Rabu, 28 Oktober 2015

smt 6 pengembangan pemikiran pendidikan islam

KONSEP PEMIKIRAN BAGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
“Pengembangan Pemikiran Pendidikan Islam”


Disusun Oleh:
Kelompok 8, Kelas TB.E
Surtianingsih                         210311147
Qurriyatul Munawarroh        210311149
Arif Luthfianto Al Amin      210311180

Dosen Pengampu:
Bapak Kadi

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO

2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
            Aktivitas pendidikan Islam di Indonesia pada dasarnya telah berlangsung dan berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang. Dalam rentang waktu tersebut, pendidikan Islam telah mengalami perubahan dan pengembangan dalam berbagai segi baik itu dari segi tujuan, metode, materi, pendidik, peserta didik dan sebagainya. Perubahan dan pengembangan pendidikan Islam tersebut diupayakan untuk memenuhi tantangan dan menyelesaikan hambatan yang muncul akibat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Fenomena perubahan sosial selalu terjadi di masyarakat dan mustahil untuk menghentikannya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pun akan senantiasa untuk berubah dan mengembangkan diri.
            Pengembangan pendidikan Islam juga tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Filsafat Pendidikan Islam. Konstruksi pemikiran dari Filsafat Pendidikan Islam inilah yang pada dasarnya menjadi landasan atau pedoman dalam pengembangan pendidikan Islam. Berkaitan dengan pernyataan di atas dan  kondisi pendidikan Islam di Indonesia saat ini, maka permasalahan yang muncul adalah konstruksi pemikiran seperti apa yang perlu dikembangkan guna memberikan kontribusi terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai calon pendidik, permasalahan di atas harus diperhatikan dengan seksama dan dicarikan solusinya.
            Berdasarkan kenyataan di atas makalah ini kami susun, sebagai upaya dalam memberikan kontribusi pemikiran terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana realita pendidikan Islam di Indonesia?
b.      Apa konsep pemikiran bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Realita Pendidikan Islam di Indonesia
            Keberadaan pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan masuk dan menyebarnya agama Islam di Indonesia. Dalam proses penyebarannya, banyak cara dan sistem yang ditempuh oleh para ulama dan para mubaligh melalui tabligh-tabligh. Disamping usaha berupa tabligh, penyebaran agama Islam dilakukan pula melalui sistem pendidikan dan pengajaran. Usaha ini semata-mata didasarkan atas rasa tanggung jawab dan kewajiban pemeluk agama Islam untuk menyebarkan agama.[1]
            Selanjutnya, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia telah nampak maju pada akhir abad ke 19, sebagai akibat dari lahirnya beberapa model sekolah yang dikembangkan oleh Belanda di Indonesia. Adapun gerakan modernisasi terhadap pendidikan Islam berkembang pesat sekitar abad ke 20 dengan berdirinya madrasah atau sekolah-sekolah model Barat yang dikembangkan oleh ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU.[2] Realita kemajuan pendidikan Islam Indonesia lebih berkembang lagi ketika dikeluarkan SKB 3 Menteri.
            Munculnya SKB 3 Menteri tersebut mengindikasikan telah terjadi pergeseran posisi dan pengakuan terhadap pendidikan Islam yang terus berlangsung sampai saat ini yaitu dari posisi marginal dan “kelas dua” pada masa pemerintah kolonial sampai mendapatkan pengakuan eksistensi yang sama dengan sekolah umum. Persamaan kedudukan madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar dengan sekolah umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan Islam dipandang dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar bagi masyarakat.[3]
            Selain itu, pemerintah juga terus berupaya untuk menyempurnakan pendidikan Islam Indonesia. Beberapa usaha yang telah dilaksanakan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
a.    Mendirikan sekolah-sekolah agama Islam mulai dari tingkat dasar sampai tingkat Perguruan Tinggi (MI, MTs, MA, STAIN, IAIN, UIN).
b.    Membantu meningkatkan mutu pendidikan pondok pesantren dengan usaha memberikan bimbingan ke arah penyempurnaan kurikulum, sarana pendidikan, bantuan atau subsidi guru, perpustakaan, keterampilan, teknologi dan sebagainya.
c.    Membantu untuk pemeliharaan dan meningkatkan sekolah-sekolah Islam yang masih mengalami transisi dari tingkat dasar sampai Perguruan Tinggi.
d.   Pembinaan Pendidikan Agama pada lembaga pendidikan umum baik sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri maupun sekolah atau Perguruan Tinggi swasta.
e.    Merancang suatu kurikulum yang terintegrasi sebagai suatu sistem yang tidak memberi kemungkinan terjadinya pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.[4]
            Meski demikian, realita pendidikan Islam di Indonesia masih sering mengalami problema-problema. Selama ini pendidikan Islam di Indonesia belum mampu mendesain sebuah sistem pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran, dan kreativitas. Hal ini tercermin dari ketidakmampuan pendidikan Islam untuk membebaskan peserta didik keluar dari sikap ekslusivitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-nonmuslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang indoktrinatif.[5]
             Transmisi pendidikan Islam yang bersifat indoktrinatif ini, yang mengedepankan isi dan muatan materi daripada proses dan metodologi telah memancung kreativitas peserta didik. Transmisi keilmuan dalam pendidikan Islam mengesankan apa adanya melalui jalan formalitas (berpikir formalistis) sehingga peserta didik menjadi kaku dan tertutup terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Peserta didik hanya dikenyangkan dengan pelbagai materi tanpa dipedulikan energi potensial dan aktual yang dimiliki anak untuk berkembang lebih dari apa adanya. Kritisisme sistemik dan paradigmatik keilmuan dalam pendidikan Islam kurang mendapat perhatian serius dari ulama, guru ngaji, dan pendidik agama yang ada.[6]
             Selanjutnya, problem tentang dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum atau antara ilmu agama dan ilmu umum yang muncul semenjak Indonesia belum merdeka masih berkembang hingga sekarang. Pola dikotomi ilmu pengetahuan ini telah memunculkan beberapa problem tersendiri, diantaranya yaitu:
a.    Ambivalensi orientasi pendidikan Islam.
b.    Kesenjangan antara pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalensi mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan dengan konsep Islam sendiri. Sebab, Islam memiliki ajaran integralistik.
c.    Disintegrasi sistem pendidikan Islam hingga saat ini boleh dikatakan kurang terjadi perpaduan. Tidak adanya hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik terutama di sekolah umum.
d.   Inferioritas pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam sebagaimana pendidikan umum masih sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Pendidikan Islam selalu dipandang sebagai sosok terbelakang, konsekuensinya perubahan-perubahan yang dilakukan karena mengikuti pola tersebut, sebagaimana yang diterapkan pada umumnya di pesantren atau madrasah, telah menghasilkan bentuk-bentuk yang tidak fungsional.[7]
             Adalah niscaya bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan sangat diharapkan oleh berbagai pihak terutama umat Islam. Fenomena sosial yang sangat menarik ini mestinya bisa dijadikan tema sentral kalangan pengelola lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangannya. Namun justru sebaliknya, banyak lembaga pendidikan Islam terutama yang tergolong “kelas pinggiran” satu persatu mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari umat maupun peminatnya.[8]
             Sementara itu lembaga-lembaga pendidikan yang latar belakang keagamaannya berbeda namun dikelola secara profesional dan menempatkannya pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas memperlihatkan perkembangan yang demikian pesat sehingga keberadaannya semakin kokoh. Kenyataan itu secara tidak langsung menuntut para pengelola pendidikan Islam untuk lebih bersifat rasional dan lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat luas.[9]
             Fenomena di atas dapat menjadi acuan seluruh pihak pengelola pendidikan Islam di Indonesia, untuk melakukan pengembangan baru pada berbagai aspek pendidikan Islam. Pendidikan tidak hanya sekedar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang, yang semakin lama semakin sulit diprediksi.[10] Namun, sebelum melakukan upaya-upaya pengembangan perlu dicetuskan konsep pemikiran yang melandasinya agar, upaya pengembangan yang dilakukan benar-benar fokus dan terarah.
B.   Konsep Pemikiran bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
            Konsep pemikiran untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia  yang digunakan dilandasi oleh pemikiran keislaman yaitu perenial-esensial kontekstual-falsifikatif dan rekonstruksi sosial. Adanya unsur perenialism dan essensialism menghendaki adanya sikap regresif dan konservatif terhadap nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani (budaya manusia) yang telah dibangun serta dikembangkan oleh para pemikir dan masyarakat terdahulu. Tetapi sikap-sikap tersebut muncul setelah dilakukan kontekstualisasi, dalam arti mendudukkan khazanah intelektual muslim klasik dalam konteksnya. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran terdahulu bukan berarti  terlepas dari kritik terutama dalam konteks keberlakuannya pada masa sekarang. Oleh karena itu, ada uji falsifikatif yang menguji relevan atau tidaknya pemikiran terdahulu dalam konteks masa sekarang dengan menggunakan pendekatan keilmuan yang ada.[11]
            Dengan kata lain, perenial-esensial kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Namun, pemikiran ini tidak mengembangkan wawasan antisipasi masa depan. Oleh karena itu, perlu adanya pemikiran rekontruksi sosial.[12]
            Berdasarkan pemikiran di atas, maka pendidikan Islam diharapkan menjadi pendidikan yang berakar budaya dengan sifat kritisisme yang melekat di dalamnya. Sifat kritisisme disini menghendaki adanya unsur kebebasan bagi manusia. Dalam hal ini, manusia terbebas dari doktrin agama yang memancung potensi dan kreativitasnya serta manusia bebas untuk mengkritik doktrin yang memang sudah tidak relevan dengan masa sekarang. Sehingga, pendidikan tidak bersifat teosentris yang cenderung mengutamakan Tuhan atau antroposentris yang cenderung mengutamakan kepentingan manusia, tapi pendidikan yang bersifat antropoteosentris, yang mengutamakan kepentingan manusia di satu sisi dan nilai-nilai ketuhanan di sisi yang lain.
            Pemaknaan pendidikan Islam sebagaimana di atas berpengaruh terhadap epistemologi ilmu dalam Islam. Dari segi keilmuan, ilmu dalam Islam itu bersifat integratif. Artinya, tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu non agama (umum), ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi (akhirat). Sebab, akibat dari pola pikir pendidikan yang dikotomis ini telah terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat Ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dengan dimensi ukhrawi dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).[13] Oleh karena itu, pendidikan Islam sampai saat ini belum mampu mendesain pendidikan yang berorientasi pada penyadaran manusia.
            Wacana yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam pada umumnya dan dunia pendidikan Islam di Indonesia pada khususnya, mengenai penyelesaian terhadap problem dikotomi ilmu ini adalah dengan istilah yang disebut “islamisasi ilmu”. Proses islamisasi ilmu ini memperlihatkan “kematian” proses berpikir umat Islam sebab ilmu-ilmu yang diupayakan untuk di Islamkan tersebut merupakan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat. Kenyataan ini pula menunjukkan bagaimana umat Islam berupaya menggunakan ayat-ayat Ilahi sebagai alat untuk menjustifikasi suatu hasil pemikiran manusia dan bukannya menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai wawasan yang dapat digali dan dikembangkan demi kepentingan manusia. Sehingga, pemahaman mengenai “Islamisasi ilmu” tersebut perlu digeser ke arah proses “mengilmukan Islam”.
            “Mengilmukan Islam” berarti berusaha untuk memeras nilai-nilai yang terkandung dalam al Qur’an dan al Hadits untuk selanjutnya diubah dalam bentuk teori keilmuan. Dalam wacana “Islamisasi Ilmu”, ayat-ayat Ilahi digunakan sebagai “pembenaran” bahwa ilmu yang dicetuskan sejalan atau sesuai dengan ajaran Islam, sedangkan dalam wacana “Mengilmukan Islam”, ayat-ayat Ilahi digunakan sebagai sumber untuk menghasilkan teori-teori keilmuan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam wacana “Mengilmukan Islam” terdapat aktivitas berpikir yang dalam.
            Dalam prosesnya, diharapkan muncul teori-teori keilmuan yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Tidak hanya itu saja, bahwa wawasan keilmuan yang dihasilkan tersebut juga dapat digunakan sebagai wawasan untuk mengantisipasi masa depan yang unpredictable. Pada era post modern dengan ciri percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perubahan infrastruktur sosial serta perkembangan tuntutan dunia kerja menjadi semakin penting untuk melakukan persiapan lebih intens. Oleh karena itu, pendidikan bukan lagi sebatas membekalkan kemampuan menjadi konstruktivist sosial,  melainkan membekalkan agar secara berkelanjutan mampu mengadakan rekonstruksi sosial.[14]


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
            Realita pendidikan Islam di Indonesia berawal dari proses masuk dan menyebarnya agama Islam di Indonesia. Ada banyak cara dan sistem yang digunakan, salah satunya yaitu melalui sistem pendidikan dan pengajaran. Melalui sistem inilah dikenal adanya pendidikan Islam di Indonesia. Pada perkembangannya pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak tantangan dan hambatan. Pendidikan Islam dianggap belum mampu mendesain sistem pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran, dan kreativitas. Selain itu, problem tentang dikotomi ilmu juga semakin menambah permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia.
            Dari fenomena di atas, perlu diupayakan pengembangan pendidikan di Indonesia. Konsep pemikiran yang digunakan yaitu perenial-esensial kontekstual-falsifikatif dan rekonstruksi sosial. Konsep pemikiran tersebut berupaya untuk mewujudkan pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas. Sehingga, dalam hal ini pendidikan Islam tidak lagi bersifat indoktrinatif dan eksklusif. Dalam kaitannya dengan dikotomi ilmu yang disebabkan karena pendidikan yang tidak membebaskan maka perlu diselesaikan dengan wacana “Mengilmukan Islam”. Sehingga, diharapkan muncul wawasan keilmuan yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Tidak hanya itu saja, bahwa wawasan keilmuan yang dihasilkan tersebut juga dapat digunakan sebagai wawasan untuk mengantisipasi masa depan yang unpredictable.

DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Prof. Dr. Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Djamas M.A., Dr. Nurhayati. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Dr. Muhaimin M.A. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Khozin. Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press, 2006.
Maarif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Priatna M.Ag., Tedi (editor). Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.
Rahardjo, M.Si., Dr. H. Mudjia (editor). Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN Malang Press, 2006.
Tholkhah, Dr. Imam dan Ahmad Barizi, M.A. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Wahab, M.Pd., Drs. Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2004.


[1] Tedi Priatna (editor), Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), 50.
[2] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 265.
[3] Nurhayati Djamas,  Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 189.
[4] Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004), 263.
[5] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 274.
[6] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 202.
[7] Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 15.
[8] Mudjia Rahardjo (editor), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang: UIN Malang Press, 2006), 10.
[9] Ibid., 10-11.
[10] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 275.
[11]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 56.
[12] Ibid., 58.
[13]Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 22.
[14] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar