DINASTI ABBASIYAH
Makalah
ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok
Pada mata kuliah “Studi materi SKI”
Disusun
Oleh :
Qurriyatul Munawwaroh 210311149
Resfia
Febrianasari 210311158
Ahsanul
Ihsan
210311177
Dosen
Pengampu :
M. Irfan Riyadi
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PONOROGO
NOVEMBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam setelah Khulafaur Rasyidin mengalami banyak perkembangan
serta banyak perubahan yang terjadi seiring dengan pergantian penguasa. Setiap
babak baru dalam pergantian kekuasan ini ada yang mengalami puncak kejayaan
yang cukup lama. Kejayaan ini membawa pengaruh besar dalam perkembangan Islam
di berbagai bidang. Bani Abbasiyah adalah salah satu Dinasti yang berperan
dalam perkembangan tersebut dan merupakan Dinasti kedua yang memerankan drama
besar politik dan perkembangan Islam setelah bani Umayah. Dinasti Abbasiyah ini
membawa pengaruh besar dalam perkembangan Islam. Walaupun akhirnya Dinasti ini
juga hancur karena berbagai faktor.
Dalam pembahasan makalah ini akan dibahas mengenai Dinasti
Abbasiyah mulai dari sejarah berdirinya, perkembangan islam pada masa Abbasiyah
sampai berakhirnya kekhalifahan Dinasti Abbasiyah..
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah?
2.
Bagaimana
Periodisasi Dinasti Abbasiyah?
3.
Apa
Sebab-sebab dan Faktor Hancurnya Pemerintahan Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Daulah Umayah. Gerakannya begitu rapi dan
tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah. Selain itu gerakan ini
juga didukung oleh kalangan Syiah.
Gerakan Abbasiyah mulai muncul di daerah Hamimah (Yordania), Kufah
(Irak) dan Khurasan. Salah satu pendirinya adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah
bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad bin Ali meninggal, anaknya,
Ibrahim menggantikan posisinya.
Pada 125 H, saat pemerintahan Bani Umayyah mengalami masa
kemunduran, gerakan Abbasiyah semakin gencar. Empat tahun kemudian, Ibrahim bin
Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Muslim
Al-Khurasani. Namun, gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad, Khalifah
terakhir Bani Umayah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjarakan.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang
lebih dikenal dengan Abul Abbas As-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa,
bersama rombongan, ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3
Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani
Abbasiyah di Masjid Kufah.[1]
B.
Periodisasi
Dinasti Abbasiyah
Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode, yaitu:[2]
1.
Periode Awal atau Periode Pengaruh Persia
pertama (750-847)
Salah
satu ciri pemerintahan Abbasiyah adalah adanya unsur non Arab yang mempengaruhi
pemerintahannya seperti Persia dan Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah
lebih cenderung seperti pemerintahan Persia dimana Raja mempunyai kekuasaan absolut
yang mendapat mandat dari Tuhan.[3]
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disis lain kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat teringgi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.[4]
Ada
9 khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu:
a.
Abu Abbas as-Saffah
Dia bernama
Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, khalifah pertama
pemerintahan Bani Abbasiyah.[5]
Gelar As-Saffah itu diberikan orang-orang karena ia terkenal dengan
sifat yang tidak mengenal belas kasihan terhadap Bani Umayyah. Hal itu karena
dendamnya yang begitu besar, sehingga dengan dinginnya ia membunuh keturunan
Bani Umayyah, termasuk orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ikut campur
dengan urusan politik sekalipun.[6]
Kufah merupakan
pusat gerakan Bani Abbasiyah dan di tempat ini pula Saffah dibaiat sebagai
khalifah. Kemudian dia tinggalkan dan menuju Anbar yang kemudian dia jadikan
sebagai ibukota negerinya.
Dia banyak
disibukkan dengan upaya untuk konsolidasi internal dan untuk menguatkan
pilar-pilar negara yang belum sepenuhnya stabil. Oleh sebab itulah, dia tidak
banyak fokus terhadap masalah-masalah penaklukan. Dia meninggal dunia pada
tahun 136H/753M, dan memerintah dalam jangka waktu empat tahun.[7]
b.
Abu Ja’far al-Manshur
Abu Ja’far
al-Mansur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya,
As-Saffah. Abu Ja’far al-Manshur
mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur
pemerintahan ditata rapi dan cermat. Selama masa kepemimpinannya, kehidupan
masyarakat berjalan tentram, aman dan makmur. Tidak ada gejolak politik dan
pemberontakan-pemberontakan.[8]
Al-Manshur segera menaklukkan negeri-negeri yang ingkar janji, seperti
Thibristan, Dailam, dan Kashmir serta yang lainnya. Dia membangun kota Baghdad
sebagai ibukota pemerintahannya.
Pada masa
al-Manshur pengertian khalifah kembali berubah, Dia berkata “Innama ana
Sulthan Allah fi ardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di
Bumi-Nya)”. Dengan demikian konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke
generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah bukan dari manusia. [9]
Al-Manshur
adalah orang yang mengokohkan akar pemerintahan Bani Abbasiyah,
menstabilkannya, dan membereskan pondasi-pondasinya. Dia juga membuat
undang-undang.[10]
c.
Mahdi bin al-Manshur
Pengganti
Al-Manshur adalah putera mahkotanya, Al-Mahdi. Era Al-Mahdi merupakan era
kehidupan yang makmur, damai, kematangan pikiran dan kemajuan dibidang politik
dan pemerintahan. Ketika memimpin, Al-Mahdi memunculkan kebijakan-kebijakan
yang sangat longgar dalam hal pajak, pembebasan tahanan politik, membuka lebar
kran aspirasi terkait pengaduan dan penganiayaan. Yang lebih penting lagi
adalah, Al-Mahdi telah menghentikan penindasan terhadap kalangan pembelot dari
keluarga Alawiyyin dan merapatkan hubungan dengan kaum Alawiyyin karena
merpakan satu keluarga besar Bani Hasyim dan ahlul bait.[11]
d.
Hadi bin Mahdi
Al-Hadi, putra
Al-Mahdi, menjadi khalifah sepeninggal ayahnya pada tahun 169 Hijriyah.[12]
Pada era pemerintahan Al-Hadi tidak banyak catatan peran sejarah karena Al-Hadi
hanya memimpin selama 1 tahun dan digantikan Harun Al-Rasyid.[13]
e.
Harun al-Rasyid
Al-Rayid
merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam
mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Bahkan, pada masanya, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai puncak
keemasan dan keagungannya sehingga dia sangat terpandang dengan kekuatan dan
kemajuan ilmu pengetahuannya.
Masa
pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan stabil, tidak ada
pemberontakan yang menonjol dan signifikan.[14]
Baghdad sebagai
ibukota Negara telah menjadi pusat kebudayaan dan peradaban dunia. Bahkan
Baghdad dikenal sebagai kota intelektual yaitu sebuah kota umat Islam yang
menjadi profesor bagi kota-kota umat Islam yang lain.
f.
Al-Amin
Di antara
seluruh khalifah Abbasiyah, hanyalah khalifah Al-Amin yang ayah dan ibunya
keturunan Bani Hasyim (Arab). Ayahnya, Harun Ar-Rasyid dan ibunya Zubaidah
masih keturunan Bani Hasyim. Sedangkan Al-Makmun sendiri yang direncanakan
kelak akan menjadi khalifah setelah Al-Amin, masih keturunan Iran. Ar-Rasyid
telah membaiat keduanya di Mekah dan mengambil janji setia dari mereka untuk
tidak berselisih
Namun, ada
seorang yang bernama al-Fadhl ibnur-Rabi’ –salah seorang menteri Al-Amin- yang
mendorongnya untuk mencopot posisi putra mahkota dari adiknya dan memberikannya
kepada anaknya yang bernama Musa. Ternyata Al-Amin termakan tipuan ini dan dia
merobek surat baiat. Maka, Al-Makmun segera memberontak.
Pasukan
Al-Makmun masuk ke Baghdad pada tahun 198 H. Maka, terjadilah perang sengit
antara kedua pasukan. Pasukan Al-Amin kalah dalam peperangan ini. Sedangkan,
Al-Amin melarikan diri yang kemudian dibunuh pada tahun 198H.[15]
g.
Al-Makmun
Al-Makmun
memberikan andil besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.
Al-Makmun telah mengoleksi begitu banyak buku-buku dan kebijakannya melakukan
upaya penterjemahan sains telah mendorong munculnya ilmuwan-ilmuwan dan para
pemikir besar dunia dari dunia Islam. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan
telah mendorong Al-Makmun mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat pendidikan, kebudayaan,
perpustakaan serta kegiatan ilmiah yang lain.[16]
h.
Al-Mu’tashim
Al-Makmun
digantikan oleh saudaranya, Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim. Dia banyak
mengangkat pasukan dari orang-orang Turki sehingga jumlah mereka semakin banyak
di Baghdad. Maka, dia membangun sebuah kota untuk mereka yang dikenal dengan
sebutan Samura’. Tampaknya al-Mu’tashim kehilangan kepercayaan pada orang-orang
Arab dan Persia. Sehingga, dia mengambil orang-orang Turki sebagai orang-orang
dekatnya.[17]
i.
Al-Wasiq
Al-Wasiq
menjadi khalifah setelah ayahnya, al-Mu’tashim. Pada masa ini tidak terjadi
peristiwa yang sangat signifikan. Panglima-panglima asal Turki di masanya
mencapai posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan Al-Wasiq telah member
gelari “Sultan” pada seorang panglima asal Turki yang bernama Asynas. Sehingga,
membuat panglima Turki itu memiliki kewenangan yang sangat luas.[18]
Baik khalifah
Al-Makmun maupun Al-Wasiq masih mampu mengendalikan orang-orang Turki yang
menjadi tentara professional di lingkungan Abbasiyah. Sesudah kekuasaan
Al-Mutawakkil , kejayaan mulai memudar disamping tidak cukup kuat untuk
mengendalikan tentara profesional orang-orang Turki.[19]
2.
Periode Lanjutan atau Turki Pertama (847-945)
Ada
13 khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu: Al-Mutawakkil, Al-Muntashir,
Musta’in, Al-Mu’taz, Al-Muhtadi, Al-Mu’tamid, Al-Mu’tadhid, Al-Muktafi,
Al-Muqtadir, Al-Qahir, Ar-Radhi, Al-Muttaqi, Al-Mustakfie.
Masa
ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki salah satu cirinya adalah orang
Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Sepeninggal al-Mutawakkil,
para Jenderal Turki berhasil mengontrol pemerintahan, sehingga khalifah hanya
dijadikan “boneka” atau simbol seperti khalifah al-Munthasir, al-Mustain,
al-Mu’tazz, al-Muhtadi.[20]
Selanjutnya
masa ini mewariskan kepada masa sesudahnya berupa kondisi ekonomi yang sempit
dan berbagai kekacauan dalam urusan khilafah.[21]
3.
Periode Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua
(945-1055)
Adapun
khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu: Al-Muthi’, At-Thai, Al-Qadir dan
Al-Qaim. Masa ini berjalan lebih dari 150 tahun, namun kekuasaan khalifah
dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah
ini, pada awalnya untuk menyelamatkan keselamatan khalifah yang telah jatuh
sepenuhnya dibawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki. Dominasi
Bani Buwaihiyah berasal dari diangkatnya Ahmad bin Buwaihi oleh al-Muktafie
sebagai jasa mereka dalam menyingkirkan pengawal-pengawal Turki. Pengangkatan
ini merupakan senjata makan tuan, dimana Ahmad bin Buwaihi yang diangkat
sebagai amir umara’ menurunkan khalifah muktafie.
Bani
Buwaihiyah mengangkat khalifah dengan memakai nama “atas pilihan rakyat” namun
setelah upacara pelantikan, khalifah diminta tinggal di Istana dan dilarang berhubungan
dengan siapapun.[22]
4.
Periode Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki
Kedua (1054-1157)
Masa
ini berawal ketika Seljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan
Bani Buwaihiyah dan berakhir dengan adanya serbuan Mongol. Adapun khalifah yang
memerintah pada masa pengaruh Turki kedua ini adalah: Muqtadi, Mustazhir,
Mustarsyid, Al-Muqtafi, Al-Rasyid, Al-Mustanjid, Al-Mustadhi, Al-Nashir, Az-Zahir,
Mustanshir, dan Musta’shim.
Khalifah-khalifah
tersebut hanya mempunyai wewenang dalam bidang keagamaan saja, sedangkan bidang
lainnya di bawah dominasi Turki.[23]
5.
Bebas dari pengaruh lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif disekitar kota Baghdad (1157-1258).
Pada
periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu
Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Para khalifah
Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad.
Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti.
Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam
sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.[24]
C.
Sebab-sebab dan Faktor Hancurnya Pemerintahan
Abbasiyah
Kita bisa
melihat banyaknya peristiwa yang terjadi di dunia Islam saat pemerintahan Bani
Abbasiyah. Juga melihat banyaknya wilayah yang memisahkan diri dan memiliki
kekuasaan yang besar lalu hilang eksistensinya.
Selain itu,
kita melihat bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami masa jaya dimana kekuasaan
sepenuhnya berada dibawah kontrol para khalifah. Setelah itu grafik kekuatannya
semakin turun hingga akhirnya berhasil dihancurkan oleh orang-orang Mongolia.
Lalu, apa
sebenarnya sebab-sebab hancur dan ambruknya pemerintahan Abbasiyah. Mungkin
bias kita ringkas sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai
berikut:[25]
1.
Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem
keluarga.
2.
Tidak menerapkan syariah, dalam artian mereka
tidak lagi mengindahkan syariat tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
3.
Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga
tidak mampu mencakup wilayah yang luas.[26]
4.
Munculnya gerakan pemberontakan keagamaan.
5.
Melupakan salah satu pilar terpenting dari
rukun Islam, yakni jihad.
6.
Serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri
semua perjalanan pemerintahan Abbasiyah.[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Daulah Umayah. Salah satu pendirinya adalah
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad
bin Ali meninggal, anaknya, Ibrahim menggantikan posisinya.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang
lebih dikenal dengan Abul Abbas As-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa,
bersama rombongan, ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3
Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani
Abbasiyah di Masjid Kufah.
Periodisasi Pemerintahan Bani Abbasiyah:
1.
Periode Awal atau Periode Pengaruh Persia
pertama (750-847)
2.
Periode Lanjutan atau Turki Pertama (847-945)
3.
Periode Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua
(945-1055)
4.
Periode Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki
Kedua (1054-1157)
5.
Bebas dari pengaruh lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif disekitar kota Baghdad (1157-1258).
Sebab-sebab
kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai berikut:[28]
1.
Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem
keluarga.
2.
Tidak menerapkan syariah, dalam artian mereka
tidak lagi mengindahkan syariat tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
3.
Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga
tidak mampu mencakup wilayah yang luas.[29]
4.
Munculnya gerakan pemberontakan keagamaan.
5.
Melupakan salah satu pilar terpenting dari
rukun Islam, yakni jihad.
6.
Serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri
semua perjalanan pemerintahan Abbasiyah.[30]
[1]
Hepi Andi Bastoni. Sejarah Para Khalifah. (Jakarta: Al-Kautsar, 2008),
77-78.
[2]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), 49.
[3]
Istianah Abu Bakar. Sejarah Peradaban Islam. (Malang: UIN-Malang Press,
2008), 71-72.
[4]
Badri Yatim. Sejarah…, 50
[5]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah Islam. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2003),220.
[6]
Hepi Andi Bastoni. Sejarah…, 78.
[7]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 221-222.
[8]
Hepi Andi Bastoni. Sejarah…, 80.
[9]
Badri Yatim. Sejarah…, 52.
[10]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 225.
[11]
Syamsul Bakri. Peta Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta: Fajar Media Press,
2011), 50.
[12]
Yusuf Al-Isy. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti Abbasiyah. (Jakarta:
Al-Kautsar, 2007), 49.
[13]
Syamsul Bakri. Peta.., 50.
[14]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah..,227-228.
[15] Ibid.,
231.
[16]
Syamsul Bakri. Peta.., 51-52.
[17]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 234.
[18] Ibid.,
235.
[19]
Syamsul Bakri. Peta.., 52.
[20]
Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 73
[21]
Yusuf Al-Isy. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti…, 118.
[22]
Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 74.
[23]
Ibid., 76-77
[24]
Badri Yatim. Sejarah…, 79-80.
[25] Ahmad
al-‘Usairy. Sejarah…, 259.
[26]
Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 84.
[27]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259-260.
[28]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259.
[29]
Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 84.
[30]
Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259-260.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Istianah. Sejarah Peradaban Islam. Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Al-Isy, Yusuf. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti Abbasiyah.
Jakarta: Al-Kautsar, 2007.
Al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2003.
Bakri, Syamsul. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2011.
Bastoni, Hepi Andi. Sejarah Para Khalifah. Jakarta:
Al-Kautsar, 2008.
Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar