Minggu, 25 Oktober 2015

smt 5 fpi siang

KAJIAN FILOSOFIS MENGENAI ILMU
DALAM PANDANGAN ISLAM

makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

 













Disusun oleh:
Siang Suryaningtias              210311150     



Dosen pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M. Ag.



JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Agama Islam sebagai kekuatan besar yang mempengaruhi perubahan, serasa mendapat angin segar, dari para pengikutnya. Memang pada awalnya dunia Islam begitu keras dan kritis dalam memikirkan ilmu pengetahuan, kemudian menjadi stagnan akibat umat Islam tidak begitu peduli untuk berfikir kembali. Namun kini kaum intelektual muslim sudah mulai bangun, untuk memfikirkan kembali ilmu pengetahuan dan menggalinya walaupun tantangannya begitu rumit. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ilmu dalam pandangan Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ilmu?
2.      Bagaimana Kedudukan Ilmu dalam Pandangan Islam?
3.      Bagaimana Konsep Filosofis Ilmu?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu
Ilmu adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian, hendaknya diketahui juga bahwa berlandaskan kesepakatan umum pemakai istilah di Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan (knowledge). Di Indonesia istilah ilmu (science) sering juga diganti dengan ilmu pengetahuan.[1]
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang telah diketahui. Cara mengetahui sesuatu dapat dilakukan dengan mendengar, melihat, merasa, dan sebagainya yang merupakan bagian dari alat indra manusia. Semua pengetahuan yang didasarkan secara indrawi dikategorikan sebagai pengetahuan empirik, artinya pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman menjadi bagian penting dari seluk-beluk adanya ilmu pengetahuan, yang secara filosofis menjadi bagian dari kajian epistemologis.
      Salah satu pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman. Pengalaman merupakan pengetahuan yang sangat berharga. Oleh karena itu dalam filsafat, ada yang berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang utama, dan inilah yang kemudian melahirkan empirisme. Empirisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan sendiri dan mengecilkan peranan akal. Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia.
      Yang dimaksud pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan didalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang diamati pada masa lain.
      Jika kembali pada perbincangan awal bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang telah diketahui, apa yag diketahui manusia pada awalnya adalah dari pengalamannya sendiri. Pengalaman itu sendiri memiliki kualitas yang berbeda-beda, sebagaimana alat indra yang digunakannya pun memiliki potensi yang berbeda. Melihat merupakan pengalaman yang lebih baik daripada mendengar, karena apa yang kita dengar mudah kita lupakan, sedangkan apa yang dilihat akan kuat diingat. Merasakan lebih baik daripada melihat, dan mengerjakan sesuatu kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan hanya melihat dan merasakannya.
      Pada dasarnya pengetahuan memiliki tiga kriteria, yaitu:
1.      Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran.
2.      Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenarnya.
3.      Adanya keyakinan tentang persesuaian itu.[2]
B.     Kedudukan Ilmu dalam Islam
Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah, mewajibkan kepada ummat Islam, untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Lebih-lebih Islam merupakan agama ilmu dan agama akal. Karena Islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dan menuntut ilmu pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dapat menyelami hakikat alam, dapat menganalisa segala pengalaman yang telah dialami oleh umat-umat yang telah lalu dengan pandangan ahli-ahli filsafat yang menyebut manusia sebagai Homo sapiens yaitu sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan, dan dengan dasar itu manusia ingin selalu mengetahui dengan apa yang ada disekitarnya.[3]
Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral. Vitalitas serta keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatannya yang diberikan kepada para ilmuwan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. yang berupa kunci ilmu, yakni membaca, tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan) akan menyesatkan, serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku seumur hidup.
Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia. Ilmu adalah bekal yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan dunia dan ukhrawinya.
Kenyataan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman utama terdapat ratusan ayat yang menerangkan ilmu, ajakan untuk berpikir dan melakukan penalaran (mengamati, memerhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya (ilmuwan) adalah bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan sangat pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam. Inilah salah satu kelebihan Al-Qur’an dari kitab-kitab suci yang lain. Tercatat bahwa didalam Al-Qur’an terdapat:
1.      80 ayat yang mengandung kata ilmu.
2.      63 ayat yang mengandung ajakan untuk berpikir.
3.      45 ayat mengajak untuk melakukan penalaran (mengamati, memerhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama).
4.      16 ayat yang menyanjung orang-orang yang suka menggunakan akalnya.
5.      24 ayat yang memberikan lampu merah terhadap kebodohan.[4]
Bagi orang Islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah (al-Baqarah: 32). Sumber pertama itu sekarang ini ada di dalam al-Qur’an dan atau hadits Rasul SAW. Inilah kebenaran yang pertama (kebenaran tingkat pertama). Manusia menafsirkan ayat dan atau hadits itu. Sudah sewajarnya penafsiran itu tidak satu macam. Oleh karena itu, terdapatlah lebih dari satu tafsir. Tafsir ini sebenarnya berada pada tingkat kedua (level II); ini adalah tingkat filsafat. Filsafat dapat melahirkan lebih dari satu teori pada tingkat sains dan satu teori sains dapat melahirkan lebih dari satu manual. Manual inilah yang saya maksud dengan teknik. Jadi jika wahyu berada pada tingkat pengetahuan yang paling atas, maka manual merupakan pengetahuan pada tingkat yang paling bawah; wahyu paling abstrak, manual paling kongkret.
Dalam sistem pengetahuan Islami ini kita melihat manual harus dipertanggungjawabkan oleh teori sains, teori sains dipertanggungjawabkan oleh teori filsafat, dan teori filsafat harus dipertanggungjawabkan oleh wahyu (yang setingkat dengan wahyu). Dengan cara ini dapatlah disusun sistem pengetahuan, sekaligus sistem kebenaran, yang tidak mungkin lepas dari kebenaran Tuhan. Pengetahuan seperti inilah seharusnya yang dipegang dan dipergunakan oleh manusia sebagai khalifah Allah di bumi.[5]
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu duniawi (umum) ataupun ilmu ukhrawi (ilmu agama).
2.      Bahwa islam telah mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan kepada seluruh kaum muslimin, baik pria maupun wanita sepanajng hidupnya, sejak lahir sampai meninggal dunia. Hal ini membuktikan bahwa islam sejak awal telah meletakkandasar adanya pendidikan seumur hidup.
3.      Di samping memerintahkan umatnya untuk belajar, juga memerintahkan umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, dengan menggunakan metode pendidikan yang tepat guna sehingga dapat berhasil guna.
4.      Allah sangat mendorong umatnya untuk belajar dan mengajar dan sangat menghargai orang yang berilmu pengetahuan, bahkan akan mengangkat martabat dan derajat mereka ke tempat yang terpuji.[6]
C.     Konsep Filosofis tentang Ilmu
Ilmu, mencari kebenaran dengan cara penyeledikan (riset) sesuai dengan eksistensinya yang berhubungan dengan alam empiris. Dalam penyelidikan, ilmu selalu mencari hubungan sebab-akibat. Sebagai hukum sebab-akibat maka kebenarannya pasti ada. Filsafat, karena selalu berhadapan dengan alam empiris (metafisika, ghaib) maka ia komit dengan organon (alatnya) yaitu logika. Cara kerjanya selalu dengan pertanyaan apa... berfikir logis, sistematis, radikal dan universal. Agama menemukan konsep kebenaran bersumber pada wahyu, kebenarannya bersifat mutlak, absolut sebagai kebenaran tertinggi.
Prof. Dr. Musa Asy’arie menyatakan bahwa kebenaran selalu berkaitan dengan dimensi keilmuan. Akan tetapi perlu disadari bahwa kebenaran yang bersandar pada ilmu tidak sepenuhnya mutlak. Sebab sandaran ilmu selalu dipengaruhi oleh pilihan, selalu tidak menyeluruh, selalu dipengaruhi oleh realitas ruang dan waktu dan hasilnya selalu berubah sehingga akan mempengaruhi pada realitas kebenaran yang ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebenaran yang bersandar pada ilmu bersifat relatif.
Apabila dikaitkan dengan pola berfikir yang dikembangkan oleh Ibnu Rusydi, kebenaran akan didapatkan melalui penyelidikan yang mendalam dengan potensi logika yang tinggi. Sedangkan bila dikaitkan dengan pola yang dikembangkan Al-Ghazali kemungkinan akan langsung merujuk kepada kebenaran hanya bersumber kepada Illahi.
Upaya memadukan antara ilmu, filsafat dan agama dalam mecari hakikat kebenaran, sesungguhnya Islam sudah mengcover seluruhnya. Pandangan Islam tentang kebenaran hanya datang dari Tuhan melalui hukum-hukum yang telah ada dan yang sudah ditetapkan kepada ciptaannya. Tuhan telah menciptakan alam semesta agar manusia mengetahui hakikat Tuhan. Sebut saja dalam Q.S Al-Imran: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada para nabiNya menjadi inspirasi untuk menggali ilmu pengetahuan, sebut saja dalam Q.S Yunus: 5, yang menerangkan bahwa Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak, Dia menjelaskan tanda-tanda (Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Wahyu Tuhan semacam inilah yang pada akhirnya melahirkan ilmu astronomi, penemuan teropong, perhitungan tanggal bahkan pranoto mongso menggawangi para petani dalam menanam padi.
Dengan memilih gagasan-gagasan diatas, bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui penggalian yang dalam terhadap sumber-sumber agama berupa teks wahyu, dikorelasikan dengan hukum alam yang sudah berjalan. Dengan kata lain ayat Qauliyah dan ayat Kauniyah perlu difikirkan kembali sehingga akan muncul ilmu pengetahuan yang baru dan ilmuan di dunia Islam.[7]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian, hendaknya diketahui juga bahwa berlandaskan kesepakatan umum pemakai istilah di Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan (knowledge). Di Indonesia istilah ilmu (science) sering juga diganti dengan ilmu pengetahuan.
Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral. Vitalitas serta keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatannya yang diberikan kepada para ilmuwan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. yang berupa kunci ilmu, yakni membaca, tercermin dalam ajakan untuk bertakwa hanya kepada orang yang berakal, tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu (kebodohan) akan menyesatkan, serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku seumur hidup.
Upaya memadukan antara ilmu, filsafat dan agama dalam mecari hakikat kebenaran, sesungguhnya Islam sudah mengcover seluruhnya. Pandangan Islam tentang kebenaran hanya datang dari Tuhan melalui hukum-hukum yang telah ada dan yang sudah ditetapkan kepada ciptaannya. Tuhan telah menciptakan alam semesta agar manusia mengetahui hakikat Tuhan. Sebut saja dalam Q.S Al-Imran: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, janganlah engaku termasuk orang-orang yang ragu.



[1] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), 18.
[2] Hasan Basri. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 26-35.
[3] Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara: 1995), 98.
[4] Hasan Basri. Filsafat.., 44-45.
[5] Ahmad Tafsir. Ilmu..., 17.
[6] Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat..., 102-103.                                                                          
[7] Mumtaz Zaki. Teori tentang kebenaran (aplikasi filsafat ilmu dalam kajian keislaman kontemporer). 25 Oktober 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Zaki, Mumtaz. Teori tentang kebenaran (aplikasi filsafat ilmu dalam kajian keislaman kontemporer). 25 Oktober 2013.

Zauhairini dan Muchtarom. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara: 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar