KAJIAN FILOSOFIS MENGENAI ILMU
DALAM PANDANGAN ISLAM
makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
Disusun oleh:
Siang Suryaningtias 210311150
Dosen pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M. Ag.
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Agama Islam sebagai kekuatan besar yang mempengaruhi perubahan,
serasa mendapat angin segar, dari para pengikutnya. Memang pada awalnya dunia
Islam begitu keras dan kritis dalam memikirkan ilmu pengetahuan, kemudian
menjadi stagnan akibat umat Islam tidak begitu peduli untuk berfikir kembali.
Namun kini kaum intelektual muslim sudah mulai bangun, untuk memfikirkan
kembali ilmu pengetahuan dan menggalinya walaupun tantangannya begitu rumit.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ilmu dalam pandangan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Ilmu?
2.
Bagaimana Kedudukan Ilmu dalam Pandangan Islam?
3.
Bagaimana Konsep Filosofis Ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Ilmu adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian,
hendaknya diketahui juga bahwa berlandaskan kesepakatan umum pemakai istilah di
Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan (knowledge). Di Indonesia
istilah ilmu (science) sering juga diganti dengan ilmu pengetahuan.[1]
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang telah diketahui. Cara
mengetahui sesuatu dapat dilakukan dengan mendengar, melihat, merasa, dan
sebagainya yang merupakan bagian dari alat indra manusia. Semua pengetahuan
yang didasarkan secara indrawi dikategorikan sebagai pengetahuan empirik, artinya
pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman menjadi
bagian penting dari seluk-beluk adanya ilmu pengetahuan, yang secara filosofis
menjadi bagian dari kajian epistemologis.
Salah satu pengetahuan manusia bersumber
dari pengalaman. Pengalaman merupakan pengetahuan yang sangat berharga. Oleh
karena itu dalam filsafat, ada yang berpandangan bahwa pengalaman merupakan
sumber pengetahuan yang utama, dan inilah yang kemudian melahirkan empirisme.
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan sendiri dan
mengecilkan peranan akal. Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman
merupakan sumber pengetahuan bagi manusia.
Yang dimaksud pengalaman ialah keseluruhan
atau totalitas pengamatan yang disimpan didalam ingatan atau digabungkan dengan
suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang diamati pada masa
lain.
Jika kembali pada perbincangan awal bahwa
pengetahuan merupakan segala sesuatu yang telah diketahui, apa yag diketahui
manusia pada awalnya adalah dari pengalamannya sendiri. Pengalaman itu sendiri
memiliki kualitas yang berbeda-beda, sebagaimana alat indra yang digunakannya
pun memiliki potensi yang berbeda. Melihat merupakan pengalaman yang lebih baik
daripada mendengar, karena apa yang kita dengar mudah kita lupakan, sedangkan
apa yang dilihat akan kuat diingat. Merasakan lebih baik daripada melihat, dan
mengerjakan sesuatu kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan hanya melihat
dan merasakannya.
Pada dasarnya pengetahuan memiliki tiga
kriteria, yaitu:
1.
Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran.
2.
Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenarnya.
3.
Adanya keyakinan tentang persesuaian itu.[2]
B.
Kedudukan Ilmu dalam Islam
Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada
umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah, mewajibkan kepada
ummat Islam, untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam,
pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus
dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Lebih-lebih Islam merupakan agama ilmu dan agama akal. Karena Islam
selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dan menuntut ilmu
pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, dapat menyelami hakikat alam, dapat menganalisa segala
pengalaman yang telah dialami oleh umat-umat yang telah lalu dengan pandangan
ahli-ahli filsafat yang menyebut manusia sebagai Homo sapiens yaitu sebagai
makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan, dan dengan dasar
itu manusia ingin selalu mengetahui dengan apa yang ada disekitarnya.[3]
Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral. Vitalitas serta keutamaan
ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatannya yang diberikan kepada para
ilmuwan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. yang berupa
kunci ilmu, yakni membaca, tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada
orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan)
akan menyesatkan, serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan
berlaku seumur hidup.
Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia. Ilmu adalah bekal
yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan.
Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan dunia dan
ukhrawinya.
Kenyataan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman utama terdapat ratusan
ayat yang menerangkan ilmu, ajakan untuk berpikir dan melakukan penalaran
(mengamati, memerhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta
sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya (ilmuwan)
adalah bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan sangat pentingnya
kedudukan ilmu dalam Islam. Inilah salah satu kelebihan Al-Qur’an dari
kitab-kitab suci yang lain. Tercatat bahwa didalam Al-Qur’an terdapat:
1.
80 ayat yang mengandung kata ilmu.
2.
63 ayat yang mengandung ajakan untuk berpikir.
3.
45 ayat mengajak untuk melakukan penalaran (mengamati,
memerhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama).
4.
16 ayat yang menyanjung orang-orang yang suka menggunakan akalnya.
5.
24 ayat yang memberikan lampu merah terhadap kebodohan.[4]
Bagi orang
Islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang
dari Allah (al-Baqarah: 32). Sumber pertama itu sekarang ini ada di dalam
al-Qur’an dan atau hadits Rasul SAW. Inilah kebenaran yang pertama (kebenaran
tingkat pertama). Manusia menafsirkan ayat dan atau hadits itu. Sudah
sewajarnya penafsiran itu tidak satu macam. Oleh karena itu, terdapatlah lebih
dari satu tafsir. Tafsir ini sebenarnya berada pada tingkat kedua (level II);
ini adalah tingkat filsafat. Filsafat dapat melahirkan lebih dari satu teori
pada tingkat sains dan satu teori sains dapat melahirkan lebih dari satu
manual. Manual inilah yang saya maksud dengan teknik. Jadi jika wahyu berada
pada tingkat pengetahuan yang paling atas, maka manual merupakan pengetahuan
pada tingkat yang paling bawah; wahyu paling abstrak, manual paling kongkret.
Dalam sistem
pengetahuan Islami ini kita melihat manual harus dipertanggungjawabkan oleh
teori sains, teori sains dipertanggungjawabkan oleh teori filsafat, dan teori
filsafat harus dipertanggungjawabkan oleh wahyu (yang setingkat dengan wahyu).
Dengan cara ini dapatlah disusun sistem pengetahuan, sekaligus sistem
kebenaran, yang tidak mungkin lepas dari kebenaran Tuhan. Pengetahuan seperti
inilah seharusnya yang dipegang dan dipergunakan oleh manusia sebagai khalifah
Allah di bumi.[5]
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk belajar berbagai
macam ilmu pengetahuan, baik ilmu duniawi (umum) ataupun ilmu ukhrawi (ilmu
agama).
2.
Bahwa islam telah mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan kepada
seluruh kaum muslimin, baik pria maupun wanita sepanajng hidupnya, sejak lahir
sampai meninggal dunia. Hal ini membuktikan bahwa islam sejak awal telah
meletakkandasar adanya pendidikan seumur hidup.
3.
Di samping memerintahkan umatnya untuk belajar, juga memerintahkan
umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, dengan menggunakan metode
pendidikan yang tepat guna sehingga dapat berhasil guna.
4.
Allah sangat mendorong umatnya untuk belajar dan mengajar dan
sangat menghargai orang yang berilmu pengetahuan, bahkan akan mengangkat
martabat dan derajat mereka ke tempat yang terpuji.[6]
C.
Konsep Filosofis tentang Ilmu
Ilmu, mencari kebenaran dengan cara penyeledikan (riset) sesuai
dengan eksistensinya yang berhubungan dengan alam empiris. Dalam penyelidikan,
ilmu selalu mencari hubungan sebab-akibat. Sebagai hukum sebab-akibat maka
kebenarannya pasti ada. Filsafat, karena selalu berhadapan dengan alam empiris
(metafisika, ghaib) maka ia komit dengan organon (alatnya) yaitu logika. Cara
kerjanya selalu dengan pertanyaan apa... berfikir logis, sistematis, radikal
dan universal. Agama menemukan konsep kebenaran bersumber pada wahyu,
kebenarannya bersifat mutlak, absolut sebagai kebenaran tertinggi.
Prof. Dr. Musa Asy’arie menyatakan bahwa kebenaran selalu berkaitan
dengan dimensi keilmuan. Akan tetapi perlu disadari bahwa kebenaran yang
bersandar pada ilmu tidak sepenuhnya mutlak. Sebab sandaran ilmu selalu
dipengaruhi oleh pilihan, selalu tidak menyeluruh, selalu dipengaruhi oleh
realitas ruang dan waktu dan hasilnya selalu berubah sehingga akan mempengaruhi
pada realitas kebenaran yang ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebenaran yang
bersandar pada ilmu bersifat relatif.
Apabila dikaitkan dengan pola berfikir yang dikembangkan oleh Ibnu
Rusydi, kebenaran akan didapatkan melalui penyelidikan yang mendalam dengan
potensi logika yang tinggi. Sedangkan bila dikaitkan dengan pola yang
dikembangkan Al-Ghazali kemungkinan akan langsung merujuk kepada kebenaran
hanya bersumber kepada Illahi.
Upaya memadukan antara ilmu, filsafat dan agama dalam mecari
hakikat kebenaran, sesungguhnya Islam sudah mengcover seluruhnya. Pandangan
Islam tentang kebenaran hanya datang dari Tuhan melalui hukum-hukum yang telah
ada dan yang sudah ditetapkan kepada ciptaannya. Tuhan telah menciptakan alam
semesta agar manusia mengetahui hakikat Tuhan. Sebut saja dalam Q.S Al-Imran:
60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, janganlah engkau termasuk
orang-orang yang ragu.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada para nabiNya menjadi inspirasi
untuk menggali ilmu pengetahuan, sebut saja dalam Q.S Yunus: 5, yang
menerangkan bahwa Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
yang demikian itu melainkan dengan hak, Dia menjelaskan tanda-tanda
(Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Wahyu Tuhan semacam inilah
yang pada akhirnya melahirkan ilmu astronomi, penemuan teropong, perhitungan
tanggal bahkan pranoto mongso menggawangi para petani dalam menanam padi.
Dengan memilih gagasan-gagasan diatas, bahwa kebenaran dapat
diperoleh melalui penggalian yang dalam terhadap sumber-sumber agama berupa
teks wahyu, dikorelasikan dengan hukum alam yang sudah berjalan. Dengan kata
lain ayat Qauliyah dan ayat Kauniyah perlu difikirkan kembali sehingga akan
muncul ilmu pengetahuan yang baru dan ilmuan di dunia Islam.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian,
hendaknya diketahui juga bahwa berlandaskan kesepakatan umum pemakai istilah di
Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan (knowledge). Di Indonesia
istilah ilmu (science) sering juga diganti dengan ilmu pengetahuan.
Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral. Vitalitas serta keutamaan
ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatannya yang diberikan kepada para
ilmuwan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. yang berupa
kunci ilmu, yakni membaca, tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada
orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan)
akan menyesatkan, serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan
berlaku seumur hidup.
Upaya memadukan antara ilmu, filsafat dan agama dalam mecari
hakikat kebenaran, sesungguhnya Islam sudah mengcover seluruhnya. Pandangan
Islam tentang kebenaran hanya datang dari Tuhan melalui hukum-hukum yang telah
ada dan yang sudah ditetapkan kepada ciptaannya. Tuhan telah menciptakan alam
semesta agar manusia mengetahui hakikat Tuhan. Sebut saja dalam Q.S Al-Imran:
60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, janganlah engaku termasuk
orang-orang yang ragu.
[1] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2001), 18.
[2] Hasan Basri. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2009), 26-35.
[3] Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta:
Bumi Aksara: 1995), 98.
[4] Hasan Basri. Filsafat.., 44-45.
[5] Ahmad Tafsir. Ilmu..., 17.
[6] Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat..., 102-103.
[7] Mumtaz Zaki. Teori tentang kebenaran (aplikasi filsafat ilmu dalam
kajian keislaman kontemporer). 25 Oktober 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Zaki, Mumtaz. Teori tentang kebenaran
(aplikasi filsafat ilmu dalam kajian keislaman kontemporer). 25 Oktober
2013.
Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara: 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar