KAJIAN FILOSOFIS MENGENAI manusia
DALAM PANDANGAN ISLAM
makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
Disusun oleh:
Qurriyatul
Munawwaroh 210311149
Dosen pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M. Ag.
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat.
Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan
untuk membahas tentang manusia. Walaupun demikian, persoalan tentang manusia
akan tetap menjadi misteri yang tak terselesaikan. Namun demikian ikhtiar untuk
mempelajari manusia tidak berarti harus berhenti.[1]
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Manusia dalam pandangan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Kajian Istilah Manusia dalam Al-Qur’an?
2.
Bagaimana
Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam?
3.
Bagaimana
Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian
Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang
manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya
paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran.
Setidaknya ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia,
yaitu al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas. Meskipun ketiga
kata tersebut menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki
penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut:[2]
1.
Al-Basyar
Kata al-basyar dinyatakan dalam
al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi, al-Basyar
berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan
manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah
makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada didalamnya, seperti makan,
minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya.
Kata al-Basyar
ditunjukan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul
pun memiliki dimensi al-basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT
dalam al-Qur’an:
Katakanlah: “Sesungguhnya
Aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu….” (Q.S Al-Kahfi:
110).
Ayat tersebut
mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi pun memiliki sifat bashariyah.
Peggunaan kata al-Basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum
mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya secara umum
seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan umpamanya.
Ciri pokok yang
umum tersebut diantaranya adalah persamaan, dalam dunia ini memerlukan ruang
dan waktu, serta tunduk terhadap sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki
ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap alam,
seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan kata al-Basyar
pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada
aspek material atau dimensi alamiahnya saja.[3]
2.
Al-Insan
Kata al-Insan yang berasal
dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan
tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan
harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa.[4]
Kata Insan digunakan
al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan totalitasnya: jiwa dan raga.
Manusia berbeda antara seseorang dengan lainnya, akibat perbedaan fisik, mental
dan kecerdasan.[5]
Penggunaan kata al-Insan pada
umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat
khalifah di muka bumi. Sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya.
Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk
pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini
menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi dibanding
makhluknya yang lain.[6]
Perpaduan antara aspek pisik dan
psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan
al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu bicara, mengetahui
baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.[7]
Kata al-Insan juga
menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun
proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan
berproses.
Bila proses penciptaan manusia
sebagaimana dimaksud di atas dianalisa lebih mendalam, maka penggunaan kata al-Insan
pada ayat diatas mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan
berbagai unsurnya). Kedua dimensi spiritual (ditiupkan-Nya roh-Nya kepada
manusia).
Dengan demikian kedua dimensi
tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-Insan mempunyai
makna akan keunikan manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan
keistimewaan, ia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa,
kikir, suka membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya.
Untuk itu, agar manusia hidup sesuai
dengan nilai-nilai Illahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap
menggunakan akal dan seluruh potensi yang dimiliknya secara optimal, dengan
tetap berpedoman kepada ajaran Illahi.[8]
3.
Al-Nas
Kata Al-Nas dinyatakan dalam
al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-Nas
menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan,
tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Nas
lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman
tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas
menunjuk manusia sebagai makhluk social dan kebanyakan digambarkan sebagai
kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan merupakan
pengisi neraka, disamping iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah SWT: “Maka
jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat
(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Q.S. Al-Baqarah: 24).[9]
B.
Kedudukan
Manusia dalam Pandangan Islam
1.
Sebagai
pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.
Tuhan telah melengkapi manusia
dengan potensi-potensi rohaniah yang lebih dari makhluk-makhluk hidup yang
lain, terutama potensi akal, maka pada manusia juga dibebani tugas, disamping
tugas untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya juga untuk memelihara
dan melestarikan alam ini dan dilarang untuk merusaknya.
2.
Sebagai
peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan.
Allah memerintahkan pada manusia
agar menggunakan akalnya, untuk mempelajari alam semesta dan dirinya sendiri,
juga untuk dapat menggunakan nama Tuhannya yang telah menciptakan dirinya
(beriman kepada Allah).[10]
3.
Sebagai
khalifah (penguasa) di muka bumi
Manusia diberi kedudukan oleh Tuhan
sebagai penguasa, pengatur kehidupan di muka bumi ini. Agar manusia mampu
menjadi khalifah atau sebagai pengemban fungsi penciptaan dan rububiyah-Nya
terhadap alam semesta, maka Allah telah menciptakan manusia dan menyiapkannya
serta memberinya kelengkapan dan sarana yang diperlukan dengan sebaik-baiknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan struktur dasar penciptaan yang
sebaik-baiknya.[11]
4.
Sebagai
makhluk yang paling tinggi dan paling mulia.
Manusia dalam pandangan Islam adalah
makhluk ciptaan Allah dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah yang
lainnya.[12]
Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu
dalam sebaik-baik kejadian”.
5.
Sebagai
‘Abd (Pengabdi Allah).
Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas
individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk
pengabdian ritual kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi
ini memrlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas
dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah SWT.
Secara luas, konsep ‘abd sebenarnya
meliputi seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa
seluruh aktifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat
dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-mata
hanya untuk mencari ridha Allah SWT.[13]
6.
Sebagai
makhluk yang bertanggungjawab.
Setelah dengan kemampuan akalnya
manusia meneliti dunianya dan dirinya sendiri, dan kemudian mengerti bahwa
hakikt diciptakannya manusia dan alam semesta ini semata-mata untuk menyembah
kepada Tuhan, maka sebagai konsekuensi diberikan kedudukan yang istimewa oleh
Tuhan pada manusia seperti di atas, maka manusia juga dituntut untuk
bertanggungjawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di atas dunia ini, kelak
di akhirat.
7.
Sebagai
makhluk yang dapat dididik dan mendidik.
Manusia sebagai makhluk yang dididik
dapat dipahami dari firman Allah: “Dan Tuhan mengajarkan kepada Adam
nama-nama segalanya”. (Q.S. Al-Baqarah: 31).
Sedangkan manusia sebagai makhluk
yang mendidik dapat dipahami dari firman Allah yang mengisahkan bagaiman Luqman
mengajar anaknya. Sebagaimana firman Allah: “perhatikanlah ketika berkata
Luqman kepada anaknya sedang ia memberi pelajaran kepadanya, katanya: hai
anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah
itu keaniayaan yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)[14]
C.
Pandangan
Islam tentang Hakikat Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu
merupakan perikatan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain.
Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substabsi = unsur asal
sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk.
Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa ruh adalah inti dari manusia, yang
bersifat memimpin dan mengarahkan tujuan bagi seseorang. Hal yang membedakan
manusia dengan makhluk hidup lainnya ialah sifat dari ruhnya yang merupakn inti
dari manusia tersebut.[15]
Di bawah ini dikutipkan sebuah ayat suci Al-Qur’an yang menguraikan
tentang proses kejadian manusia, firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami ciptakan
manusia dari sari tanah. Kemudian Kami jadikan sari tanah itu air mani
(terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu
Kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging dan dari segumpal itu Kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang
belulang itu Kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu Kami jadikan dia
makhluk yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (Suci Allah)
pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mukminun: 12-14).
Dari ayat al-Qur’an tersebut di atas, jelaslah bahwa proses perkembangan
dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan
perumbuhan pada hewan. Semuanya berproses menurut hukum-hukum alam yang
material. Hanya pada kejadian manusia, sebelum makhluk yang disebut manusia itu
dilahirkan dari rahim ibunya, Tuhan telah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam
tubuh manusia. Ruh yang berasal dari Tuhan itulah yang menjadi hakikat manusia.
Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena Tuhan tidak meniupkan ruh
pada hewan.
Dari uraian di atas, terlihat pula bahwa pendirian di Islam, bahwa
manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh
yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan
jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan
material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer,
karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia.
Dalam
diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan, karena dalam
proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Sifat dan
unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut, berupa potensi-potensi pembawaan
yang dalam proses kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya dalam
tingkah laku dan perbuatan nyata. Di samping itu, manusia sebagai khalifah
Allah, juga merealisir fungsi ketuhanan, sehingga manusia adalah berfungsi
kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dengan
demikian hidup dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada
kesempurnaan.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang
manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya
paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran.
Setidaknya ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia,
yaitu al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas.
Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam:
1.
Sebagai
pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.
2.
Sebagai
peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan.
3.
Sebagai
khalifah (penguasa) di muka bumi
4.
Sebagai
makhluk yang paling tinggi dan paling mulia.
5.
Sebagai
‘Abd (Pengabdi Allah).
6.
Sebagai
makhluk yang bertanggungjawab.
7.
Sebagai
makhluk yang dapat dididik dan mendidik.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu
merupakan perikatan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain.
Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang
dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material
bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang
material, tidak dapat dinamakan manusia.
[1]
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), 11.
[2]
Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan historis, teoritis dan
praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 1.
[3]
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 4-5.
[4]
Samsul Nizar. Filsafat…, 5.
[5]
Basuki dan Miftahul Ulum. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Ponorogo:
STAIN Po PRESS, 2007), 58.
[6]
Ramayulis. Ilmu…, 3-4.
[7] Samsul
Nizar. Filsafat…, 6.
[8]
Ramayulis. llmu…, 4.
[9] Samsul
Nizar. Filsafat…, 12.
[10]
Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), 85-86.
[11]
Muhaimin, Suti’ah dan Nur Ali. Paradigma Pendidikan Islam. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008), 28.
[12]
Jalaluddin. Teologi…, 17.
[13]
Samsul Nizar. Filsafat…, 19.
[14]
Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat…, 89-91.
[15]
Abdul Qadir Djaelani. Filsafat Islam. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992),
154.
[16]
Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat…, 75-79.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki dan Ulum, Miftahul. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam.
Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007.
Djaelani, Abdul Qadir. Filsafat Islam. Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1992.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Muhaimin, Suti’ah dan Ali, Nur. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan historis,
teoritis dan praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2002.
Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara: 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar