Rabu, 28 Oktober 2015

skripsi bagian inti refisi 1 bab 3

BAB III
KEPEMIMPINAN RATU BALQIS DALAM TAFSIR AL-MISHBAH

A.    Biografi M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944 M di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia putra dari Abdurrahman Shihab, seorang guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin serta tercatat sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan dasar di Ujungpandang, ia digembleng ayahnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1958 M, ia berangkat ke Kairo, Mesir, atas bantuan beasiswa dari pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967 M, pendidikan srata satu diselesaikan di Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadits. Pada tahun 1969 M, gelar M.A diraihnya di Universitas yang sama.
Quraish Shihab sempat kembali ke Indonesia, namun tidak lama, karena pada tahun 1980 M ia kembali lagi ke Universitas al-Azhar untuk menempuh program doktoral. Hanya dua tahun, 1982 M, waktu yang dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan srata tiga itu. Walaupun begitu, nilai akademiknya terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan tingkat I. Walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1984 M, ia kembali ke Indonesia dan mengajarkan ilmunya di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Di luar kampus, ia dipercaya menduduki beberapa jabatan penting, antara lain, Ketua MUI Pusat (sejak 1984 M), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989 M), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989 M), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VIII (1998 M).
Meski disibukkan dengan berbagai aktivitas akademik dan non-akademik, ia masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita, ia mengasuh rubric “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.[1]
Karena Muhammad Quraish Shihab dianggap sebagai penulis yang produktif, maka beliau menulis buku-buku yang telah beredar secara luas. Diantara karya beliau tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1984)
2.      Filsafat Hukum Islam (1987)
3.      Mahkota Tuntutan Ilahi: Tafsir Surah al-Baqarah (1988)
4.      Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992) 
5.      Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994)
6.      Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994)
7.      Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat (1995)
8.      Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1997)
9.      Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997)
10.  Hidangan Ilahi: Ayat-Ayat Tahlil (1997)
11.  Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Mu’amalah (1999)
12.  Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-Qur’an (2000)[2]
B.     Profil Tafsir Al-Mishbah
Tafsir al-Misbah adalah salah satu karya M. Quraish Shihab, yang mulai ditulis untuk pertama kalinya di Kairo Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’al-Awwal 1420 H/18 Juni 1999 M, selama kurang lebih 4 tahun hingga selesai pada hari Jum’at 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September 2003 di Jakarta. Tafsir al-Misbah merupakan karya ilmiah M. Quraish Shihab yang berawal dari anjuran teman-temannya saat berada di Mesir sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh. Awalnya ia enggan untuk merealisasikan ide penulisan tafsir ini. Namun, iklim ilmiah yang sangat subur yang ia temukan di al-Azhar Mesir mendorongnya mewujudkan ide penulisan tafsir ini. Di samping itu, pendorong niat itu berasal surat pembaca dalam berbagai topik yang diterimannya, yang sungguh menggugah hati dan membulatkan tekadnya untuk menyusun Tafsir al-Misbah.[3]
Pada mulanya, tafsir ini ditulis secara sederhana, bahkan tidak lebih dari tiga volume, namun karena kenikmatan ruhani yang dirasakan oleh penulisnya bersama Al-Qur’an, membuat karya ini mencapai lima belas volume. Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan harapan dan kebutuhan pembacanya. Para pakar Al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan Al-Qur’an. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan metode Maudu’i atau tematik. Metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Ia lahir setelah para pakar menyadari bahwa metode yang diterapkan sebelumnya sangat menyita waktu bahkan menghidangkan aneka informasi yang tidak selalu dibutuhkan oleh pembacanya. Karena banyaknya tema yang dikandung oleh kitab suci umat Islam itu, maka tentu saja pengenalan menyeluruh tidak mungkin terpenuhi, paling tidak, hanya pada tema-tema yang dibahas itu.[4]
Tafsir al-Misbah termasuk tafsir yang menggunakan metode analitis,[5] yang berbentuk tafsir bi al-ra’y, yakni metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan barbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassirnya. Penerapan metode ini adalah dengan menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut  berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi Saw, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya.[6]
Tafsir al-Misbah menghidangkan uraian dengan gaya dan penekanan yang berbeda, yakni tafsir ini barusaha menghidangkan bahasan setiap surat pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika mampu memperkenalkan tema-tema pokok itu, maka secara umum dapat memperkenalkan pula pesan utama setiap surat, dan dengan memperkenalkan ke 114 surat, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.[7]
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan penulisnya. Boleh jadi, kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya walau telah mengkaji terjemahnya. Maka, dengan menjelaskan tema pokok surat-surat al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat itu akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang.[8]
Untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an, seringkali memerlukan penyisipan-penyisipan kata atau kalimat, namun penyisipan-penyisipan  itu bukan merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an. Tafsir al-Misbah ini memiliki cara penulisan tafsir yang unik, seperti yang disebut, yakni memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan Italic Letter (tulisan miring), dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal. Di samping itu, dengan menampilkan penafsiran atau kesan-kesan tertentu untuk ayat-ayat tertentu, sama sekali bukan berarti memilah-milah al-Qur’an, yakni menganggap penting yang satu dan menganggap kurang penting yang lainnya, tetapi semata-mata karena yang demikian itulah kesan atau informasi dari curah pikir yang diperoleh M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah ini juga bukan semata-mata sepenuhnya hasil ijtihad M. Quraish Shihab, namun disertai dengan pandangan-pandangan ulama terdahulu dan kontemporer yang banyak dinukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i, yang  karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis Tafsir al-Misbah ini, M. Quraish Shihab.[9]     
C.    Kepemimpinan Ratu Balqis dalam Tafsir Al-Mishbah Surat Al-Naml ayat 22-44
Kisah tentang kepemimpinan Ratu Balqis dimulai dari laporan burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman as. yang tergambar dalam Q.S Surat Al-Naml ayat 22-44.
Ayat 22-23
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ٢٢ إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ ٢٣

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”

Dalam Tafsir al-Mishbah pada ayat 21 menggambarkan Nabi Sulaiman as. mencari burung Hud-hud dan mengancam bahkan bersumpah untuk menyiksa atau membunuhnya, kemudian pada ayat ke 22 maka tidak lama kemudian setelah Nabi Sulaiman as. bersumpah itu datanglah Hud-hud lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui pengetahuan yang menyeluruh tentang sesuatu yang engkau belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ yang berlokasi di Yaman suatu berita penting yang meyakinkan yakni yang pasti benar. Sesungguhnya aku menemukan seorang wanita (yang konon bernama Balqis putri Shurahil) yang memerintah mereka yakni penduduk negeri Saba’ itu, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.[10]
Saba’ dalam prasasti-prasasti Arab bagian selatan meliputi nama kaum, kerajaan dan wilayah. Kaum Saba’ dikenal sebagai pedagang-pedagang besar, mengarungi sahara jauh sampai ke luar daerah mereka sendiri.[11] Saba’ adalah satu kerajaan di Yaman, Arab Selatan pada abad VIII SM. Terkenal dengan peradabannya yang tinggi. Salah satu penguasanya adalah Ratu Balqis yang semasa dengan Nabi Sulaiman as. Negeri Yaman dikenal juga dengan nama al-‘Arab al-Sa’idah / Negeri Arab yang Bahagia”. Al-Qur’an melukiskannya sebagai Baldah al-T}ayyi>b wa Rabb al Ghafu>r. Lokasinya yang strategis menghubungkan negeri ini dengan dataran India, Ethiopia, Somalia, Suriah dan Irak.[12]
Ucapan hud-hud
أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
“aku telah mengetahui sesuatu yang engkau belum mengetahuinya”, mengisyaratkan kepada Nabi Sulaiman as. bahwa betapapun beliau dianugerahi kekuasaan yang demikian besar, tetapi itu bukan berarti bahwa segala kekuasaan atau pengetahuan telah beliau miliki. Masih banyak yang lain yang tersembunyi dan yang boleh jadi diketahui oleh siapa yang lebih rendah kedudukannya. Ini adalah pelajaran berharga buat setiap orang agar tidak merasa mengetahui segalanya atau enggan bertanya apalagi kepada bawahannya.[13]
Kalimat:
أُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“dia dianugerahi segala sesuatu

Dia dianugerahi segala sesuatu  bukan dalam pengertian umum, tetapi dianugerahi segala sesuatu yang dapat menjadikan kekuasaannya langgeng, kuat dan besar. Misalnya tanah yang subur, penduduk yang taat, kekuatan bersenjata yang tangguh, serta pemerintahan yang stabil.[14]

Kalimat
عَرْشٌ عَظِيمٌ
“singgasana yang besar”
Singgasana yang besar secara khusus disebut di sini, karena singgasana mencerminkan kehebatan kerajaan.[15] Oleh al-T}abari, Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta kerajaan yang sangat adidaya/super power (laha> ‘arsh al ‘az}i>m) dan tidak pernah ada kata laha> ‘arsh al ‘az}i>m dalam ayat yang lain yang berkisar tentang kerajaan.[16]
Ratu Balqis dilukiskan sebagai penguasa yang mampu membawa rakyatnya kepada kesejahteraan jasmani dan rohani sehingga negeri Saba’ dikenal memiliki tanah yang subur dan penduduknya mampu mengolah kekayaan buminya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hasil pertaniannya melimpah dan memiliki jaringan perdagangan yang luas sehingga rakyat merasakan kesejahteraan dan kemakmuran.[17]
Walaupun Q.S Al-Naml ayat 23 benar-benar menyebutkan bahwa Balqis adalah “seorang perempuan” yang memerintah (barang kali sebagai keanehan), namun hal ini tidak lebih merupakan sebuah kutipan pernyataan dari Hud-hud yang telah mengamatinya. Di luar identifikasi atas dirinya sebagai perempuan, tidak pernah disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, pembatasan atau pengkhususan terhadapnya sebagai seorang perempuan yang memimpin.[18]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 22-23 tersebut menggambarkan burung hud-hud yang melaporkan kepada Nabi Sulaiman As. bahwa ada seorang perempuan yang menjadi pemimpin negara yang mempunyai singgasana yang besar dan dianugerahi segala sesuatu yang dapat menjadikan kekuasaannya langgeng dan kuat serta mampu membawa penduduknya kepada kesejahteraan.


Ayat 24-26
وَجَدتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِن دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُون٢٤َ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُون٢٥َ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيم٢٦ِ    

“Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai' Arsy yang besar."

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat-ayat tersebut adalah setelah menguraikan kehebatan kerajaan Saba’ dari segi material, kini sang Hud-hud menguraikan kelemahannya dari segi spiritual, karena itu sekali lagi ia mengulangi kata aku menemukannya yakni aku menemukan sang ratu itu, dan kaumnya semua penduduk kerajaan Saba’ menyembah matahari, yakni mempertuhannya selain Allah Yang Maha Esa; dan setan telah memperindah untuk mereka perbuatan-perbuatan mereka yakni penyembahan matahari dan bintang-bintang, sehingga mereka menganggapnya baik dan benar lalu menghalangi mereka dari jalan Allah padahal tiada kebahagiaan kecuali dengan menelusuri jalan-Nya, sehingga dengan demikian mereka tidak mendapat hidayah menuju kebahagiaan, bahkan mereka terus menerus dalam kesesatan. Setan memperindah hal-hal tersebut agar mereka tidak sujud dan patuh dalam melaksanakan tuntunan Allah padahal Dialah Yang senantiasa mengeluarkan apa saja yang tersembunyi di langit seperti benda-benda angkasa yang dari saat ke saat diperlihatkan Allah sehingga diketahui wujudnya setelah tadinya tidak diketahui. Demikian juga hujan dan mengeluarkan pula apa yang tersembunyi dan terpendam di bumi seperti air, minyak, barang-barang tambang dan lain-lain, dan Yang senantiasa mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Itulah Allah, tiada Tuhan Pemilik, Pengendali dan Pengatur alam raya yang berhak disembah kecuali Dia, Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan singgasana siapa pun dan di mana pun.[19]
Berita tentang kepemimpinan Ratu Balqis ini merupakan berita yang sangat penting dan cukup untuk menjadi syafaat bagi Hud-hud di hadapan Sulaiman, mengingat asas dari kerajaannya adalah jihad, menyeru manusia kepada jalan Allah dan mengajak mereka sujud hanya kepada-Nya.[20]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam ayat 24-26 tersebut masih menggambarkan tentang laporan burung hud tentang perempuan yang menjadi pemimpin, yaitu Ratu Balqis. Burung hud-hud mengatakan bahwa Ratu dan penduduknya menyembah matahari dan setanlah yang menjadikan mereka menganggap bahwa apa yang mereka sembah itu telah benar.
Ayat 27-28
قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ٢٧ اذْهَب بِّكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهْ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ٢٨  

Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan."
Terhadap ayat 27-28 tersebut, M. Quraish Shihab memberikan penafsiran bahwa ketika mendengar keterangan burung Hud-hud, Nabi Sulaiman as. tidak langsung mengambil keputusan untuk membenarkan atau mempersalahkannya. Namun demikian beliau bersegera mengambil langkah apalagi laporan Hud-hud berkaitan dengan keyakinan batil dari satu masyarakat. Di sisi lain, masyarakat itu di bawah satu kekuasaan yang tangguh dan berada tidak jauh dari lokasi pemerintahan Nabi Sulaiman as., yang ketika itu berada di Palestina. Karena itu dalam rangka menguji kebenaran Hud-hud sambil mengetahui lebih banyak tentang masyarakat tersebut dia berkata: “Akan kami lihat yakni selidiki dan pikirkan dengan matang, apakah engkau wahai Hud-hud telah berkata benar tentang kaum Saba’ itu, ataukah engkau termasuk salah satu dari kelompok para pendusta. Pergilah dengan membawa suratku ini ke negeri yang engkau laporkan itu, lalu begitu engkau sampai jatuhkanlah surat itu kepada mereka, kemudian setelah itu berpalinglah dari mereka menuju satu tempat terlindung tetapi tidak jauh dari mereka sehingga engkau dapat mengetahui pembicaraan mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka diskusikan menyangkut isi surat yang engkau sampaikan itu.”[21]
Ketika burung hud-hud menghadirkan berita penting dari negeri saba, juga tentang penyembahan mereka terhadap matahari, Sulaiman ingin mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Karena itu, dia menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Ratu Balqis, surat itu dimulai dengan basmalah, nama dan diakhiri ajakan masuk ke dalam agama yang benar, dia menjanjikan adzab yang pedih jika Ratu Balqis dan rakyatnya menolak. Selanjutnya, Nabi Sulaiman memerintahkan burung hud-hud untuk mengantarkan surat itu dengan cara melemparkannya tepat ke dalam istana Ratu Balqis, setelah itu ia bersembunyi sambil menunggu respon mereka terhadap surat itu.[22]
Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis tersebut didiktekan kepada Asaf ibn Barakhiyah, dan disegel dengan aroma minyak yang sangat harum, kemudian burung hud-hud membawanya ke istana sang ratu. Masuk melalui jendela yang terbuka menuju ruang pribadinya sedang dia dalam keadaan tidur. Hud-hud melemparkan surat itu tepat mengenai dadanya dan kemudian dengan “sopan” terbang kembali dan hinggap di daun jendela menyaksikan semua peristiwa untuk dilaporkan pada majikannya.[23]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 27-28 tersebut menceritakan bahwa Nabi Sulaiman as. tidak serta merta percaya terhadap perkataan burung hud-hud akan tetapi Nabi Sulaiman menguji kebenaran ucapan burung hud-hud dengan memerintahkannya untuk kembali ke negeri Saba’ untuk mengirimkan surat kemudian memperhatikan apa yang didiskusikan oleh Ratu dan pemuka pemerintahannya.
Ayat 29-31
قَالَتْ يَا أَيُّهَا المَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ٢٩ إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ٣٠ أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ٣١

Berkatalah ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat-ayat tersebut adalah, setelah menguraikan penugasan Nabi Sulaiman as. kepada Hud-hud untuk mengantar surat beliau ke negeri Saba’ yang ketika itu menyembah matahari, sang Hud-hud pun berangkat dan tiba di sana, serta langsung melemparkan surat itu kepada Sang Ratu yang juga langsung membacanya, lalu mengumpulkan para pejabat teras dan penasihat-penasihatnya. Dia berkata kepada mereka: “hai para pemuka pemerintahan, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku dengan cara yang luar biasa sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya ia yakni surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya ia Bismilla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dengan enggan memenuhi ajaranku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri karena aku tidak melakukan sesuatu kecuali demi karena Allah sebagai Tuhan Penguasa alam raya lagi satu-satunya Yang berhak disembah.[24]
Nabi Sulaiman pada ayat yang lalu memerintahkan Hud-hud untuk menjatuhkan suratnya kepada penduduk Saba’ atau para pemuka masyarakatnya. Ini dipahami dari ucapan Nabi Sulaiman as. yang bertitah: “lalu jatuhkanlah kepada mereka”. Sedang di sini yang dinyatakan oleh sang ratu bahwa dia yang menerima surat, lalu surat itu dia bacakan atau sampaikan kepada para pemuka masyarakatnya. Nah, apakah itu berarti bahwa sang Hud-hud tidak melaksanakan secara sempurna perintah Nabi Sulaiman as? Tidak! Dia telah melaksanakannya dengan baik, karena sang ratu adalah pemimpin kaumnya yang akan menyampaikan kepada para pemuka masyarakatnya. Bahwa Nabi Sulaiman as. menyebut kata “mereka” karena perhatian beliau bukan tertuju kepada sang Ratu atau kerajaannya, tetapi tertuju kepada masyarakat yang menyembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa.[25]
Firman-Nya: Sesungguhnya ia Bismilla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m, dipahami oleh banyak ulama dalam arti: Sesungguhnya ia yakni isinya adalah Bismilla>h al-Rah}ma>n al-Rah}i>m dan bahwa janganlah kamu berlaku sombong.[26]
Menurut M. Quraish Shihab terjemahan kalimat basmalah seperti yang sudah popular itu kurang jelas, khususnya kalimat “pengasih” dan penyayang”. Dua kata ini sulit dibedakan maknanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kasih” diartikan sebagai “perasaan sayang”, sementara kata “sayang” diartikan, antara lain sebagai “kasihan”.[27]
Menurut M. Quraish Shihab, terjemahan yang tepat dari kata al-Rah}ma>n al-Rah}i>m adalah “Yang melimpahkan kasih lagi Maha Pengasih”, atau “Yang melimpahkan kasih di dunia bagi seluruh makhluk dan kasih di akhirat bagi yang taat”.[28]
Penyebutan al-Rah}i>m setelah al-Rah}ma>n sebagaimana halnya dalam Q.S al-fa>tih}ah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah, apapun bentuknya, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu yang mengandung pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.[29]
Ketika seseorang membaca al-Rah}ma>n dan al-Rah}i>m maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang, dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar keluar dalam bentuk perbuatan.[30]
Ayat-ayat di atas dapat juga berarti “sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.” Kemuliaan itu disebabkan karena sesungguhnya ia bersumber dari raja yang amat agung yaitu Sulaiman dan di samping itu sesungguhnya ia dimulai dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atau diperatasnamakan Tuhan yang Rah}ma>n dan Rah}i>m. Kesimpulannya adalah janganlah berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri.[31]
Ada juga yang berpendapat bahwa penyifatan surat tersebut dengan kata kari>m/mulia karena secara lahiriah dia telah memenuhi sifat-sifat terpuji yang sesuai tata cara surat menyurat.[32] Kata al-Kari>m terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’ dan mi>m, yang mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai obyeknya.[33] Surat tersebut tulisannya sangat indah, sampulnya sangat rapi, isinya sangat singkat dan jelas dan pembawanya yakni seekor burung sangat menakjubkan, apalagi caranya menyampaikan pun sangat terhormat, serta hal-hal lahiriah yang menyertainya. Tetapi sementara ulama menolak pendapat yang menyatakan sang Ratu mengetahui pembawanya adalah burung. Ini, karena ketika Ratu menyampaikan kepada para pemuka dan penasihatnya, dia tidak menyebut siapa yang menyampaikannya. Ia menyampaikan kata yang berbentuk pasif “telah dijatuhkan kepadaku”. Namun boleh jadi juga penggunaan bentuk tersebut, karena pada masa itu, burung memang telah sering kali digunakan untuk mengantar surat-surat dan sangat popular di kalangan masyarakat sehingga tidak perlu disebut.[34]
Bisa jadi juga pujian tentang surat itu bersumber dari pengetahuan sang Ratu menyangkut Nabi dan raja Sulaiman as. yang tentu popularitasnya telah tersebar ke mana-mana. Disamping itu, isi surat tersebut sangat singkat, dan kandungannya lebih banyak berkaitan dengan sifat Tuhan al-Rah}ma>n dan al-Rah}i>m yang diagungkan oleh Nabi Sulaiman as., bahkan tidak mustahil mereka pun mengagungkan-Nya, walau secara yang salah. Di sisi lain, permintaan Nabi Sulaiman as. agar mereka tidak angkuh dan datang kepada beliau menyerahkan diri, lebih banyak bertujuan untuk menunjukkan kepatuhan bukan kepada beliau sebagai raja, tetapi kepada Allah seru sekalian alam. Agaknya inilah salah satu sebab yang menjadikan sang Ratu menolak usul para pemuka dan para penasihatnya, sebagaimana akan terbaca pada ayat berikut.[35]
Ratu Balqis merupakan sosok penguasa yang sangat arif dan bijaksana. Hal ini dapat dilihat dari penilaiannya terhadap surat Nabi Sulaiman yang mengajaknya untuk menyembah Allah semata, berserah diri kepada-Nya, dan tidak sombong, sebagai surat mulia. Memang, at}-T{aba>t}aba’i> misalnya, mengatakan bahwa Balqis bersikap demikian, karena surat tersebut datang dari Nabi Sulaiman yang sudah dikenal kekuasaannya, dan karena dalam surat itu disebut “nama Allah”, kendatipun Balqis saat itu belum beriman. Akan tetapi menurut Sayyi>d Qut}b, Balqis menyebut surat itu sebagai surat mulia untuk menghindari permusuhan dan perselisihan, meskipun tidak dengan terus terang.[36]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 29-31 menjelaskan, setelah ratu Balqis menerima surat dari Nabi Sulaiman, dia mengatakan kepada pembesar-pembesarnya tentang isi surat tersebut. Ratu mengatakan bahwa surat tersebut surat mulia dikarenakan surat itu bersumber dari raja yang agung atau bisa jadi karena surat itu secara lahiriah telah memenuhi sifat-sifat terpuji yang sesuai tata cara menyurat atau karena untuk menghindari permusuhan. Isi surat tersebut yaitu supaya ratu tidak sombong dan mau datang kepada Nabi Sulaiman sebagai orang-orang yang berserah diri, bukan berserah diri kepada Nabi Sulaiman akan tetapi berserah diri kepada Allah swt.


Ayat 32-33
قَالَتْ يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ٣٢ قَالُوا نَحْنُ أُوْلُوا قُوَّةٍ وَأُولُوا بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ ٣٣

Berkatalah dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)". Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 32-33 tersebut adalah, setelah sang Ratu menyampaikan isi surat, sumber dan cara penerimaannya, dia berkata: “hai para pemuka pemerintahan , berilah aku pertimbangan dalam urusanku yang amat penting ini aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan negara sekecil apapun, sebelum kamu menyaksikan yakni berada dalam majelis ini, apalagi menyangkut persoalan besar yang sedang kita hadapi ini. Sulaiman sang raja itu meminta kita datang untuk tunduk patuh kepadanya. Mereka menjawab: “kita adalah bangsa penyandang kekuatan fisik dan militer dan juga pemilik ketangkasan dan keberanian yang kukuh dalam peperangan, namun demikian, soal ini kami pulangkan kepada pandanganmu sedang keputusan akhir terpulang kepadamu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan dan kami semua siap melaksanakan putusanmu.”[37]
Ratu Balqis memerintah secara bijaksana dan demokratis. Oleh karena itu, ia mendapatkan dukungan dari para pembesar dan rakyatnya. Walaupun mampu membuat keputusan tentang persoalan penting, ia tidak lupa berrmusyawarah terlebih dahulu dengan para pembesar negeri itu. Misalnya, sewaktu akan menjawab surat Nabi Sulaiman yang menyangkut soal perubahan keyakinan dan kelangsungan eksistensi negeri Saba’, Ratu Balqis meminta pendapat para pembesar negeri tersebut.[38]
Keterangan di atas memberikan pelajaran, meski Balqis memegang kekuasaan yang besar, ia tetap demokratis. Ia memberikan kesempatan para pembantunya untuk memberikan saran.[39]
Kepercayaan para pembesar negeri itu untuk menyerahkan keputusan akhir di tangan Ratu Balqis didasarkan pada keyakinan mereka, bahwa keputusan yang akan diambil ratu mereka adalah keputusan yang terbaik bagi rakyat dan negeri Saba’.[40]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ayat 32 tersebut menjelaskan bahwa setelah Ratu menerima surat dan menyampaikan isinya, dia memusyawarahkan dengan para pemuka pemerintahan apa yang akan dilakukan setelah menerima surat tersebut. Ratu Balqis dalam pemerintahannya selalu memusyawarahkan persoalan dengan para pemuka pemerintahan. Hal ini sebagaimana yang di katakan ratu Balqis dalam ayat 32 “aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”
Sementara dalam ayat 33 dijelaskan bahwa para pemuka pemerintahan ratu Balqis menyarankan untuk berperang karena mereka merasa memiliki kekuatan dan memiliki keberanian dalam berperang, namun mereka tetap mengembalikan keputusan akhir kepada sang ratu.
Ayat 34-35
قالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ٣٤ وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِم بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ ٣٥

Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 34-35 tersebut adalah sesudah mempertimbangkan segala segi, dan memperhatikan pula isi surat dan cara penyampaiannya, sang ratu tidak cenderung berperang sebagaimana terkesan dari jawaban para penasihatnya. Dia berkata: “sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri untuk menyerang dan menguasainya, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan yang mulia dari penduduknya hina dan rakyat jelatanya menjadi sangat menderita; dan demikian pulalah yang akan mereka yakni Sulaiman dan tentaranya perbuat jika mereka menyerang dan kita kalah dalam peperangan.”[41]
Setelah mengingatkan tentang bahaya perang dan akibat-akibatnya, sang ratu melanjutkan bahwa: “sesungguhnya aku akan menjawab suratnya dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka yakni Sulaiman dan juga pembesar negara itu dengan membawa hadiah untuk masing-masing guna menunjukkan keinginan kita berhubungan baik, dan selanjutnya aku akan menunggu apa yakni laporan yang akan dibawa kembali oleh para utusan yang kita utus membawa hadiah-hadiah itu.” Dengan demikian kita mengulur waktu melihat tanggapan Sulaiman dan berpikir lebih jauh tentang langkah yang akan kita ambil, apakah kita memerangi mereka atau kita berdamai.[42]
Setelah para pembesar kerajaan memberikan pandangan tentang kekuatan dan keberanian yang menunjukkan kecenderungan berperang, Balqis mengisyaratkan ketidaksetujuannya, dengan menjelaskan akibat yang akan datang apabila terjadi peperangan. Balqis menyadari bahwa peperangan akan mendatangkan banyak malapetaka. Karena itu, dia berupaya mencari solusi terbaik, yaitu mengirimkan utusan yang membawa hadiah kepada Nabi Sulaiman. Keputusan ini mencerminkan kepribadian perempuan yang tidak menyukai peperangan, kekerasan dan lebih memilih menggunakan tipu daya dan cara-cara halus sebelum menggelar kekuatan senjata.[43]
Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan bentuk dan gambaran hadiah secara detail, tetapi disebutkan beberapa cirinya saja. Dan, yang jelas bahwa hadiah itu sangat mahal. Ada beberapa analisa mengapa Ratu Balqis mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman;
1.      Menunjukkan bahwa Ratu Balqis seorang wanita yang bijak, dengan mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman, ia ingin mempertahankan dan melanggengkan kerajaannya.
2.      Ratu Balqis telah mendengar tentang Sulaiman dan kekuatannya, dan tindakan apa yang telah diambilnya untuk orang-orang yang memeranginya. Sehingga, Ratu Balqis ingin mengetahui seberapa banyak peluang untuk bekerjasama dengan Sulaiman, juga untuk mengetahui jumlah pasukan yang dimilikinya.[44]
Beberapa orang menafsirkan keputusan Ratu Balqis yang cenderung memilih untuk mengirimkan hadiah ketimbang memperlihatkan kekuataan yang kasar sebagai politik feminim. Nur Jannah Ismail memandang bahwa Ratu Balqis memiliki pengetahuan politik damai sekaligus pengetahuan spiritual mengenai pesan unik Nabi Sulaiman, dan hal itu menunjukkan dia memiliki kemampuan yang independen untuk memerintah secara bijaksana dan diatur dengan baik untuk masalah-masalah spiritual.[45]
Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 34 maupun penjelasan pendukung di atas memberikan pengertian bahwa Ratu Balqis menolak usulan dari para pemuka pemerintahan, karena peperangan akan membinasakan dan menjadikan penduduk hina apabila kalah dalam peperangan. Kemudian dalam ayat 35 ratu mengemukakan pendapatnya bahwa dia akan mengirim utusan untuk mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman dan para pembesarnya untuk menunjukkan keinginan berhubungan baik sambil menunggu apa yang akan dilaporkan oleh utusan-utusan tersebut.
Ayat 36-37
فَلَمَّا جَاء سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِّمَّا آتَاكُم بَلْ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ٣٦ ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَّا قِبَلَ لَهُم بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُم مِّنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ٣٧

Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 36-37 tersebut adalah setelah ayat yang lalu menguraikan keputusan sang Ratu untuk mengirim hadiah kepada nabi Sulaiman as. dan para pembesar kerajaannya. Ayat ini bagaikan menyatakan: Maka sang Ratu menjawab surat Sulaiman dan mengirim utusan membawa hadiah-hadiah yang sangat banyak, berharga dan menarik. Maka tatkala rombongan utusan itu sampai kepada Sulaiman, dia berkata kepada mereka; “apakah patut kamu mendukung aku dengan harta? Sungguh tidak patut! Ketahuilah bahwa aku tidak menyurati meminta kamu semua datang dan berserah diri kepadaku karena mengharap harta, tetapi tujuanku adalah ketaatan kepada Allah. Sungguh aku tidak membutuhkan harta kamu karena apa yang dianugerahkan Allah kepadaku seperti kenabian, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan harta benda lebih baik dari pada apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu karena kamu hanya memliliki kekuasaan terbatas lebih-lebih lagi karena kamu tidak memperoleh hidayah-Nya; tetapi kamu akibat keterbatasan pengetahuan kamu tentang makna hidup dengan hadiah yang kamu persembahkan kepadaku itu telah merasa bangga dan menduga bahwa hadiah kamu adalah sesuatu yang sangat berharga, padahal ia tidak demikian dalam pandanganku.[46]
Selanjutnya Nabi Sulaiman as memerintahkan kepada pimpinan rombongan kerajaan Saba’ itu bahwa: “kembalilah kepada mereka yakni kepada ratu dan siapapun yang taat kepadanya. Sungguh, kami bersumpah bahwa kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa menghadapi dan membendung-nya sehingga kami akan mengalahkan mereka, dan pasti kami akan mengusir mereka darinya yakni dari negeri Saba’ tempat kediaman mereka dengan tunduk patuh karena kekalahan mereka dan dalam keadaan mereka terhina menjadi tawanan-tawanan perang. Ini bila mereka tidak datang dan patuh kepada kami.”[47]
Nabi Sulaiman menolak pemberian itu dan menyatakan ia tidak membutuhkannya karena Allah telah memberinya kedudukan yang mulia, baik secara keduniawian maupun spiritual.[48]
Berdasarkan penafsiran di atas dapat dipahami bahwa ayat 36-37 menjelaskan bahwa setelah utusan dari Ratu Balqis sampai kepada Nabi Sulaiman dan menyampaikan hadiahnya, Nabi Sulaiman menolak dan mengatakan bahwa apa yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman itu lebih baik dari yang diberikan kepada ratu dan supaya mereka pulang kepada ratu agar mereka (ratu dan rakyatnya) taat kepada Allah, jika tidak maka Nabi Sulaiman dan bala tentaranya akan mendatangi kerajaan Ratu Balqis dan menjadikannya hina karena tak mampu melawan Nabi Sulaiman dan bala tentaranya.
Ayat38-39
قَالَ يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَن يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ٣٨ قَالَ عِفْريتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ٣٩

Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya".

Al-Qur’an tidak menjelaskan apa yang terjadi setelah penolakan hadiah sang Ratu. Yang pasti adalah rombongan itu kembali melaporkan pengalamannya kepada ratu. Sementara riwayat menyatakan bahwa ratu Saba’ menyadari bahaya yang mengancam, maka dia mengirim surat untuk menyampaikan kedatangannya. Ia kemudian berangkat dengan ribuan pengikutnya setelah terlebih dahulu menutup rapat istananya dan menyimpan sedemikian rupa singgasananya yang dinilai oleh  burung Hud-hud sangat istimewa.[49]
Apapun yang terjadi, yang jelas ayat di atas hanya menginformasikan bahwa Nabi Sulaiman as menginginkan agar singgasana itu diangkut ke istananya di Palestina dan tiba di tempat sebelum tibanya sang ratu. Di hadapan seluruh stafnya Nabi Sulaiman bertitah. Dia berkata: “Hai para pemuka masyarakat kerajaanku, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku yakni ke tempat ini, sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri dan menyerah?” Berkata ‘Ifrit yakni yang sangat cerdik dan kuat dari jenis jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa-nya sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu untuk pulang beristirahat; sesungguhnya aku untuknya yakni untuk melaksanakan tugas itu benar-benar kuat membawanya lagi tepercaya sehingga tidak akan kekurangan sedikit pun dari apa yang kubawa itu.[50]
Berdasarkan penafsiran diatas dapat dipahami bahwa ayat ayat 38-39 tersebut menjelaskan bahwa Nabi Sulaiman ingin menghadirkan singgasana Ratu Balqis di istananya dengan menanyakan kepada pembesar-pembesarnya siapa yang sanggup membawa singgasana itu ke istana Nabi Sulaiman. Jin Ifrit mengatakan bahwa dia sanggup membawa singgasana itu ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum Nabi berdiri dari tempat duduknya.
Ayat 40
قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيم٤٠

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab : "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni'mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 36-37 tersebut adalah setelah ayat sebelum ini menjelaskan kesediaan dan kesanggupan jin untuk menghadirkan singgasana Ratu Saba’ dalam tempo setengah hari. Ayat itu tidak mengemukakan tanggapan Nabi Sulaiman as. atas ucapan sang ‘Ifrit. Rupanya ada tanggapan spontan dari seorang manusia yang selama ini mengasah kalbunya dan yang dianugerahi oleh Allah swt ilmu. Ayat di atas menjelaskan bahwa: berkatalah seseorang yang memiliki ilmu dari al-Kitab: “Aku akan datang kepadamu dengannya yakni dengan membawa singgasana itu kemari sebelum matamu berkedip.” Maka serta-merta, tanpa menunggu tanggapan dari siapa pun, singgasana itu hadir di hadapan Nabi Sulaiman as. dan tatkala dia melihatnya terletak dan benar-benar mantap di hadapannya bukan berada jauh darinya, dia pun berkata: “ini yakni kehadiran singgasana sesuai keinginanku termasuk karunia Tuhanku dari sekian banyak karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepadaku. Karunia itu adalah untuk menguji aku apakah aku bersyukur dengan mengakuinya sebagai anugerah atau kufur yakni mengingkari nikmat-Nya, dengan menduga bahwa ia memang hakku atau merupakan usahaku sendiri tanpa bantuan Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur maka itu adalah bencana buat dirinya. Allah tidak bertambah kaya dengan kesyukuran hamba-Nya tidak pula disentuh kekurangan dengan kekufuran mereka karena sesungguhnya Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”[51]
Penyifatan Rabb dengan kari>m menunjukkan bahwa karam (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek), dikaitkan dengan rububiyah-Nya, yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan. Dalam konteks ini menarik untuk dikemukakan bahwa kata karim dirangkaikan dengan kata ghani (Maha Kaya), dan dikemukakan dalam konteks kecaman kepada si kafir yang tidak mensyukuri anugerah-Nya, baik anugerah yang terkesan biasa, maupun yang luar biasa. [52]
Firman Allah dalam ayat 40 tersebut mengisyaratkan bahwa kemurahan Allah terhadap yang kafir pun tetap tercurah. Kemurahan Allah antara lain tercermin pada sikapnya yang tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi.[53]
Kesimpulan dari penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 40 tersebut yaitu  ada seorang yang mempunyai ilmu dari al-kitab yang sanggup menghadirkan singgasana Ratu Balqis dalam sekejap mata. Hal itu merupakan karunia yang diberikan Allah swt kepada hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Mulia.


Ayat 41-42
قَالَ نَكِّرُوا لَهَا عَرْشَهَا نَنظُرْ أَتَهْتَدِي أَمْ تَكُونُ مِنَ الَّذِينَ لَا يَهْتَدُونَ٤١ فَلَمَّا جَاءتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَأُوتِينَا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهَا وَكُنَّا مُسْلِمِينَ ٤٢

Dia berkata: "Ubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya)". Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu" Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri"

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 41-42 tersebut yaitu singgasana Ratu Saba’ telah berada di hadapan Nabi Sulaiman as. Setelah melihatnya dia berkata: “Ubahlah untuknya singgasananya yakni ubahlah sedikit dari ornamen luarnya yang mengesankan perbedaannya dengan singgasana sang Ratu itu; maka kita akan melihat apakah dia mengenal bahwa itu adalah sebenarnya singgasananya yang telah diubah ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal-nya dan dengan demikian, kita dapat mengetahui ketelitian dan tingkat kecerdasan sang Ratu.” Dan ketika dia yakni sang ratu datang, ditanyakanlah kepadanya: “serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan ia yakni singgasana ini dia yakni singgasanaku.”[54]
Rupanya sang Ratu dengan kehadiran singgasananya di tempat yang tidak terduga itu serta pertanyaan yang diajukan –rupanya- dia merasa bahwa kehadiran singgasana itu di sana bertujuan untuk membuktikan kehebatan kerajaan Nabi Sulaiman as., karena itu sang Ratu melanjutkan dengan berkata dan kami telah diberi ilmu yakni pengetahuan tentang kehebatan dan mukjizat Nabi Sulaiman as. sebelumnya yakni sebelum kami menyaksikan sendiri sekarang ini dan kami memang sejak pertama adalah orang-orang yang berserah diri dan bersedia datang kepada Sulaiman.[55]
Seperti yang telah dikemukakan di atas, tujuan pengubahan itu adalah untuk menguji ketelitian Ratu Saba’ serta ketepatan jawabannya. Ujian dilaksanakan ketika Ratu baru saja sampai, dan dengan keyakinan penuh tentang keberadaan singgasananya di satu tempat yang bukan di tempat itu, lalu dia ditanya tentang singgasana yang berada di depan matanya. Pertanyaan disusun dengan sangat singkat: “serupa inikah singgasanamu?”, bukan dengan bertanya “inikah singgasanamu?”, karena pertanyaan demikian mengundang jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Jawabannya sungguh tepat. Tidak mengiyakan atau menafikan, dan dalam saat yang sama membuka kemungkinan untuk membenarkan dan mempersalahkannya. “Seakan-akan ia dia” jawaban ini dinilai oleh banyak ulama di samping menunjukkan ketelitiannya juga kekuatan mentalnya karena menjawab dengan tepat pada situasi seperti yang dialami itu.[56]
Ternyata, Bilqis menampakkan bagusnya pemahamannya dengan jawabannya yang tidak memberikan kepastian “ya” atau “tidak”. Namun, ia menjawab, “Sepertinya iya, seakan-akan singgasana ini adalah singgasanaku.” Ia melihat keserupaan singgasana itu dengan singgasananya. Akan tetapi, bukankah ia tinggalkan singgasananya di tujuh bangunan dalam keadaan terkunci dengan banyak penjaga? Oleh karena itulah, ia tidak memastikan dan tidak pula mengingkarinya dengan pasti.[57]
Muqatil rahimahullah dan yang selainnya menjelaskan, sebenarnya Bilqis mengenalinya, tetapi karena singgasana itu sudah disamarkan dan diubah, Bilqis pun menyamarkan jawabannya. Seandainya ditanyakan kepadanya, “Apakah ini singgasanamu?”, bukan, “Serupa inikah singgasanamu?”, niscaya ia mengiyakannya. Ini menunjukkan puncak kecerdasan dan kepandaian Bilqis.[58]
Dan ini bukti dari kecerdikan Balqis, sebab ketika ia menjawab dengan pernyataan itu sesungguhnya dia tidak yakin bahwa bagaimana mungkin singgasana dapat berpindah tempat dalam waktu yang begitu cepat. Namun dalam keraguan itu dia tidak memungkiri bahwa singgasana itu mirip dengan kepunyaannnya. Dan memang sesungguhnya singgasana adalah miliknya hanya telah diubah atas perintah Sulaiman.[59]
Fakta bahwa ratu Balqis mengenali singgasana itu sebagai miliknya sendiri meskipun telah mengalami transormasi, menjadi bukti kecerdasan dan kemampuan pemahamannya.[60]
Berdasarkan uraian diatas ayat 41-42 tersebut menjelaskan bahwa singgasana sang Ratu telah diubah sedikit dari ornamen luarnya, hal ini untuk menguji ketelitian ratu Balqis dan ketika ratu Balqis baru saja sampai dia melihat singgasana itu kemudian dia ditanya tentang singgasana tersebut dan dia menjawab secara diplomatis “seakan-akan ini singgasanaku”.
Ayat 43
وَصَدَّهَا مَا كَانَت تَّعْبُدُ مِن دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِن قَوْمٍ كَافِرِينَ ٤٣

Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 43 bahwa ayat tersebut menjelaskan sebab keterjerumusan Ratu Balqis dalam penyembahan matahari. Ayat di atas menyatakan: sang ratu selama berada di Yaman tidak mengesakan Allah, hal itu disebabkan karena setan memperdayakannya dan apa yang dia sembah selama ini selain Allah, telah mencegahnya untuk melahirkan keislamannya, karena sesungguhnya dia dahulu sebelum pertemuannya dengan Nabi Sulaiman as. termasuk orang-orang yang kafir.[61]
Pengulangan kata ka>nat pada ayat di atas mengisyaratkan betapa kukuh keyakinan Sang Ratu menyangkut ketuhanan matahari dan betapa mantap penyembahannya. Ini disebabkan karena keyakinan itu telah membudaya di kalangan masyarakat mereka, serta diwarisi dari generasi ke generasi.[62]
Kesimpulan dari penafsiran al-Mishbah terhadap ayat 40 tersebut yaitu  bahwa penyembahan Ratu Balqis dan penduduknya terhadap matahari ini karena setan yang telah memperdayakan ratu dan penduduk-penduduknya  sehingga mencegahnya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.
Ayat 44
قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَن سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّن قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٤٤

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam".

Penafsiran al-Mishbah terhadap ayat-ayat tersebut adalah setelah selesai “ujian pertama” yang telah dilalui oleh sang ratu dengan sukses, kini dilanjutkan dengan ujian kedua, dalam bentuk praktek. Ayat ini menjelaskan bahwa: Dikatakan oleh petugas istana kepadanya yakni kepada Ratu kerajaan Saba’ itu: “silahkan, masuklah ke dalam ruang terbuka istana.” Maka tatkala dia melihatnya yakni melihat lantainya, dikiranya lantai itu kolam air yang besar, padahal sebenarnya lantainya dibuat dari kaca yang sangat bening dan di bawah lantai itu mengalir air –bahkan konon ikan-ikan- maka dia melanjutkan perjalanannya dengan berhati-hati dan disingkapkannya kedua betisnya agar bajunya tidak dibasahi oleh apa yang dikiranya air – konon dibukanya juga alas kakinya – atau boleh jadi ketika itu dia tidak memakai alas kaki. Melihat hal itu dia yakni Nabi Sulaiman as berkata kepada sang ratu: “sesungguhnya ia yang engkau kira air adalah istana licin yang tebuat dari kaca yang amat bening.” Melihat dan menyadari betapa agung Nabi Sulaiman as. dengan ilmu serta kekayaannya, dia yakni sang ratu berkata: “Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku yakni dengan membanggakan kekuasaanku dan durhaka kepada Tuhan dan aku berserah diri bersama Nabi-Mu Sulaiman kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan Pemelihara dan Pengendali semesta alam.”[63]
Ucapan ratu Saba’ itu dinilai oleh sementara ulama sebagai mengandung dua sisi. Sisi pertama adalah penyucian diri dari segala keyakinan yang salah serta aneka kedurhakaan, dan ini tercermin dari kalimat sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dan yang kedua menghiasi diri dengan keyakinan yang benar serta pengamalan yang baik dan ini tercermin oleh ucapannya dan aku berserah diri bersama sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam. Penyebutan nama Sulaiman mengisyaratkan bahwa ia mengikuti beliau dalam ajaran agama yang dibawanya.[64]
Menurut Jayusman Djusar, menyaksikan kemuliaan, keagungan serta karunia Allah yang dilimpahkan kepada nabi Sulaiman, maka berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Ini adalah jawaban yang cerdas dan cemerlang pemikirannya. Di saat ia harus mengaku kekuatan dan kekuasaan lawannya, ia tidak langsung mengakui kebesaran lawannya tetapi ia merangkulnya dan menundukkan diri kepada Dhat yang lebih tinggi dari pada Sulaiman yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.[65]
Sementara menurut Nurjannah Ismail, Ratu Balqis adalah orang yang rendah hati dan berjiwa besar. Ia cepat memenuhi panggilan kebenaran berdasarkan pengetahuan, bukan berdasarkan perasaan sebagaimana tersirat dalam ayat 44 tersebut. Bahkan Ratu Balqis mengakui dengan terus terang kesalahan yang dilakukan sebelumnya dalam hal tidak berserah diri kepada Allah.[66]
Di sisi lain, kisah dalam ayat 44 tersebut menurut Barbara Freyer Stowasser menunjukkan bahwa Ratu Balqis mengajarkan bahwa Islam adalah penyerahan diri secara total kepada Allah, bukan kepada seorang pemimpin,bahkan bukan kepada seorang nabi, tetapi hanya kepada Allah, yang dalam pandangan-Nya semua mukmin adalah sama.[67]
Pengalaman Ratu Balqis menemukan kepercayaan tauhid setelah berdialog dengan realitas yang menunjukkan kemahakuasaan Allah, memantapkan langkahnya untuk mengajak rakyat Saba’ kepada akidah yang benar. Maka, di bawah kepemmpinan Ratu Balqis, negeri Saba’ menjadi negeri yang makmur dan rakyatnya mendapat kesejahteraan lahir dan batin.[68]
Al-Qur’an menerangkan kebijakan yang dilakukan oleh Ratu Balqis dalam memerintah rakyatnya, yaitu dalam kepemimpinannya dia dikenal sangat piawai dan dikenal sukses gemilang, negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Balqis mampu mengatur Negara dengan sikap dan pandangannya yang demokratis[69] yaitu ratu memusyawarahkan persoalan dengan para pembesarnya dan memperdulikan keselamatan rakyatnya.



[1] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 236-238.
[2] Ibid., 238.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 15, Cet. V (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 645.
[4] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vii.
[5] Nashrudin Bidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis terhadap Ayat-Ayat  yang Beredaksi Mirip, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68.
[6] Ibid., 68-69.
[7] Lihat “Sekapur Sirih” dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Cet. I, ix.
[8] Ibid.,
[9] Ibid., x-xii
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 10, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 210.
[11] Ali Audah, Nama dan Kata dalam Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 628.
[12] Shihab, Tafsir al-Misbah, 211.
[13] Ibid., 211.
[14] Ibid., 212.
[15] Ibid., 212.
[16] Bahtiar Effendi, Mutiara Terpendam, Perempuan dalam Literature Islam dan Klasik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 9.
[17] Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 121.
[18] Amina Wadud, terj., Abdullah Ali, Qur’an Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 75.
[19] Shihab, Tafsir al-Misbah, 212-213.
                [20] Ahmad Rabi’ Abdul Mun’in, Pesona Ratu bilqis (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), 45.
[21] Shihab, Tafsir al-Mishbah, 214.
[22] Mun’in, Pesona Ratu Bilqis, 46.
[23]Barbara Freyer Stowasser, terj. Mochtar Zoerni, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam Al-Qur’an, Hadis dan Tafsir (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 159.
[24] Shihab, Tafsir al-Misbah, 215.
[25]Ibid., 215-216.
[26] Ibid., 216.
[27] M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), 365.
[28] Ibid., 366.
[29] M. Quraish Shihab, Al-Asma’ Al-Husna dalam Perspekti Al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2008), 33.
[30] Ibid., 35.
[31] Shihab, Tafsir al-Misbah, 216.
[32] Ibid., 216.
[33] Shihab, Al-Asma’ Al-Husna dalam Perspekti Al-Qur’an, 191.
[34] Shihab, Tafsir al-Misbah, 216.
[35] Ibid., 216-217.
[36]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam pasungan (Yogyakarta: LKiS, 2002), 76-77.
[37] Shihab, Tafsir al-Misbah, 219.
[38] Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender , 121-122.
[39] Hafidz Muftisany, Ratu Balqis dari Saba Cermin Wanita Pemimpin, (online), http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/02/06/njcnzp-ratu-balqis-dari-saba-cermin-wanita-pemimpin, Diakses tanggal 13 april 2015.
[40] Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender , 122.
[41] Shihab, Tafsir al-Misbah, 220.
[42] Ibid., 220.
[43] Ismail, Perempuan dalam pasungan, 77.
[44] Mun’in, Pesona Ratu Bilqis, 47.
[45] Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 79.
[46] Shihab, Tafsir al-Misbah, 221-222.
[47] Ibid., 222.
[48] Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 78.
[49] Shihab, Tafsir al-Misbah, 224.
[50] Ibid., 223-224.
[51] Shihab, Tafsir al-Misbah, 225-226.
[52] Shihab, Al-Asma’ Al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, 194.
[53] Ibid., 194-195.
[54] Shihab, Tafsir al-Misbah, 228.
[55] Ibid., 228-229.
[56] Ibid.,229.

[57] Ummu Maryam Lathifah, Keislaman Sang Ratu Saba’, (online), http://qonitah.com/keislaman-sang-ratu-saba/, diakses tanggal 24 juni 2015.

[58] Ibid.
[59] Badrulhisyam, Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, (online), http://muslimean.blogspot.com/2010/02/nabi-sulaiman-dan-ratu-balqis.html, diakses tanggal 23 Juni 2015.
[60] Stowasser, terj. Mochtar Zoerni. Reinterpretasi Gender, 160-161.
[61] Shihab, Tafsir al-Misbah , 230.
[62] Ibid., 231.
[63] Ibid., 231.
[64] Ibid., 232.
[65] Jayusman Djusar, Ratu Balqis: Kisah Kepala Negara Super Power dalam Al-Qur’an, (online), http://jayusmanfalak.blogspot.com/2009/06/ratu-balqis-sejarah-kepemimpinan.html, diakses tanggal 23 Juni 2015.
[66] Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 79.
[67] Stowasser, terj. Mochtar  Zoerni, Reinterpretasi Gender, 165.
[68] Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, 123.
[69] Moh Rozi Al-Amiri Mannan, Fiqih Perempuan (Yogyakrta: Pustaka Ilmu, 2011), 212.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar