Rabu, 28 Oktober 2015

smt 5 SKI

DINASTI ABBASIYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
 Pada mata kuliah Studi materi SKI”










Disusun Oleh :
Qurriyatul Munawwaroh        210311149
Resfia Febrianasari                  210311158
Ahsanul Ihsan                         210311177


Dosen Pengampu :
M. Irfan Riyadi


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PONOROGO
NOVEMBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam setelah Khulafaur Rasyidin mengalami banyak perkembangan serta banyak perubahan yang terjadi seiring dengan pergantian penguasa. Setiap babak baru dalam pergantian kekuasan ini ada yang mengalami puncak kejayaan yang cukup lama. Kejayaan ini membawa pengaruh besar dalam perkembangan Islam di berbagai bidang. Bani Abbasiyah adalah salah satu Dinasti yang berperan dalam perkembangan tersebut dan merupakan Dinasti kedua yang memerankan drama besar politik dan perkembangan Islam setelah bani Umayah. Dinasti Abbasiyah ini membawa pengaruh besar dalam perkembangan Islam. Walaupun akhirnya Dinasti ini juga hancur karena berbagai faktor.
Dalam pembahasan makalah ini akan dibahas mengenai Dinasti Abbasiyah mulai dari sejarah berdirinya, perkembangan islam pada masa Abbasiyah sampai berakhirnya kekhalifahan Dinasti Abbasiyah..
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah?
2.      Bagaimana Periodisasi Dinasti Abbasiyah?
3.      Apa Sebab-sebab dan Faktor Hancurnya Pemerintahan Abbasiyah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Daulah Umayah. Gerakannya begitu rapi dan tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah. Selain itu gerakan ini juga didukung oleh kalangan Syiah.
Gerakan Abbasiyah mulai muncul di daerah Hamimah (Yordania), Kufah (Irak) dan Khurasan. Salah satu pendirinya adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad bin Ali meninggal, anaknya, Ibrahim menggantikan posisinya.
Pada 125 H, saat pemerintahan Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, gerakan Abbasiyah semakin gencar. Empat tahun kemudian, Ibrahim bin Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Muslim Al-Khurasani. Namun, gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad, Khalifah terakhir Bani Umayah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjarakan.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang lebih dikenal dengan Abul Abbas As-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa, bersama rombongan, ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah.[1]
B.     Periodisasi Dinasti Abbasiyah
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu:[2]
1.      Periode Awal atau Periode Pengaruh Persia pertama (750-847)
Salah satu ciri pemerintahan Abbasiyah adalah adanya unsur non Arab yang mempengaruhi pemerintahannya seperti Persia dan Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah lebih cenderung seperti pemerintahan Persia dimana Raja mempunyai kekuasaan absolut yang mendapat mandat dari Tuhan.[3]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disis lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat teringgi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.[4]
Ada 9 khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu:
a.       Abu Abbas as-Saffah
Dia bernama Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, khalifah pertama pemerintahan Bani Abbasiyah.[5] Gelar As-Saffah itu diberikan orang-orang karena ia terkenal dengan sifat yang tidak mengenal belas kasihan terhadap Bani Umayyah. Hal itu karena dendamnya yang begitu besar, sehingga dengan dinginnya ia membunuh keturunan Bani Umayyah, termasuk orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ikut campur dengan urusan politik sekalipun.[6]
Kufah merupakan pusat gerakan Bani Abbasiyah dan di tempat ini pula Saffah dibaiat sebagai khalifah. Kemudian dia tinggalkan dan menuju Anbar yang kemudian dia jadikan sebagai ibukota negerinya.
Dia banyak disibukkan dengan upaya untuk konsolidasi internal dan untuk menguatkan pilar-pilar negara yang belum sepenuhnya stabil. Oleh sebab itulah, dia tidak banyak fokus terhadap masalah-masalah penaklukan. Dia meninggal dunia pada tahun 136H/753M, dan memerintah dalam jangka waktu empat tahun.[7]
b.      Abu Ja’far al-Manshur
Abu Ja’far al-Mansur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya, As-Saffah.  Abu Ja’far al-Manshur mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat. Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tentram, aman dan makmur. Tidak ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan.[8] Al-Manshur segera menaklukkan negeri-negeri yang ingkar janji, seperti Thibristan, Dailam, dan Kashmir serta yang lainnya. Dia membangun kota Baghdad sebagai ibukota pemerintahannya.
Pada masa al-Manshur pengertian khalifah kembali berubah, Dia berkata “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di Bumi-Nya)”. Dengan demikian konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah bukan dari manusia. [9]
Al-Manshur adalah orang yang mengokohkan akar pemerintahan Bani Abbasiyah, menstabilkannya, dan membereskan pondasi-pondasinya. Dia juga membuat undang-undang.[10]
c.       Mahdi bin al-Manshur
Pengganti Al-Manshur adalah putera mahkotanya, Al-Mahdi. Era Al-Mahdi merupakan era kehidupan yang makmur, damai, kematangan pikiran dan kemajuan dibidang politik dan pemerintahan. Ketika memimpin, Al-Mahdi memunculkan kebijakan-kebijakan yang sangat longgar dalam hal pajak, pembebasan tahanan politik, membuka lebar kran aspirasi terkait pengaduan dan penganiayaan. Yang lebih penting lagi adalah, Al-Mahdi telah menghentikan penindasan terhadap kalangan pembelot dari keluarga Alawiyyin dan merapatkan hubungan dengan kaum Alawiyyin karena merpakan satu keluarga besar Bani Hasyim dan ahlul bait.[11]
d.      Hadi bin Mahdi
Al-Hadi, putra Al-Mahdi, menjadi khalifah sepeninggal ayahnya pada tahun 169 Hijriyah.[12] Pada era pemerintahan Al-Hadi tidak banyak catatan peran sejarah karena Al-Hadi hanya memimpin selama 1 tahun dan digantikan Harun Al-Rasyid.[13]
e.       Harun al-Rasyid
Al-Rayid merupakan mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bahkan, pada masanya, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan keagungannya sehingga dia sangat terpandang dengan kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuannya.
Masa pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan stabil, tidak ada pemberontakan yang menonjol dan signifikan.[14]
Baghdad sebagai ibukota Negara telah menjadi pusat kebudayaan dan peradaban dunia. Bahkan Baghdad dikenal sebagai kota intelektual yaitu sebuah kota umat Islam yang menjadi profesor bagi kota-kota umat Islam yang lain.
f.       Al-Amin
Di antara seluruh khalifah Abbasiyah, hanyalah khalifah Al-Amin yang ayah dan ibunya keturunan Bani Hasyim (Arab). Ayahnya, Harun Ar-Rasyid dan ibunya Zubaidah masih keturunan Bani Hasyim. Sedangkan Al-Makmun sendiri yang direncanakan kelak akan menjadi khalifah setelah Al-Amin, masih keturunan Iran. Ar-Rasyid telah membaiat keduanya di Mekah dan mengambil janji setia dari mereka untuk tidak berselisih
Namun, ada seorang yang bernama al-Fadhl ibnur-Rabi’ –salah seorang menteri Al-Amin- yang mendorongnya untuk mencopot posisi putra mahkota dari adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Ternyata Al-Amin termakan tipuan ini dan dia merobek surat baiat. Maka, Al-Makmun segera memberontak.
Pasukan Al-Makmun masuk ke Baghdad pada tahun 198 H. Maka, terjadilah perang sengit antara kedua pasukan. Pasukan Al-Amin kalah dalam peperangan ini. Sedangkan, Al-Amin melarikan diri yang kemudian dibunuh pada tahun 198H.[15]
g.      Al-Makmun
Al-Makmun memberikan andil besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Al-Makmun telah mengoleksi begitu banyak buku-buku dan kebijakannya melakukan upaya penterjemahan sains telah mendorong munculnya ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir besar dunia dari dunia Islam. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan telah mendorong Al-Makmun mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, perpustakaan serta kegiatan ilmiah yang lain.[16]
h.      Al-Mu’tashim
Al-Makmun digantikan oleh saudaranya, Abu Ishak Muhammad Al-Mu’tashim. Dia banyak mengangkat pasukan dari orang-orang Turki sehingga jumlah mereka semakin banyak di Baghdad. Maka, dia membangun sebuah kota untuk mereka yang dikenal dengan sebutan Samura’. Tampaknya al-Mu’tashim kehilangan kepercayaan pada orang-orang Arab dan Persia. Sehingga, dia mengambil orang-orang Turki sebagai orang-orang dekatnya.[17]
i.        Al-Wasiq
Al-Wasiq menjadi khalifah setelah ayahnya, al-Mu’tashim. Pada masa ini tidak terjadi peristiwa yang sangat signifikan. Panglima-panglima asal Turki di masanya mencapai posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan Al-Wasiq telah member gelari “Sultan” pada seorang panglima asal Turki yang bernama Asynas. Sehingga, membuat panglima Turki itu memiliki kewenangan yang sangat luas.[18]
Baik khalifah Al-Makmun maupun Al-Wasiq masih mampu mengendalikan orang-orang Turki yang menjadi tentara professional di lingkungan Abbasiyah. Sesudah kekuasaan Al-Mutawakkil , kejayaan mulai memudar disamping tidak cukup kuat untuk mengendalikan tentara profesional orang-orang Turki.[19]
2.      Periode Lanjutan atau Turki Pertama (847-945)
Ada 13 khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu: Al-Mutawakkil, Al-Muntashir, Musta’in, Al-Mu’taz, Al-Muhtadi, Al-Mu’tamid, Al-Mu’tadhid, Al-Muktafi, Al-Muqtadir, Al-Qahir, Ar-Radhi, Al-Muttaqi, Al-Mustakfie.
Masa ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki salah satu cirinya adalah orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Sepeninggal al-Mutawakkil, para Jenderal Turki berhasil mengontrol pemerintahan, sehingga khalifah hanya dijadikan “boneka” atau simbol seperti khalifah al-Munthasir, al-Mustain, al-Mu’tazz, al-Muhtadi.[20]
Selanjutnya masa ini mewariskan kepada masa sesudahnya berupa kondisi ekonomi yang sempit dan berbagai kekacauan dalam urusan khilafah.[21]


3.      Periode Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua (945-1055)
Adapun khalifah yang memerintah pada masa ini, yaitu: Al-Muthi’, At-Thai, Al-Qadir dan Al-Qaim. Masa ini berjalan lebih dari 150 tahun, namun kekuasaan khalifah dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah ini, pada awalnya untuk menyelamatkan keselamatan khalifah yang telah jatuh sepenuhnya dibawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki. Dominasi Bani Buwaihiyah berasal dari diangkatnya Ahmad bin Buwaihi oleh al-Muktafie sebagai jasa mereka dalam menyingkirkan pengawal-pengawal Turki. Pengangkatan ini merupakan senjata makan tuan, dimana Ahmad bin Buwaihi yang diangkat sebagai amir umara’ menurunkan khalifah muktafie.
Bani Buwaihiyah mengangkat khalifah dengan memakai nama “atas pilihan rakyat” namun setelah upacara pelantikan, khalifah diminta tinggal di Istana dan dilarang berhubungan dengan siapapun.[22]
4.      Periode Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki Kedua (1054-1157)
Masa ini berawal ketika Seljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan Bani Buwaihiyah dan berakhir dengan adanya serbuan Mongol. Adapun khalifah yang memerintah pada masa pengaruh Turki kedua ini adalah: Muqtadi, Mustazhir, Mustarsyid, Al-Muqtafi, Al-Rasyid, Al-Mustanjid, Al-Mustadhi, Al-Nashir, Az-Zahir, Mustanshir, dan Musta’shim.
Khalifah-khalifah tersebut hanya mempunyai wewenang dalam bidang keagamaan saja, sedangkan bidang lainnya di bawah dominasi Turki.[23]
5.      Bebas dari pengaruh lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad (1157-1258).
Pada periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Para khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.[24]
C.     Sebab-sebab dan Faktor Hancurnya Pemerintahan Abbasiyah
Kita bisa melihat banyaknya peristiwa yang terjadi di dunia Islam saat pemerintahan Bani Abbasiyah. Juga melihat banyaknya wilayah yang memisahkan diri dan memiliki kekuasaan yang besar lalu hilang eksistensinya.
Selain itu, kita melihat bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami masa jaya dimana kekuasaan sepenuhnya berada dibawah kontrol para khalifah. Setelah itu grafik kekuatannya semakin turun hingga akhirnya berhasil dihancurkan oleh orang-orang Mongolia.
Lalu, apa sebenarnya sebab-sebab hancur dan ambruknya pemerintahan Abbasiyah. Mungkin bias kita ringkas sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai berikut:[25]
1.      Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem keluarga.
2.      Tidak menerapkan syariah, dalam artian mereka tidak lagi mengindahkan syariat tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
3.      Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga tidak mampu mencakup wilayah yang luas.[26]
4.      Munculnya gerakan pemberontakan keagamaan.
5.      Melupakan salah satu pilar terpenting dari rukun Islam, yakni jihad.
6.      Serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua perjalanan pemerintahan Abbasiyah.[27]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Daulah Umayah. Salah satu pendirinya adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad bin Ali meninggal, anaknya, Ibrahim menggantikan posisinya.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang lebih dikenal dengan Abul Abbas As-Saffah. Karena tekanan dari pihak penguasa, bersama rombongan, ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah.
Periodisasi Pemerintahan Bani Abbasiyah:
1.      Periode Awal atau Periode Pengaruh Persia pertama (750-847)
2.      Periode Lanjutan atau Turki Pertama (847-945)
3.      Periode Buwaihiyah atau Pengaruh Persia Kedua (945-1055)
4.      Periode Dinasti Saljukiyah atau Pengaruh Turki Kedua (1054-1157)
5.      Bebas dari pengaruh lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad (1157-1258).
Sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai berikut:[28]
1.      Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem keluarga.
2.      Tidak menerapkan syariah, dalam artian mereka tidak lagi mengindahkan syariat tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
3.      Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga tidak mampu mencakup wilayah yang luas.[29]
4.      Munculnya gerakan pemberontakan keagamaan.
5.      Melupakan salah satu pilar terpenting dari rukun Islam, yakni jihad.
6.      Serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua perjalanan pemerintahan Abbasiyah.[30]



[1] Hepi Andi Bastoni. Sejarah Para Khalifah. (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), 77-78.
[2] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 49.
[3] Istianah Abu Bakar. Sejarah Peradaban Islam. (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 71-72.
[4] Badri Yatim. Sejarah…, 50
[5] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah Islam. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003),220.
[6] Hepi Andi Bastoni. Sejarah…, 78.
[7] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 221-222.
[8] Hepi Andi Bastoni. Sejarah…, 80.
[9] Badri Yatim. Sejarah…, 52.
[10] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 225.
[11] Syamsul Bakri. Peta Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), 50.
[12] Yusuf Al-Isy. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti Abbasiyah. (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), 49.
[13] Syamsul Bakri. Peta.., 50.                                                    
[14] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah..,227-228.
[15] Ibid., 231.
[16] Syamsul Bakri. Peta.., 51-52.
[17] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah.., 234.
[18] Ibid., 235.
[19] Syamsul Bakri. Peta.., 52.
[20] Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 73
[21] Yusuf Al-Isy. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti…, 118.
[22] Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 74.
[23] Ibid., 76-77
[24] Badri Yatim. Sejarah…, 79-80.
[25] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259.
[26] Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 84.
[27] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259-260.
[28] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259.
[29] Istianah Abu Bakar. Sejarah…, 84.
[30] Ahmad al-‘Usairy. Sejarah…, 259-260.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Istianah. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Al-Isy, Yusuf. Penerjemah: Arif Munandar. Dinasti Abbasiyah. Jakarta: Al-Kautsar, 2007.
Al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Bakri, Syamsul. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Bastoni, Hepi Andi. Sejarah Para Khalifah. Jakarta: Al-Kautsar, 2008.

Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar