KONSEP PEMIKIRAN BAGI
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
“Pengembangan Pemikiran
Pendidikan Islam”
Disusun Oleh:
Kelompok 8, Kelas TB.E
Surtianingsih
210311147
Qurriyatul
Munawarroh 210311149
Arif
Luthfianto Al Amin 210311180
Dosen Pengampu:
Bapak Kadi
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Aktivitas pendidikan Islam di Indonesia pada dasarnya telah
berlangsung dan berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang.
Dalam rentang waktu tersebut, pendidikan Islam telah mengalami perubahan dan
pengembangan dalam berbagai segi baik itu dari segi tujuan, metode, materi,
pendidik, peserta didik dan sebagainya. Perubahan dan pengembangan pendidikan
Islam tersebut diupayakan untuk memenuhi tantangan dan menyelesaikan hambatan
yang muncul akibat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Fenomena
perubahan sosial selalu terjadi di masyarakat dan mustahil untuk
menghentikannya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pun akan senantiasa untuk
berubah dan mengembangkan diri.
Pengembangan pendidikan Islam juga
tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Filsafat Pendidikan Islam. Konstruksi
pemikiran dari Filsafat Pendidikan Islam inilah yang pada dasarnya menjadi
landasan atau pedoman dalam pengembangan pendidikan Islam. Berkaitan dengan
pernyataan di atas dan kondisi
pendidikan Islam di Indonesia saat ini, maka permasalahan yang muncul adalah
konstruksi pemikiran seperti apa yang perlu dikembangkan guna memberikan
kontribusi terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai calon
pendidik, permasalahan di atas harus diperhatikan dengan seksama dan dicarikan
solusinya.
Berdasarkan kenyataan di atas
makalah ini kami susun, sebagai upaya dalam memberikan kontribusi pemikiran
terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana realita pendidikan Islam di Indonesia?
b.
Apa konsep pemikiran bagi pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Realita Pendidikan Islam di Indonesia
Keberadaan pendidikan Islam di
Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan masuk dan menyebarnya agama Islam
di Indonesia. Dalam proses penyebarannya, banyak cara dan sistem yang ditempuh
oleh para ulama dan para mubaligh melalui tabligh-tabligh. Disamping usaha
berupa tabligh, penyebaran agama Islam dilakukan pula melalui sistem pendidikan
dan pengajaran. Usaha ini semata-mata didasarkan atas rasa tanggung jawab dan
kewajiban pemeluk agama Islam untuk menyebarkan agama.[1]
Selanjutnya,
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia telah nampak maju pada akhir abad ke
19, sebagai akibat dari lahirnya beberapa model sekolah yang dikembangkan oleh
Belanda di Indonesia. Adapun gerakan modernisasi terhadap pendidikan Islam
berkembang pesat sekitar abad ke 20 dengan berdirinya madrasah atau
sekolah-sekolah model Barat yang dikembangkan oleh ormas-ormas Islam seperti
Muhammadiyah dan NU.[2]
Realita kemajuan pendidikan Islam Indonesia lebih berkembang lagi ketika
dikeluarkan SKB 3 Menteri.
Munculnya SKB 3 Menteri tersebut
mengindikasikan telah terjadi pergeseran posisi dan pengakuan terhadap
pendidikan Islam yang terus berlangsung sampai saat ini yaitu dari posisi
marginal dan “kelas dua” pada masa pemerintah kolonial sampai mendapatkan
pengakuan eksistensi yang sama dengan sekolah umum. Persamaan kedudukan
madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar dengan sekolah
umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan Islam dipandang dapat
memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar bagi masyarakat.[3]
Selain itu, pemerintah juga terus
berupaya untuk menyempurnakan pendidikan Islam Indonesia. Beberapa usaha yang
telah dilaksanakan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
a.
Mendirikan sekolah-sekolah agama Islam mulai dari tingkat dasar
sampai tingkat Perguruan Tinggi (MI, MTs, MA, STAIN, IAIN, UIN).
b.
Membantu meningkatkan mutu pendidikan pondok pesantren dengan usaha
memberikan bimbingan ke arah penyempurnaan kurikulum, sarana pendidikan,
bantuan atau subsidi guru, perpustakaan, keterampilan, teknologi dan
sebagainya.
c.
Membantu untuk pemeliharaan dan meningkatkan sekolah-sekolah Islam
yang masih mengalami transisi dari tingkat dasar sampai Perguruan Tinggi.
d.
Pembinaan Pendidikan Agama pada lembaga pendidikan umum baik
sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri maupun sekolah atau Perguruan Tinggi
swasta.
e.
Merancang suatu kurikulum yang terintegrasi sebagai suatu sistem
yang tidak memberi kemungkinan terjadinya pertentangan antara yang satu dengan
yang lainnya.[4]
Meski demikian, realita pendidikan
Islam di Indonesia masih sering mengalami problema-problema. Selama ini
pendidikan Islam di Indonesia belum mampu mendesain sebuah sistem pendidikan
yang mengacu pada pembebasan, penyadaran, dan kreativitas. Hal ini tercermin
dari ketidakmampuan pendidikan Islam untuk membebaskan peserta didik keluar
dari sikap ekslusivitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-nonmuslim,
surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang indoktrinatif.[5]
Transmisi
pendidikan Islam yang bersifat indoktrinatif ini, yang mengedepankan isi dan
muatan materi daripada proses dan metodologi telah memancung kreativitas
peserta didik. Transmisi keilmuan dalam pendidikan Islam mengesankan apa adanya
melalui jalan formalitas (berpikir formalistis) sehingga peserta didik menjadi
kaku dan tertutup terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Peserta didik
hanya dikenyangkan dengan pelbagai materi tanpa dipedulikan energi potensial
dan aktual yang dimiliki anak untuk berkembang lebih dari apa adanya.
Kritisisme sistemik dan paradigmatik keilmuan dalam pendidikan Islam kurang
mendapat perhatian serius dari ulama, guru ngaji, dan pendidik agama yang ada.[6]
Selanjutnya,
problem tentang dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum atau
antara ilmu agama dan ilmu umum yang muncul semenjak Indonesia belum merdeka
masih berkembang hingga sekarang. Pola dikotomi ilmu pengetahuan ini telah
memunculkan beberapa problem tersendiri, diantaranya yaitu:
a. Ambivalensi
orientasi pendidikan Islam.
b. Kesenjangan
antara pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat
ambivalensi mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu dunia. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan dengan
konsep Islam sendiri. Sebab, Islam memiliki ajaran integralistik.
c. Disintegrasi sistem
pendidikan Islam hingga saat ini boleh dikatakan kurang terjadi perpaduan.
Tidak adanya hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, bahkan hal
itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak
didik terutama di sekolah umum.
d. Inferioritas
pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan
pendidikan Islam sebagaimana pendidikan umum masih sangat erat kaitannya dengan
sistem pendidikan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Pendidikan Islam selalu
dipandang sebagai sosok terbelakang, konsekuensinya perubahan-perubahan yang
dilakukan karena mengikuti pola tersebut, sebagaimana yang diterapkan pada
umumnya di pesantren atau madrasah, telah menghasilkan bentuk-bentuk yang tidak
fungsional.[7]
Adalah
niscaya bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam
berbagai jenis dan jenjang pendidikan sangat diharapkan oleh berbagai pihak
terutama umat Islam. Fenomena sosial yang sangat menarik ini mestinya bisa
dijadikan tema sentral kalangan pengelola lembaga pendidikan Islam dalam
melakukan pembaharuan dan pengembangannya. Namun justru sebaliknya, banyak
lembaga pendidikan Islam terutama yang tergolong “kelas pinggiran” satu persatu
mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari umat maupun peminatnya.[8]
Sementara
itu lembaga-lembaga pendidikan yang latar belakang keagamaannya berbeda namun
dikelola secara profesional dan menempatkannya pada konteks kemasyarakatan yang
lebih luas memperlihatkan perkembangan yang demikian pesat sehingga
keberadaannya semakin kokoh. Kenyataan itu secara tidak langsung menuntut para
pengelola pendidikan Islam untuk lebih bersifat rasional dan lebih berorientasi
kepada kebutuhan masyarakat luas.[9]
Fenomena
di atas dapat menjadi acuan seluruh pihak pengelola pendidikan Islam di
Indonesia, untuk melakukan pengembangan baru pada berbagai aspek pendidikan
Islam. Pendidikan tidak hanya sekedar mempersiapkan anak didik untuk mampu
hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di
masyarakat yang akan datang, yang semakin lama semakin sulit diprediksi.[10] Namun,
sebelum melakukan upaya-upaya pengembangan perlu dicetuskan konsep pemikiran
yang melandasinya agar, upaya pengembangan yang dilakukan benar-benar fokus dan
terarah.
B. Konsep Pemikiran bagi Pengembangan Pendidikan
Islam di Indonesia
Konsep pemikiran
untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia yang digunakan dilandasi oleh pemikiran
keislaman yaitu perenial-esensial kontekstual-falsifikatif dan rekonstruksi
sosial. Adanya unsur perenialism dan essensialism menghendaki
adanya sikap regresif dan konservatif terhadap nilai-nilai Ilahi dan
nilai-nilai insani (budaya manusia) yang telah dibangun serta dikembangkan oleh
para pemikir dan masyarakat terdahulu. Tetapi sikap-sikap tersebut muncul
setelah dilakukan kontekstualisasi, dalam arti mendudukkan khazanah intelektual
muslim klasik dalam konteksnya. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran terdahulu
bukan berarti terlepas dari kritik terutama
dalam konteks keberlakuannya pada masa sekarang. Oleh karena itu, ada uji
falsifikatif yang menguji relevan atau tidaknya pemikiran terdahulu dalam
konteks masa sekarang dengan menggunakan pendekatan keilmuan yang ada.[11]
Dengan kata lain, perenial-esensial
kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan
mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial
yang ada. Namun, pemikiran ini tidak mengembangkan wawasan antisipasi masa
depan. Oleh karena itu, perlu adanya pemikiran rekontruksi sosial.[12]
Berdasarkan pemikiran di atas, maka
pendidikan Islam diharapkan menjadi pendidikan yang berakar budaya dengan sifat
kritisisme yang melekat di dalamnya. Sifat kritisisme disini menghendaki adanya
unsur kebebasan bagi manusia. Dalam hal ini, manusia terbebas dari doktrin
agama yang memancung potensi dan kreativitasnya serta manusia bebas untuk
mengkritik doktrin yang memang sudah tidak relevan dengan masa sekarang. Sehingga,
pendidikan tidak bersifat teosentris yang cenderung mengutamakan Tuhan
atau antroposentris yang cenderung mengutamakan kepentingan manusia,
tapi pendidikan yang bersifat antropoteosentris, yang mengutamakan
kepentingan manusia di satu sisi dan nilai-nilai ketuhanan di sisi yang lain.
Pemaknaan pendidikan Islam
sebagaimana di atas berpengaruh terhadap epistemologi ilmu dalam Islam. Dari
segi keilmuan, ilmu dalam Islam itu bersifat integratif. Artinya, tidak
ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu non agama (umum), ilmu duniawi dan
ilmu ukhrawi (akhirat). Sebab, akibat dari pola pikir pendidikan yang dikotomis
ini telah terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat Ilahiah dengan
ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal,
antara dimensi duniawi dengan dimensi ukhrawi dan relasi antara dimensi
ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).[13]
Oleh karena itu, pendidikan Islam sampai saat ini belum mampu mendesain
pendidikan yang berorientasi pada penyadaran manusia.
Wacana yang berkembang dalam dunia
pendidikan Islam pada umumnya dan dunia pendidikan Islam di Indonesia pada
khususnya, mengenai penyelesaian terhadap problem dikotomi ilmu ini adalah
dengan istilah yang disebut “islamisasi ilmu”. Proses islamisasi ilmu ini
memperlihatkan “kematian” proses berpikir umat Islam sebab ilmu-ilmu yang
diupayakan untuk di Islamkan tersebut merupakan ilmu-ilmu yang berasal dari
Barat. Kenyataan ini pula menunjukkan bagaimana umat Islam berupaya menggunakan
ayat-ayat Ilahi sebagai alat untuk menjustifikasi suatu hasil pemikiran manusia
dan bukannya menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai wawasan yang dapat digali
dan dikembangkan demi kepentingan manusia. Sehingga, pemahaman mengenai
“Islamisasi ilmu” tersebut perlu digeser ke arah proses “mengilmukan Islam”.
“Mengilmukan Islam” berarti berusaha
untuk memeras nilai-nilai yang terkandung dalam al Qur’an dan al Hadits untuk
selanjutnya diubah dalam bentuk teori keilmuan. Dalam wacana “Islamisasi Ilmu”,
ayat-ayat Ilahi digunakan sebagai “pembenaran” bahwa ilmu yang dicetuskan
sejalan atau sesuai dengan ajaran Islam, sedangkan dalam wacana “Mengilmukan
Islam”, ayat-ayat Ilahi digunakan sebagai sumber untuk menghasilkan teori-teori
keilmuan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam wacana “Mengilmukan Islam”
terdapat aktivitas berpikir yang dalam.
Dalam prosesnya, diharapkan muncul
teori-teori keilmuan yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Tidak hanya itu saja, bahwa
wawasan keilmuan yang dihasilkan tersebut juga dapat digunakan sebagai wawasan
untuk mengantisipasi masa depan yang unpredictable. Pada era post
modern dengan ciri percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
perubahan infrastruktur sosial serta perkembangan tuntutan dunia kerja menjadi
semakin penting untuk melakukan persiapan lebih intens. Oleh karena itu,
pendidikan bukan lagi sebatas membekalkan kemampuan menjadi konstruktivist
sosial, melainkan membekalkan agar
secara berkelanjutan mampu mengadakan rekonstruksi sosial.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Realita pendidikan Islam di
Indonesia berawal dari proses masuk dan menyebarnya agama Islam di Indonesia.
Ada banyak cara dan sistem yang digunakan, salah satunya yaitu melalui sistem
pendidikan dan pengajaran. Melalui sistem inilah dikenal adanya pendidikan
Islam di Indonesia. Pada perkembangannya pendidikan Islam di Indonesia
mengalami banyak tantangan dan hambatan. Pendidikan Islam dianggap belum mampu
mendesain sistem pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran, dan
kreativitas. Selain itu, problem tentang dikotomi ilmu juga semakin menambah
permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia.
Dari fenomena di atas, perlu
diupayakan pengembangan pendidikan di Indonesia. Konsep pemikiran yang
digunakan yaitu perenial-esensial kontekstual-falsifikatif dan rekonstruksi
sosial. Konsep pemikiran tersebut berupaya untuk mewujudkan pendidikan yang
mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas. Sehingga, dalam hal ini
pendidikan Islam tidak lagi bersifat indoktrinatif dan eksklusif.
Dalam kaitannya dengan dikotomi ilmu yang disebabkan karena pendidikan yang
tidak membebaskan maka perlu diselesaikan dengan wacana “Mengilmukan Islam”.
Sehingga, diharapkan muncul wawasan keilmuan yang selaras dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Tidak hanya itu saja, bahwa wawasan keilmuan yang dihasilkan tersebut juga
dapat digunakan sebagai wawasan untuk mengantisipasi masa depan yang unpredictable.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Prof.
Dr. Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011.
Djamas
M.A., Dr. Nurhayati. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan.
Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Dr. Muhaimin
M.A. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Khozin.
Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press, 2006.
Maarif,
Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Priatna
M.Ag., Tedi (editor). Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Mimbar Pustaka, 2004.
Rahardjo, M.Si., Dr. H. Mudjia (editor). Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan
Islam, Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN Malang Press, 2006.
Tholkhah, Dr. Imam dan Ahmad Barizi, M.A. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Wahab,
M.Pd., Drs. Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung:
Alfabeta, 2004.
[1] Tedi Priatna
(editor), Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar Pustaka,
2004), 50.
[2] Khozin, Jejak-Jejak
Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 265.
[3] Nurhayati
Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di
Indonesia Pascakemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 189.
[4] Rochidin
Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004),
263.
[5] Khozin, Jejak-Jejak
Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 274.
[6] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 202.
[7] Syamsul
Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007),
15.
[8] Mudjia Rahardjo (editor), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan
Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang: UIN Malang Press,
2006), 10.
[9] Ibid.,
10-11.
[10] Khozin, Jejak-Jejak
Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 275.
[11]Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 56.
[12] Ibid., 58.
[13]Abd. Rachman
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011), 22.
[14] Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam, 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar