sanggup
membawa singgasana itu ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum Nabi berdiri dari
tempat duduknya.
Ayat 40
قَالَ
الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ
إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ
رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيم٤٠
Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab : "Aku akan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia
Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
ni'mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat 36-37 tersebut adalah setelah ayat sebelum ini menjelaskan
kesediaan dan kesanggupan jin untuk menghadirkan singgasana Ratu Saba’ dalam
tempo setengah hari. Ayat itu tidak mengemukakan tanggapan Nabi Sulaiman as.
atas ucapan sang ‘Ifrit. Rupanya ada tanggapan spontan dari seorang manusia
yang selama ini mengasah kalbunya dan yang dianugerahi oleh Allah swt ilmu.
Ayat di atas menjelaskan bahwa: berkatalah seseorang yang memiliki ilmu dari
al-Kitab: “Aku akan datang kepadamu dengannya yakni dengan membawa
singgasana itu kemari sebelum matamu berkedip.” Maka serta-merta, tanpa
menunggu tanggapan dari siapa pun, singgasana itu hadir di hadapan Nabi
Sulaiman as. dan tatkala dia melihatnya terletak dan benar-benar mantap di
hadapannya bukan berada jauh darinya, dia pun berkata: “ini yakni
kehadiran singgasana sesuai keinginanku termasuk karunia Tuhanku dari
sekian banyak karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepadaku. Karunia itu adalah untuk
menguji aku apakah aku bersyukur dengan mengakuinya sebagai anugerah atau
kufur yakni mengingkari nikmat-Nya, dengan menduga bahwa ia memang hakku
atau merupakan usahaku sendiri tanpa bantuan Allah. Dan barang siapa yang
bersyukur kepada Allah maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan
dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur maka itu adalah bencana buat
dirinya. Allah tidak bertambah kaya dengan kesyukuran hamba-Nya tidak pula
disentuh kekurangan dengan kekufuran mereka karena sesungguhnya Tuhan
Pemelihara dan Pembimbing-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”[51]
Penyifatan
Rabb dengan kari>m menunjukkan bahwa karam (anugerah
kemurahan-Nya dalam berbagai aspek), dikaitkan dengan rububiyah-Nya,
yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah
tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan
dan pemeliharaan. Dalam konteks ini menarik untuk dikemukakan bahwa kata karim
dirangkaikan dengan kata ghani (Maha Kaya), dan dikemukakan dalam
konteks kecaman kepada si kafir yang tidak mensyukuri anugerah-Nya, baik
anugerah yang terkesan biasa, maupun yang luar biasa. [52]
Firman Allah
dalam ayat 40 tersebut mengisyaratkan bahwa kemurahan Allah terhadap yang kafir
pun tetap tercurah. Kemurahan Allah antara lain tercermin pada sikapnya yang
tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi.[53]
Kesimpulan
dari penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 40 tersebut yaitu ada seorang yang mempunyai ilmu dari al-kitab
yang sanggup menghadirkan singgasana Ratu Balqis dalam sekejap mata. Hal itu
merupakan karunia yang diberikan Allah swt kepada hamba-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Mulia.
Ayat 41-42
قَالَ
نَكِّرُوا لَهَا عَرْشَهَا نَنظُرْ أَتَهْتَدِي أَمْ تَكُونُ مِنَ الَّذِينَ لَا
يَهْتَدُونَ٤١ فَلَمَّا جَاءتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ
وَأُوتِينَا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهَا وَكُنَّا مُسْلِمِينَ ٤٢
Dia berkata: "Ubahlah baginya
singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk
orang-orang yang tidak mengenal(nya)". Dan ketika Balqis datang,
ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu" Dia menjawab:
"Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri"
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat 41-42 tersebut yaitu singgasana Ratu Saba’ telah berada di
hadapan Nabi Sulaiman as. Setelah melihatnya dia berkata: “Ubahlah untuknya
singgasananya yakni ubahlah sedikit dari ornamen luarnya yang mengesankan
perbedaannya dengan singgasana sang Ratu itu; maka kita akan melihat apakah
dia mengenal bahwa itu adalah sebenarnya singgasananya yang telah diubah ataukah
dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal-nya dan dengan demikian, kita
dapat mengetahui ketelitian dan tingkat kecerdasan sang Ratu.” Dan ketika
dia yakni sang ratu datang, ditanyakanlah kepadanya: “serupa inikah
singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan ia yakni singgasana ini dia
yakni singgasanaku.”[54]
Rupanya sang
Ratu dengan kehadiran singgasananya di tempat yang tidak terduga itu serta
pertanyaan yang diajukan –rupanya- dia merasa bahwa kehadiran singgasana itu di
sana bertujuan untuk membuktikan kehebatan kerajaan Nabi Sulaiman as., karena
itu sang Ratu melanjutkan dengan berkata dan kami telah diberi ilmu
yakni pengetahuan tentang kehebatan dan mukjizat Nabi Sulaiman as. sebelumnya
yakni sebelum kami menyaksikan sendiri sekarang ini dan kami memang
sejak pertama adalah orang-orang yang berserah diri dan bersedia datang
kepada Sulaiman.[55]
Seperti yang
telah dikemukakan di atas, tujuan pengubahan itu adalah untuk menguji
ketelitian Ratu Saba’ serta ketepatan jawabannya. Ujian dilaksanakan ketika Ratu
baru saja sampai, dan dengan keyakinan penuh tentang keberadaan singgasananya
di satu tempat yang bukan di tempat itu, lalu dia ditanya tentang singgasana
yang berada di depan matanya. Pertanyaan disusun dengan sangat singkat: “serupa
inikah singgasanamu?”, bukan dengan bertanya “inikah singgasanamu?”, karena
pertanyaan demikian mengundang jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Jawabannya sungguh
tepat. Tidak mengiyakan atau menafikan, dan dalam saat yang sama membuka
kemungkinan untuk membenarkan dan mempersalahkannya. “Seakan-akan ia dia”
jawaban ini dinilai oleh banyak ulama di samping menunjukkan ketelitiannya juga
kekuatan mentalnya karena menjawab dengan tepat pada situasi seperti yang
dialami itu.[56]
Ternyata,
Bilqis menampakkan bagusnya pemahamannya dengan jawabannya yang tidak
memberikan kepastian “ya” atau “tidak”. Namun, ia menjawab, “Sepertinya iya,
seakan-akan singgasana ini adalah singgasanaku.” Ia melihat keserupaan
singgasana itu dengan singgasananya. Akan tetapi, bukankah ia tinggalkan
singgasananya di tujuh bangunan dalam keadaan terkunci dengan banyak penjaga?
Oleh karena itulah, ia tidak memastikan dan tidak pula mengingkarinya dengan
pasti.[57]
Muqatil rahimahullah dan
yang selainnya menjelaskan, sebenarnya Bilqis mengenalinya, tetapi karena
singgasana itu sudah disamarkan dan diubah, Bilqis pun menyamarkan jawabannya.
Seandainya ditanyakan kepadanya, “Apakah ini singgasanamu?”, bukan, “Serupa
inikah singgasanamu?”, niscaya ia mengiyakannya. Ini menunjukkan puncak
kecerdasan dan kepandaian Bilqis.[58]
Dan ini bukti dari kecerdikan
Balqis, sebab ketika ia menjawab dengan pernyataan itu sesungguhnya dia tidak
yakin bahwa bagaimana mungkin singgasana dapat berpindah tempat dalam waktu
yang begitu cepat. Namun dalam keraguan itu dia tidak memungkiri bahwa
singgasana itu mirip dengan kepunyaannnya. Dan memang sesungguhnya singgasana
adalah miliknya hanya telah diubah atas perintah Sulaiman.[59]
Fakta bahwa ratu Balqis mengenali
singgasana itu sebagai miliknya sendiri meskipun telah mengalami transormasi,
menjadi bukti kecerdasan dan kemampuan pemahamannya.[60]
Berdasarkan
uraian diatas ayat 41-42 tersebut menjelaskan bahwa singgasana sang Ratu telah
diubah sedikit dari ornamen luarnya, hal ini untuk menguji ketelitian ratu
Balqis dan ketika ratu Balqis baru saja sampai dia melihat singgasana itu
kemudian dia ditanya tentang singgasana tersebut dan dia menjawab secara
diplomatis “seakan-akan ini singgasanaku”.
Ayat 43
وَصَدَّهَا مَا كَانَت تَّعْبُدُ مِن دُونِ
اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِن قَوْمٍ كَافِرِينَ ٤٣
Dan
apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan
keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang
kafir.
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat 43 bahwa ayat tersebut menjelaskan sebab keterjerumusan Ratu
Balqis dalam penyembahan matahari. Ayat di atas menyatakan: sang ratu selama
berada di Yaman tidak mengesakan Allah, hal itu disebabkan karena setan
memperdayakannya dan apa yang dia sembah selama ini selain Allah,
telah mencegahnya untuk melahirkan keislamannya, karena sesungguhnya
dia dahulu sebelum pertemuannya dengan Nabi Sulaiman as. termasuk
orang-orang yang kafir.[61]
Pengulangan
kata ka>nat pada ayat di atas
mengisyaratkan betapa kukuh keyakinan Sang Ratu menyangkut ketuhanan matahari
dan betapa mantap penyembahannya. Ini disebabkan karena keyakinan itu telah
membudaya di kalangan masyarakat mereka, serta diwarisi dari generasi ke
generasi.[62]
Kesimpulan
dari penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 40 tersebut yaitu bahwa penyembahan Ratu Balqis dan penduduknya
terhadap matahari ini karena setan yang telah memperdayakan ratu dan
penduduk-penduduknya sehingga
mencegahnya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.
Ayat 44
قِيلَ
لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَن
سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّن قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي
ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٤٤
Dikatakan
kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat
lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua
betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin
terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman
kepada Allah, Rabb semesta alam".
Penafsiran al-Mishbah
terhadap ayat-ayat tersebut adalah setelah selesai “ujian pertama” yang telah
dilalui oleh sang ratu dengan sukses, kini dilanjutkan dengan ujian kedua,
dalam bentuk praktek. Ayat ini menjelaskan bahwa: Dikatakan oleh petugas
istana kepadanya yakni kepada Ratu kerajaan Saba’ itu: “silahkan, masuklah
ke dalam ruang terbuka istana.” Maka tatkala dia melihatnya
yakni melihat lantainya, dikiranya lantai itu kolam air yang besar,
padahal sebenarnya lantainya dibuat dari kaca yang sangat bening dan di bawah
lantai itu mengalir air –bahkan konon ikan-ikan- maka dia melanjutkan
perjalanannya dengan berhati-hati dan disingkapkannya kedua betisnya
agar bajunya tidak dibasahi oleh apa yang dikiranya air – konon dibukanya juga
alas kakinya – atau boleh jadi ketika itu dia tidak memakai alas kaki. Melihat
hal itu dia yakni Nabi Sulaiman as berkata kepada sang ratu: “sesungguhnya
ia yang engkau kira air adalah istana licin yang tebuat dari kaca
yang amat bening.” Melihat dan menyadari betapa agung Nabi Sulaiman as. dengan
ilmu serta kekayaannya, dia yakni sang ratu berkata: “Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menganiaya diriku yakni dengan membanggakan
kekuasaanku dan durhaka kepada Tuhan dan aku berserah diri bersama
Nabi-Mu Sulaiman kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan Pemelihara dan
Pengendali semesta alam.”[63]
Ucapan ratu
Saba’ itu dinilai oleh sementara ulama sebagai mengandung dua sisi. Sisi pertama
adalah penyucian diri dari segala keyakinan yang salah serta aneka kedurhakaan,
dan ini tercermin dari kalimat sesungguhnya aku telah menganiaya diriku
dan yang kedua menghiasi diri dengan keyakinan yang benar serta
pengamalan yang baik dan ini tercermin oleh ucapannya dan aku berserah diri
bersama sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam. Penyebutan nama Sulaiman
mengisyaratkan bahwa ia mengikuti beliau dalam ajaran agama yang dibawanya.[64]
Menurut
Jayusman Djusar, menyaksikan kemuliaan, keagungan serta karunia Allah yang
dilimpahkan kepada nabi Sulaiman, maka berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Ini adalah jawaban yang
cerdas dan cemerlang pemikirannya. Di saat ia harus mengaku kekuatan dan
kekuasaan lawannya, ia tidak langsung mengakui kebesaran lawannya tetapi ia
merangkulnya dan menundukkan diri kepada Dhat yang lebih tinggi dari
pada Sulaiman yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.[65]
Sementara
menurut Nurjannah Ismail, Ratu Balqis adalah orang yang rendah hati dan berjiwa
besar. Ia cepat memenuhi panggilan kebenaran berdasarkan pengetahuan, bukan
berdasarkan perasaan sebagaimana tersirat dalam ayat 44 tersebut. Bahkan Ratu
Balqis mengakui dengan terus terang kesalahan yang dilakukan sebelumnya dalam
hal tidak berserah diri kepada Allah.[66]
Di sisi
lain, kisah dalam ayat 44 tersebut menurut Barbara Freyer Stowasser menunjukkan
bahwa Ratu Balqis mengajarkan bahwa Islam adalah penyerahan diri secara total
kepada Allah, bukan kepada seorang pemimpin,bahkan bukan kepada seorang nabi,
tetapi hanya kepada Allah, yang dalam pandangan-Nya semua mukmin adalah sama.[67]
Pengalaman Ratu
Balqis menemukan kepercayaan tauhid setelah berdialog dengan realitas yang
menunjukkan kemahakuasaan Allah, memantapkan langkahnya untuk mengajak rakyat
Saba’ kepada akidah yang benar. Maka, di bawah kepemmpinan Ratu Balqis, negeri
Saba’ menjadi negeri yang makmur dan rakyatnya mendapat kesejahteraan lahir dan
batin.[68]
Al-Qur’an menerangkan kebijakan yang
dilakukan oleh Ratu Balqis dalam memerintah rakyatnya, yaitu dalam
kepemimpinannya dia dikenal sangat piawai dan dikenal sukses gemilang,
negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Balqis mampu mengatur
Negara dengan sikap dan pandangannya yang demokratis[69]
yaitu ratu memusyawarahkan persoalan dengan para pembesarnya dan memperdulikan
keselamatan rakyatnya.
[1] Saiful Amin
Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an
(Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 236-238.
[3] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 15, Cet. V (Jakarta: Lentera Hati, 2006),
645.
[4] Lihat “Sekapur
Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), vii.
[5] Nashrudin
Bidan, Metode Penafsiran al-Qur’an:
Kajian Kritis terhadap Ayat-Ayat yang
Beredaksi Mirip, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68.
[6] Ibid., 68-69.
[7] Lihat “Sekapur
Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I, ix.
[8] Ibid.,
[10] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 10, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
210.
[11] Ali Audah, Nama
dan Kata dalam Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 628.
[12] Shihab, Tafsir al-Misbah, 211.
[13] Ibid.,
211.
[14] Ibid.,
212.
[15] Ibid.,
212.
[16] Bahtiar
Effendi, Mutiara Terpendam, Perempuan dalam Literature Islam dan Klasik
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 9.
[17] Sri Suhandjati
Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), 121.
[18] Amina Wadud,
terj., Abdullah Ali, Qur’an Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2006), 75.
[19] Shihab, Tafsir al-Misbah, 212-213.
[21] Shihab,
Tafsir al-Mishbah, 214.
[22] Mun’in, Pesona
Ratu Bilqis, 46.
[23]Barbara Freyer
Stowasser, terj. Mochtar Zoerni, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam
Al-Qur’an, Hadis dan Tafsir (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 159.
[24] Shihab, Tafsir al-Misbah, 215.
[26] Ibid.,
216.
[27] M. Quraish
Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), 365.
[28] Ibid.,
366.
[29] M. Quraish
Shihab, Al-Asma’ Al-Husna dalam Perspekti Al-Qur’an (Tangerang: Lentera
Hati, 2008), 33.
[30] Ibid.,
35.
[31] Shihab, Tafsir al-Misbah, 216.
[32] Ibid.,
216.
[33] Shihab, Al-Asma’
Al-Husna dalam Perspekti Al-Qur’an, 191.
[34] Shihab, Tafsir al-Misbah, 216.
[35] Ibid.,
216-217.
[36]Nurjannah
Ismail, Perempuan dalam pasungan (Yogyakarta: LKiS, 2002), 76-77.
[37] Shihab, Tafsir al-Misbah, 219.
[38] Sukri, Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender , 121-122.
[39] Hafidz
Muftisany, Ratu Balqis dari Saba Cermin Wanita Pemimpin, (online), http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/02/06/njcnzp-ratu-balqis-dari-saba-cermin-wanita-pemimpin,
Diakses tanggal 13 april 2015.
[40] Sukri, Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender , 122.
[41] Shihab, Tafsir al-Misbah, 220.
[42] Ibid., 220.
[43] Ismail, Perempuan
dalam pasungan, 77.
[44] Mun’in, Pesona
Ratu Bilqis, 47.
[45] Ismail, Perempuan
dalam Pasungan, 79.
[46] Shihab, Tafsir al-Misbah, 221-222.
[47] Ibid.,
222.
[48] Ismail, Perempuan
dalam Pasungan, 78.
[49]
Shihab, Tafsir al-Misbah, 224.
[50] Ibid.,
223-224.
[51] Shihab, Tafsir al-Misbah, 225-226.
[52] Shihab, Al-Asma’
Al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, 194.
[53] Ibid.,
194-195.
[54] Shihab, Tafsir al-Misbah, 228.
[55] Ibid.,
228-229.
[56] Ibid.,229.
[57] Ummu
Maryam Lathifah, Keislaman Sang Ratu Saba’, (online), http://qonitah.com/keislaman-sang-ratu-saba/, diakses tanggal 24 juni
2015.
[58] Ibid.
[59] Badrulhisyam, Nabi
Sulaiman dan Ratu Balqis, (online), http://muslimean.blogspot.com/2010/02/nabi-sulaiman-dan-ratu-balqis.html, diakses
tanggal 23 Juni 2015.
[60] Stowasser, terj.
Mochtar Zoerni. Reinterpretasi Gender, 160-161.
[61]
Shihab, Tafsir al-Misbah , 230.
[62] Ibid., 231.
[63] Ibid.,
231.
[64] Ibid.,
232.
[65] Jayusman Djusar, Ratu Balqis: Kisah Kepala Negara Super Power
dalam Al-Qur’an, (online), http://jayusmanfalak.blogspot.com/2009/06/ratu-balqis-sejarah-kepemimpinan.html,
diakses tanggal 23 Juni 2015.
[66] Ismail, Perempuan
dalam Pasungan, 79.
[67] Stowasser, terj.
Mochtar Zoerni, Reinterpretasi Gender,
165.
[68] Sukri, Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender, 123.
[69] Moh Rozi
Al-Amiri Mannan, Fiqih Perempuan (Yogyakrta: Pustaka Ilmu, 2011), 212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar