Rabu, 28 Oktober 2015

smt 6 studi materi PAI ria

MEMAHAMI MAKNA ASMAUL HUSNA, BERIMAN KEPADA MALAIKAT,
Q.S AT-TAUBAH: 122 DAN HADITS TENTANG SEMANGAT MENUNTUT ILMU
SERTA KEDUDUKAN AL-qur’an, hadits dan ijtihad
sebagai sumber hukum islam

makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah
STUDI MATERI PAI

 











Disusun oleh:
Qurriyatul Munawwaroh     :           210311149
Kelas                                       :           Tb. E

Dosen pengampu:
Erwin Yudi Prahara, M. Ag

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
MARET 2014

PEMBAHASAN
A.    Memahami Makna Asmaul Husna
Asmaul Husna, dua kata yang singkat tetapi memiliki makna yang dalam dan luas. Asmaul husna adalah nama-nama baik dan indah bagi Allah SWT. Di dalamnya mengandung sifat-sifat kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan Allah SWT. Para ulama telah banyak menulis buku yang membahas dan menggali makna yang terkandung dalam asmaul husna. Dalam pembahasan ini kita akan mempelajari makna tujuh asmaul husna, yaitu Al-Karim, Al-Mu’min, Al-Wakil, Al-Matin, Al-Jami’, Al-Adl, dan Al-Akhir.[1]
1.      Al-Karim
Al-Karim artinya Yang Maha Mulia. Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna dengan kemuliaan-Nya. Dia terbebas dari perbuatan negatif dari makhluk-makhluk-Nya. Karena perbuatan negatif makhluk, sama sekali tidak akan mempengaruhi dan mengurangi kemuliaan Allah SWT.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna Al-Karim, hendaknya kita memiliki sikap, antara lain:
a.       Budi pekerti yang luhur, baik di sisi Allah SWT maupun di sisi manusia.
b.      Menghindari akhlaq tercela, baik di hadapan Allah SWT maupun sesama manusia.
c.       Pandai bersyukur atas nikmat-nikmat Allah SWT.[2]
2.      Al-Mu’min
Al-Mu’min artinya Yang Maha Memberi Keamanan. Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang menjadi sumber rasa aman dan keamanan. Ketika kita berdoa kepada Allah dengan nama Al-Mu’min berarti ia memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah, bencana dan siksa.
Dengan memahami dan mengahayati makna asmaul husna Al-Mu’min, hendaknya kita memiliki sikap antara lain:
a.       Meneladani sifat-sifat Allah SWT tersebut sehingga satu sama lain saling memberi  rasa aman dan tercipta suasana nyaman.
b.      Menghindari dari melakukan hal-hal yang dapat mengusik ketenangan orang lain.
c.       Menjaga lisan agar tidak membahayakan orang lain.
d.      Yakin dan optimis kemudian kreatif dan inovatif.
e.       Sikap berani dan tidak menjadi seorang penakut.
3.      Al-Wakil
Al-Wakil artinya Yang Maha Mewakili. Dialah wakil yang mutlak. Dialah Yang mengurusi segala sesuatu yang menjadi urusan hamba-Nya. Disamping itu, Dia juga menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia. Hanya Allah yang dapat memudahkan makhluk-Nya dari kesusahan yang dihadapinya.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna Al-Wakil, hendaknya kita dapat memiliki sikap-sikap antara lain:
a.       Sadar bahwa hanya Allah SWT tempat menggantungkan diri,
b.      Teguh pendirian dan tidak merasa takut dalam berjuang menegakkan yang benar dan melawan yang batil.
c.       Saling menjaga terhadap sesama.[3]
4.      Al-Matin
Al-Matin artinya Yang Maha Kukuh. Allah adalah Dzat yang mempunyai kekuatan sempurna. Kekuatan-Nya terbebas dari kelemahan. Kekuatan-Nya yang kukuh tidak bisa digoyangkan oleh makhluk-Nya. Kekuatan-Nya berdiri sendiri dan tiada yang membantu dalam kekuatan.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna Al-Matin, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.       Sadar jika meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT semata sebab hanya Allah yang memiliki kekuatan yang sempurna.
b.      Berusaha menghindari sikap sombong.
c.       Yakin bahwa semua kekuatan adalah milik Allah SWT.
d.      Berusaha untuk menjadi seorang mukmin yang kuat.[4]
5.      Al-Jami’
Al-Jami’ artinya Yang Maha Mengumpulkan. Allah SWT adalah Dzat yang menghimpun manusia pada hari kiamat kelak. Allah juga yang mengumpulkan bagian-bagian tubuh manusia yang berserakan, lalu dibangkitkan kembali dari alam kubur. Tidak ada serang hamba yang lepas dari himpunan-Nya. Allah yang menghidupkan manusia, Allah pula yang akan mematikan, kemudian Allah pula yang akan mengumpulkan semua manusia mulai manusia yang pertama sampai manusia yang terakhir pada hari kiamat nanti.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna al-Jami’, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.       Sadar bahwa kita suatu saat akan mati dan suatu saat akan dikumpulkan di sebuah tempat yang bernama Padang Mahsyar.
b.      Hati-hati dalam bertindak karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
c.       Semangat dalam melakukan kebaikan dan merasa optimis.
d.      Rasa takut ketika ada niat akan melakukan perbuatan dosa.[5]
6.      Al-‘Adl
Al-‘Adl artinya Yang Maha Adil. Keadilan Allah SWT terhadap makhluk-Nya meliputi segala hal, baik yang menyangkut urusan keduniaan maupun urusan akhirat.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna Al-‘Adl, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.       Husnudzan (positif thinking) kepada Allah terhadap semua ketentuan Allah SWT.
b.      Senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas ketentuan-Nya yang adil.
c.       Meneladani sikap al-‘Adl dengan menerapkan sikap adil terhadap sesama.[6]
7.      Al- Akhir
Al-Akhir artinya Yang Maha Akhir. Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Akhir (kekal). Akhir bagi Allah tidak ada ujung dan tanpa batas. Setelah semua makhluk musnah, Allah SWT akan tetap ada dan tidak akan mengalami kemusnahan.
Dengan memahami dan menghayati makna asmaul husna al-Akhir, hendaknya kita memiliki sikap-sikap antara lain:
a.       Kita menjadi sadar bahwa Allah saja yang akan kekal sementara hidup kita akan berakhir.
b.      Akan selalu merasa membutuhkan Rabb- Nya.
c.       Akan berlindung kepada Allah, karena semua urusan dan hukum adalah milik-Nya.[7]
B.     Memahami Makna Beriman kepada Malaikat-malaikat Allah SWT
Kata malaikat adalah jamak dari kata malakun yang berarti utusan. Menurut istilah, malaikat adalah makhluk rohani yang bersikap gaib yang diciptakan dari nur, selalu taat, tunduk serta patuh kepada Allah SWT dan tidak pernah ingkar kepada-Nya. Beriman kepada malaikat berarti mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk dari nur yang bernama malaikat.[8]
Jumlah malaikat sangatlah banyak, namun ada sepuluh malaikat utama yang harus diketahui oleh umat Islam. Kesepuluh malaikat itu adalah Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, Malaikat Israfil, Malaikat Izrail, Malaikat Munkar, Malaikat Nakir, Malaikat Rakib, Malaikat Atid, Malaikat Malik dan Malaikat Ridwan.
Keyakinan terhadap malaikat tersebut, bukan hanya sebatas mengetahui sifat-sifat dan tugas-tugasnya, melainkan harus melahirkan dampak dalam sikap dan perilaku sehar-hari. Jika seseorang meyakini bahwa ada malaikat yang senantiasa mencatat kebaikan dan keburukan di setiap saatnya, maka ia selalu berhati-hati sebab apa pun perbuatannya akan dicatat dan dimintai pertanggungjawabannya pada saat nanti. Oleh karena itu, iman kepada malaikat akan memberikan pengaruh kejiwaan atau sikap yang begitu besar pada diri seseorang, seperti sikap jujur, tabah, ikhlas, dan berani.[9]
Hikmah beriman kepada malaikat adalah memurnikan amalan umat Islam dari kesyirikan. Dengan mengimani malaikat, umat Islam akan mengerjakan amalan yang didoakan oleh malaikat, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah SWT, dan mengunjungi orang sakit. Dengan mengimani malaikat, umat Islam juga akan menjauhi amalan yang dilaknat oleh malaikat, seperti mencaci maki sesama umat Islam.
C.     Memahami Q.S At-Taubah (9) : 122 dan Hadits tentang Semangat Menuntut Ilmu
1.      Memahami Q.S At-Taubah (9) : 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
 لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Dari ayat diatas dapat diambil inti sari sebagai berikut:
a.       Ayat ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya kaum muslimin berbagi tugas dan fungsi. Ada yang berangkat ke medan perang dan ada yang berangkat menuntut ilmu. Yang berangkat perang sebagian saja, sedangkan yang lain lagi harus menuntut ilmu.
b.      Sebagian kaum muslimin diperintahkan untuk mencari ilmu, belajar dengan sungguh-sungguh dan tak kenal lelah. Mereka melakukan “tafaqquh fiddin” memperdalam ilmu agama. Belajar ilmu adalah fardu ‘ain dan belajar ilmu pengetahuan juga wajib hanya saja disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing individu.
c.       Setelah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, mereka dianjurkan kembali ke rumah atau kampung halaman masing-masing untuk menyampaikan ilmu yang diperolehnya. Dengan tujuaan, agar kaumnya berada di jalan yang benar. Dengan demikian, ilmu tersebut bisa diajarkan secara merata dan dakwah Islam bisa dilakukan secara efektif dan bermanfaat bagi peningkatan kecerdasan masyarakat.[10]
2.      Hadits tentang menuntut ilmu
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْ لُ اللّهِ صَلَىّ اللُّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ اْلعِلْمِ كَانَ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ حَتَّى يَرْجِعُ
 (رواه الترمذي)
Artinya: Dari Anas r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa keluar dengan tujuan menuntut ilmu maka ia berada (berjuang) di jalan Allah sampai ia kembali.” (H.R. Tirmidzi: 2647)
Hadits tersebut menegaskan bahwa Islam sangat mendorong pemeluknya untuk giat menuntut ilmu pengetahuan. Seseorang yang keluar dari rumah atau meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk mencari ilmu, maka orang tersebut derajatnya sama dengan orang yang berjuang mengangkat senjata membela agama Allah.
Hal ini disebabkan, ilmu yang telah dipelajari oleh orang yang menuntut ilmu yang kemudian ia ajarkan dan sebarkan kepada orang-orang sekitar maka akan memberikan pencerahan. Ilmu itu akan menjadi cahaya hidayah bagi masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Orang yang berilmu seharusnya menjadi pelita dan pembimbing bagi umat masyarakat. Ia harus menyebarluaskan ilmunya dan membimbing orang-orang sekitarnya sehingga mereka terarah dan selalu berada di jalan yang benar dan menjadi masyarakat yang maju.[11]
D.    Memahami kedudukan Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
1.      Al-Qur’an
a.       Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.[12]
Secara terminologi Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada Nabi, diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah, diawali dari surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan surah An-Nas.[13]
b.      Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia, sudah barang tentu memiliki sekian banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai: (1) Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya; (2) Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia.[14]
Kedudukan Al-Qur’an yaitu sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam Islam. Sebagai sumber dari segala sumber hukum islam, Al-Qur’an berisi hukum, petunjuk dan pelajaran untuk mengatur tata kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2.      Hadits (Sunnah)
a.       Pengertian Hadits (Sunnah)
Ditinjau dari segi bahasa terdepat perbedaan arti antara kata “sunnah” dan “hadits”. “sunnah” berarti tata cara, tradisi, atau perjalanan, sedangkan “hadits” berarti berita, ucapan atau pernyataan atau sesuatu yang baru. Dalam arti teknis, istilah Sunnah identik dengan Hadits, atau dalam pengertian secara istilah tidak ada perbedaan arti antara Sunnah dan Hadits, yaitu: “Informasi atau apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW berupa ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) atau persetujuan (taqririyah), dan sebagainya.”[15]
b.      Kedudukan dan Fungsi Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik berupa perintah maupun larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan sumber ajaran Islam yang sangat terkait.[16]
Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan dan diperinci sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Fungsi hadits sebagai penjelas dari Al-Qur’an tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Bayan Al-Taqrir yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan di dalam Al-Qur’an.
2.      Bayan At-Tafsir yaitu penjelas hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut.
3.      Bayan At-Tasyri’ yaitu memunculkan suatu hukum / ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an atau dalam Al-Qur’an hanya pokok-pokoknya saja.[17]
3.      Ijtihad
a.       Pengertian ijtihad
Sebenarnya kata “ijtihad” serumpun dengan kata “jihad”, yaitu keduanya mempunyai akar kata yang sama, yaitu dari kata “jahada”, artinya “mengerahkan segala kemampuan”. Dalam wacana Islam, kedua pengertian tersebut dalam penggunaannya mempunyai arah yang berbeda. “jihad” diartikan sebagai pengerahan kemampuan secara maksimal, penggunaannya lebih cenderung pada segi fisik, sedangkan ijtihad, penggunaannya lebih cenderung pada segi non-fisik (akal pikiran) atau yang bersifat ilmiah. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid.
Secara terminologis ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan dengan semaksimal mungkin dalam mengungkapkan kejelasan atau maksud hukum Islam untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.[18]
b.      Kedudukan Ijtihad
Mendudukkan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam tentu tidak dapat disejajarkan atau diperlakukan sama dengan dua sumber pokok lainnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad lebih tepat dikatakan sebagai sumber kekuatan, alat, atau cara untuk meneropong dua sumber pokok itu dalam kaitannya dengan fenomena-fenomena kehidupan. Adanya ijtihad ini akan menandakan bahwa ajaran Islam senantiasa memberikan jawaban atau solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam dari zaman ke zaman, sehingga hukumnya senantiasa aktual dan berlaku disetiap tempat dan waktu.[19]


[1] Abdurrohim. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Kelas X SMA. 49-50.
[2] Ibid., 50-51.
[3] Ibid., 54.
[4] Ibid., 55.
[5] Ibid., 55-56.
[6] Ibid., 58.
[7] Ibid., 58.
[8] Ibid., 145.
[9] Erwin Yudi Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), 115.
[10] Abdurrohim. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Kelas X SMA, 34-35.
[11] Ibid., 38-39.
[12] Erwin Yudi Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), 73.
[13] Abdul Djalal. Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 11
[14]Erwin Yudi Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), 76.
[15] Erwin Yudi Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), 79.
[16] Kusniati Rofi’ah. Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PRESS, 2010), 20.
[17] Ibid., 26.
[18] Erwin Yudi Prahara. Materi Pendidikan Agama Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), 97.
[19] Ibid., 96.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Kelas X SMA.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Rofi’ah, Kusniati. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN PRESS, 2010.

Yudi Prahara, Erwin. Materi Pendidikan Agama Islam. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar