MEMAHAMI MAKNA ASMAUL HUSNA, BERIMAN
KEPADA MALAIKAT,
Q.S AT-TAUBAH: 122 DAN HADITS TENTANG SEMANGAT MENUNTUT ILMU
SERTA KEDUDUKAN AL-qur’an, hadits dan
ijtihad
sebagai sumber hukum islam
makalah ini diajukan untuk memenuhi salah
satu tugas matakuliah
“STUDI MATERI PAI”
Disusun oleh:
Qurriyatul Munawwaroh : 210311149
Kelas : Tb. E
Dosen pengampu:
Erwin Yudi Prahara, M. Ag
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
MARET 2014
PEMBAHASAN
A.
Memahami
Makna Asmaul Husna
Asmaul Husna, dua kata yang
singkat tetapi memiliki makna yang dalam dan luas. Asmaul husna adalah
nama-nama baik dan indah bagi Allah SWT. Di dalamnya mengandung sifat-sifat
kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan Allah SWT. Para ulama telah banyak
menulis buku yang membahas dan menggali makna yang terkandung dalam asmaul
husna. Dalam pembahasan ini kita akan mempelajari makna tujuh asmaul
husna, yaitu Al-Karim, Al-Mu’min, Al-Wakil, Al-Matin, Al-Jami’, Al-Adl,
dan Al-Akhir.[1]
1.
Al-Karim
Al-Karim artinya Yang Maha Mulia. Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna
dengan kemuliaan-Nya. Dia terbebas dari perbuatan negatif dari makhluk-makhluk-Nya.
Karena perbuatan negatif makhluk, sama sekali tidak akan mempengaruhi dan
mengurangi kemuliaan Allah SWT.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna Al-Karim, hendaknya kita memiliki sikap, antara lain:
a.
Budi
pekerti yang luhur, baik di sisi Allah SWT maupun di sisi manusia.
b.
Menghindari
akhlaq tercela, baik di hadapan Allah SWT maupun sesama manusia.
c.
Pandai
bersyukur atas nikmat-nikmat Allah SWT.[2]
2.
Al-Mu’min
Al-Mu’min artinya Yang Maha Memberi Keamanan. Allah SWT adalah satu-satunya
Dzat yang menjadi sumber rasa aman dan keamanan. Ketika kita berdoa kepada
Allah dengan nama Al-Mu’min berarti ia memohon diberikan keamanan,
dihindarkan dari fitnah, bencana dan siksa.
Dengan memahami dan mengahayati
makna asmaul husna Al-Mu’min, hendaknya kita memiliki sikap antara lain:
a.
Meneladani
sifat-sifat Allah SWT tersebut sehingga satu sama lain saling memberi rasa aman dan tercipta suasana nyaman.
b.
Menghindari
dari melakukan hal-hal yang dapat mengusik ketenangan orang lain.
c.
Menjaga
lisan agar tidak membahayakan orang lain.
d.
Yakin
dan optimis kemudian kreatif dan inovatif.
e.
Sikap
berani dan tidak menjadi seorang penakut.
3.
Al-Wakil
Al-Wakil artinya Yang Maha Mewakili. Dialah wakil yang mutlak. Dialah Yang
mengurusi segala sesuatu yang menjadi urusan hamba-Nya. Disamping itu, Dia juga
menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia. Hanya Allah yang
dapat memudahkan makhluk-Nya dari kesusahan yang dihadapinya.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna Al-Wakil, hendaknya kita dapat memiliki sikap-sikap antara
lain:
a.
Sadar
bahwa hanya Allah SWT tempat menggantungkan diri,
b.
Teguh
pendirian dan tidak merasa takut dalam berjuang menegakkan yang benar dan
melawan yang batil.
c.
Saling
menjaga terhadap sesama.[3]
4.
Al-Matin
Al-Matin artinya Yang Maha Kukuh. Allah adalah Dzat yang mempunyai kekuatan
sempurna. Kekuatan-Nya terbebas dari kelemahan. Kekuatan-Nya yang kukuh tidak
bisa digoyangkan oleh makhluk-Nya. Kekuatan-Nya berdiri sendiri dan tiada yang
membantu dalam kekuatan.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna Al-Matin, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.
Sadar
jika meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT semata sebab hanya Allah yang
memiliki kekuatan yang sempurna.
b.
Berusaha
menghindari sikap sombong.
c.
Yakin
bahwa semua kekuatan adalah milik Allah SWT.
d.
Berusaha
untuk menjadi seorang mukmin yang kuat.[4]
5.
Al-Jami’
Al-Jami’ artinya Yang Maha Mengumpulkan. Allah SWT adalah Dzat yang
menghimpun manusia pada hari kiamat kelak. Allah juga yang mengumpulkan
bagian-bagian tubuh manusia yang berserakan, lalu dibangkitkan kembali dari
alam kubur. Tidak ada serang hamba yang lepas dari himpunan-Nya. Allah yang
menghidupkan manusia, Allah pula yang akan mematikan, kemudian Allah pula yang
akan mengumpulkan semua manusia mulai manusia yang pertama sampai manusia yang
terakhir pada hari kiamat nanti.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna al-Jami’, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.
Sadar
bahwa kita suatu saat akan mati dan suatu saat akan dikumpulkan di sebuah
tempat yang bernama Padang Mahsyar.
b.
Hati-hati
dalam bertindak karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
c.
Semangat
dalam melakukan kebaikan dan merasa optimis.
d.
Rasa
takut ketika ada niat akan melakukan perbuatan dosa.[5]
6.
Al-‘Adl
Al-‘Adl artinya Yang Maha Adil. Keadilan Allah SWT terhadap makhluk-Nya
meliputi segala hal, baik yang menyangkut urusan keduniaan maupun urusan
akhirat.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna Al-‘Adl, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara
lain:
a.
Husnudzan
(positif thinking) kepada Allah terhadap semua ketentuan Allah SWT.
b.
Senantiasa
bersyukur kepada Allah SWT atas ketentuan-Nya yang adil.
c.
Meneladani
sikap al-‘Adl dengan menerapkan sikap adil terhadap sesama.[6]
7.
Al-
Akhir
Al-Akhir artinya Yang Maha Akhir. Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Akhir
(kekal). Akhir bagi Allah tidak ada ujung dan tanpa batas. Setelah semua
makhluk musnah, Allah SWT akan tetap ada dan tidak akan mengalami kemusnahan.
Dengan memahami dan menghayati makna
asmaul husna al-Akhir, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.
Kita
menjadi sadar bahwa Allah saja yang akan kekal sementara hidup kita akan
berakhir.
b.
Akan
selalu merasa membutuhkan Rabb- Nya.
c.
Akan
berlindung kepada Allah, karena semua urusan dan hukum adalah milik-Nya.[7]
B.
Memahami
Makna Beriman kepada Malaikat-malaikat Allah SWT
Kata malaikat adalah jamak dari kata malakun yang berarti
utusan. Menurut istilah, malaikat adalah makhluk rohani yang bersikap gaib yang
diciptakan dari nur, selalu taat, tunduk serta patuh kepada Allah SWT dan tidak
pernah ingkar kepada-Nya. Beriman kepada malaikat berarti mempercayai dengan
sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk dari nur yang bernama
malaikat.[8]
Jumlah malaikat sangatlah banyak, namun ada sepuluh malaikat utama
yang harus diketahui oleh umat Islam. Kesepuluh malaikat itu adalah Malaikat
Jibril, Malaikat Mikail, Malaikat Israfil, Malaikat Izrail, Malaikat Munkar,
Malaikat Nakir, Malaikat Rakib, Malaikat Atid, Malaikat Malik dan Malaikat
Ridwan.
Keyakinan terhadap malaikat tersebut, bukan hanya sebatas
mengetahui sifat-sifat dan tugas-tugasnya, melainkan harus melahirkan dampak
dalam sikap dan perilaku sehar-hari. Jika seseorang meyakini bahwa ada malaikat
yang senantiasa mencatat kebaikan dan keburukan di setiap saatnya, maka ia
selalu berhati-hati sebab apa pun perbuatannya akan dicatat dan dimintai
pertanggungjawabannya pada saat nanti. Oleh karena itu, iman kepada malaikat
akan memberikan pengaruh kejiwaan atau sikap yang begitu besar pada diri
seseorang, seperti sikap jujur, tabah, ikhlas, dan berani.[9]
Hikmah beriman kepada malaikat adalah memurnikan amalan umat Islam
dari kesyirikan. Dengan mengimani malaikat, umat Islam akan mengerjakan amalan
yang didoakan oleh malaikat, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah
SWT, dan mengunjungi orang sakit. Dengan mengimani malaikat, umat Islam juga
akan menjauhi amalan yang dilaknat oleh malaikat, seperti mencaci maki sesama
umat Islam.
C.
Memahami
Q.S At-Taubah (9) : 122 dan Hadits tentang Semangat Menuntut Ilmu
1.
Memahami
Q.S At-Taubah (9) : 122
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya
pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka
tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, agar mereka
dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Dari ayat diatas dapat diambil inti
sari sebagai berikut:
a.
Ayat
ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya kaum muslimin berbagi tugas dan
fungsi. Ada yang berangkat ke medan perang dan ada yang berangkat menuntut
ilmu. Yang berangkat perang sebagian saja, sedangkan yang lain lagi harus
menuntut ilmu.
b.
Sebagian
kaum muslimin diperintahkan untuk mencari ilmu, belajar dengan sungguh-sungguh
dan tak kenal lelah. Mereka melakukan “tafaqquh fiddin” memperdalam ilmu agama.
Belajar ilmu adalah fardu ‘ain dan belajar ilmu pengetahuan juga wajib hanya
saja disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing individu.
c.
Setelah
menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, mereka dianjurkan kembali ke rumah atau
kampung halaman masing-masing untuk menyampaikan ilmu yang diperolehnya. Dengan
tujuaan, agar kaumnya berada di jalan yang benar. Dengan demikian, ilmu
tersebut bisa diajarkan secara merata dan dakwah Islam bisa dilakukan secara
efektif dan bermanfaat bagi peningkatan kecerdasan masyarakat.[10]
2.
Hadits
tentang menuntut ilmu
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ قاَلَ:
قَالَ رَسُوْ لُ اللّهِ صَلَىّ اللُّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ
اْلعِلْمِ كَانَ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ حَتَّى يَرْجِعُ
(رواه الترمذي)
Artinya: Dari
Anas r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa keluar dengan
tujuan menuntut ilmu maka ia berada (berjuang) di jalan Allah sampai ia
kembali.” (H.R. Tirmidzi: 2647)
Hadits tersebut menegaskan bahwa
Islam sangat mendorong pemeluknya untuk giat menuntut ilmu pengetahuan.
Seseorang yang keluar dari rumah atau meninggalkan rumah dan kampung halaman
untuk mencari ilmu, maka orang tersebut derajatnya sama dengan orang yang
berjuang mengangkat senjata membela agama Allah.
Hal ini disebabkan, ilmu yang telah
dipelajari oleh orang yang menuntut ilmu yang kemudian ia ajarkan dan sebarkan
kepada orang-orang sekitar maka akan memberikan pencerahan. Ilmu itu akan
menjadi cahaya hidayah bagi masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Orang yang berilmu seharusnya
menjadi pelita dan pembimbing bagi umat masyarakat. Ia harus menyebarluaskan
ilmunya dan membimbing orang-orang sekitarnya sehingga mereka terarah dan
selalu berada di jalan yang benar dan menjadi masyarakat yang maju.[11]
D.
Memahami
kedudukan Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u,
qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u)
dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian
ke bagian lain secara teratur.[12]
Secara terminologi Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang mu’jiz,
diturunkan kepada Nabi, diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf
dan membacanya merupakan ibadah, diawali dari surah Al-Fatihah dan di
akhiri dengan surah An-Nas.[13]
b.
Kedudukan
dan Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan
kepada umat manusia, sudah barang tentu memiliki sekian banyak fungsi, baik
bagi Nabi Muhammad itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan. Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai: (1) Bukti kerasulan
Muhammad dan kebenaran ajarannya; (2) Petunjuk akidah dan kepercayaan yang
harus dianut oleh manusia.[14]
Kedudukan Al-Qur’an yaitu sebagai sumber hukum pertama dan utama
dalam Islam. Sebagai sumber dari segala sumber hukum islam, Al-Qur’an berisi
hukum, petunjuk dan pelajaran untuk mengatur tata kehidupan manusia agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2.
Hadits
(Sunnah)
a.
Pengertian
Hadits (Sunnah)
Ditinjau dari segi bahasa terdepat perbedaan arti antara kata “sunnah”
dan “hadits”. “sunnah” berarti tata cara, tradisi, atau
perjalanan, sedangkan “hadits” berarti berita, ucapan atau pernyataan
atau sesuatu yang baru. Dalam arti teknis, istilah Sunnah identik dengan
Hadits, atau dalam pengertian secara istilah tidak ada perbedaan arti antara
Sunnah dan Hadits, yaitu: “Informasi atau apa-apa yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW berupa ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) atau persetujuan
(taqririyah), dan sebagainya.”[15]
b.
Kedudukan
dan Fungsi Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Keharusan
mengikuti hadits bagi umat Islam baik berupa perintah maupun larangan sama
halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan
sumber ajaran Islam yang sangat terkait.[16]
Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang
perlu dijelaskan dan diperinci sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Fungsi hadits
sebagai penjelas dari Al-Qur’an tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Bayan
Al-Taqrir yaitu menetapkan dan memperkuat apa
yang diterangkan di dalam Al-Qur’an.
2.
Bayan
At-Tafsir yaitu penjelas hadits terhadap
ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut.
3.
Bayan
At-Tasyri’ yaitu memunculkan suatu hukum /
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an atau dalam Al-Qur’an hanya
pokok-pokoknya saja.[17]
3.
Ijtihad
a.
Pengertian
ijtihad
Sebenarnya kata “ijtihad” serumpun dengan kata “jihad”,
yaitu keduanya mempunyai akar kata yang sama, yaitu dari kata “jahada”,
artinya “mengerahkan segala kemampuan”. Dalam wacana Islam, kedua pengertian
tersebut dalam penggunaannya mempunyai arah yang berbeda. “jihad”
diartikan sebagai pengerahan kemampuan secara maksimal, penggunaannya lebih
cenderung pada segi fisik, sedangkan ijtihad, penggunaannya lebih
cenderung pada segi non-fisik (akal pikiran) atau yang bersifat ilmiah. Orang
yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid.
Secara terminologis ijtihad berarti mengerahkan segala
kemampuan dengan semaksimal mungkin dalam mengungkapkan kejelasan atau maksud hukum
Islam untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.[18]
b.
Kedudukan
Ijtihad
Mendudukkan
ijtihad sebagai sumber ajaran Islam tentu tidak dapat disejajarkan atau
diperlakukan sama dengan dua sumber pokok lainnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad
lebih tepat dikatakan sebagai sumber kekuatan, alat, atau cara untuk meneropong
dua sumber pokok itu dalam kaitannya dengan fenomena-fenomena kehidupan. Adanya
ijtihad ini akan menandakan bahwa ajaran Islam senantiasa memberikan
jawaban atau solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam
dari zaman ke zaman, sehingga hukumnya senantiasa aktual dan berlaku disetiap
tempat dan waktu.[19]
[1] Abdurrohim. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Kelas X SMA. 49-50.
[2] Ibid.,
50-51.
[3] Ibid.,
54.
[4] Ibid.,
55.
[5] Ibid.,
55-56.
[6] Ibid.,
58.
[7] Ibid.,
58.
[8] Ibid.,
145.
[9] Erwin Yudi
Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2009), 115.
[11] Ibid.,
38-39.
[12] Erwin Yudi
Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2009), 73.
[13] Abdul Djalal. Ulumul
Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 11
[14]Erwin Yudi
Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009),
76.
[15] Erwin Yudi
Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2009), 79.
[16] Kusniati
Rofi’ah. Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PRESS, 2010), 20.
[17] Ibid.,
26.
[18] Erwin Yudi
Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2009), 97.
[19] Ibid.,
96.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim.
Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Kelas X SMA.
Djalal,
Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Rofi’ah, Kusniati. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN PRESS,
2010.
Yudi Prahara, Erwin. Materi Pendidikan Agama Islam. Ponorogo:
STAIN Po PRESS, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar