Minggu, 25 Oktober 2015

smt 5 filsafat pendidikan islam ria

KAJIAN FILOSOFIS MENGENAI manusia
DALAM PANDANGAN ISLAM

makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

 












Disusun oleh:
Qurriyatul Munawwaroh                 210311149

Dosen pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M. Ag.



JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia. Walaupun demikian, persoalan tentang manusia akan tetap menjadi misteri yang tak terselesaikan. Namun demikian ikhtiar untuk mempelajari manusia tidak berarti harus berhenti.[1] Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Manusia dalam pandangan Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kajian Istilah Manusia dalam Al-Qur’an?
2.      Bagaimana Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam?
3.      Bagaimana Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kajian Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Setidaknya ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitu al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas. Meskipun ketiga kata tersebut menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:[2]
1.      Al-Basyar
Kata al-basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi, al-Basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada didalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya.
            Kata al-Basyar ditunjukan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
            Katakanlah: “Sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu….” (Q.S Al-Kahfi: 110).
            Ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi pun memiliki sifat bashariyah. Peggunaan kata al-Basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya secara umum seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan umpamanya.
            Ciri pokok yang umum tersebut diantaranya adalah persamaan, dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan kata al-Basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi alamiahnya saja.[3]
2.      Al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa.[4]
Kata Insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan totalitasnya: jiwa dan raga. Manusia berbeda antara seseorang dengan lainnya, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.[5]
Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi. Sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi dibanding makhluknya yang lain.[6]
Perpaduan antara aspek pisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu bicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.[7]
Kata al-Insan juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Bila proses penciptaan manusia sebagaimana dimaksud di atas dianalisa lebih mendalam, maka penggunaan kata al-Insan pada ayat diatas mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya). Kedua dimensi spiritual (ditiupkan-Nya roh-Nya kepada manusia).
Dengan demikian kedua dimensi tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-Insan mempunyai makna akan keunikan manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya.
Untuk itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai Illahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap menggunakan akal dan seluruh potensi yang dimiliknya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran Illahi.[8]
3.      Al-Nas
Kata Al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-Nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk social dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadah dan merupakan pengisi neraka, disamping iblis. Hal ini terlihat pada firman Allah SWT: “Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Q.S. Al-Baqarah: 24).[9]
B.     Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam
1.      Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.
Tuhan telah melengkapi manusia dengan potensi-potensi rohaniah yang lebih dari makhluk-makhluk hidup yang lain, terutama potensi akal, maka pada manusia juga dibebani tugas, disamping tugas untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya juga untuk memelihara dan melestarikan alam ini dan dilarang untuk merusaknya.
2.      Sebagai peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan.
Allah memerintahkan pada manusia agar menggunakan akalnya, untuk mempelajari alam semesta dan dirinya sendiri, juga untuk dapat menggunakan nama Tuhannya yang telah menciptakan dirinya (beriman kepada Allah).[10]
3.      Sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi
Manusia diberi kedudukan oleh Tuhan sebagai penguasa, pengatur kehidupan di muka bumi ini. Agar manusia mampu menjadi khalifah atau sebagai pengemban fungsi penciptaan dan rububiyah-Nya terhadap alam semesta, maka Allah telah menciptakan manusia dan menyiapkannya serta memberinya kelengkapan dan sarana yang diperlukan dengan sebaik-baiknya. Allah telah menciptakan manusia dengan struktur dasar penciptaan yang sebaik-baiknya.[11]
4.      Sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling mulia.
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk ciptaan Allah dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.[12] Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu dalam sebaik-baik kejadian”.
5.      Sebagai ‘Abd (Pengabdi Allah).
Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi ini memrlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah SWT.
Secara luas, konsep ‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT.[13]
6.      Sebagai makhluk yang bertanggungjawab.
Setelah dengan kemampuan akalnya manusia meneliti dunianya dan dirinya sendiri, dan kemudian mengerti bahwa hakikt diciptakannya manusia dan alam semesta ini semata-mata untuk menyembah kepada Tuhan, maka sebagai konsekuensi diberikan kedudukan yang istimewa oleh Tuhan pada manusia seperti di atas, maka manusia juga dituntut untuk bertanggungjawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di atas dunia ini, kelak di akhirat.
7.      Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik.
Manusia sebagai makhluk yang dididik dapat dipahami dari firman Allah: “Dan Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama segalanya”. (Q.S. Al-Baqarah: 31).
Sedangkan manusia sebagai makhluk yang mendidik dapat dipahami dari firman Allah yang mengisahkan bagaiman Luqman mengajar anaknya. Sebagaimana firman Allah: “perhatikanlah ketika berkata Luqman kepada anaknya sedang ia memberi pelajaran kepadanya, katanya: hai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu keaniayaan yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)[14]
C.     Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perikatan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substabsi = unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa ruh adalah inti dari manusia, yang bersifat memimpin dan mengarahkan tujuan bagi seseorang. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya ialah sifat dari ruhnya yang merupakn inti dari manusia tersebut.[15]
Di bawah ini dikutipkan sebuah ayat suci Al-Qur’an yang menguraikan tentang proses kejadian manusia, firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami ciptakan manusia dari sari tanah. Kemudian Kami jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu Kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan dari segumpal itu Kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu Kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu Kami jadikan dia makhluk yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (Suci Allah) pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mukminun: 12-14).
Dari ayat al-Qur’an tersebut di atas, jelaslah bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan perumbuhan pada hewan. Semuanya berproses menurut hukum-hukum alam yang material. Hanya pada kejadian manusia, sebelum makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, Tuhan telah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia. Ruh yang berasal dari Tuhan itulah yang menjadi hakikat manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena Tuhan tidak meniupkan ruh pada hewan.
Dari uraian di atas, terlihat pula bahwa pendirian di Islam, bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia.
Dalam diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut, berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata. Di samping itu, manusia sebagai khalifah Allah, juga merealisir fungsi ketuhanan, sehingga manusia adalah berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan.[16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Setidaknya ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitu al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas.
Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam:
1.      Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.
2.      Sebagai peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan.
3.      Sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi
4.      Sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling mulia.
5.      Sebagai ‘Abd (Pengabdi Allah).
6.      Sebagai makhluk yang bertanggungjawab.
7.      Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perikatan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia.



[1] Jalaluddin. Teologi Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 11.
[2] Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan historis, teoritis dan praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 1.
[3] Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 4-5.
[4] Samsul Nizar. Filsafat…, 5.
[5] Basuki dan Miftahul Ulum. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007), 58.
[6] Ramayulis. Ilmu…, 3-4.
[7] Samsul Nizar. Filsafat…, 6.
[8] Ramayulis. llmu…, 4.
[9] Samsul Nizar. Filsafat…, 12.
[10] Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 85-86.
[11] Muhaimin, Suti’ah dan Nur Ali. Paradigma Pendidikan Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 28.
[12] Jalaluddin. Teologi…, 17.
[13] Samsul Nizar. Filsafat…, 19.
[14] Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat…, 89-91.
[15] Abdul Qadir Djaelani. Filsafat Islam. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992), 154.
[16] Zuhairini dan Muchtarom. Filsafat…, 75-79. 

DAFTAR PUSTAKA

Basuki dan Ulum, Miftahul. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007.
Djaelani, Abdul Qadir. Filsafat Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Muhaimin, Suti’ah dan Ali, Nur. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan historis, teoritis dan praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara: 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar